JAKARTA - Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas pembunuhan berencana Brigadir Yosua dan perintangan penyidikan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/02). Sedangkan istrinya, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara atas keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut.
Keduanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta melakukan pembunuhan berencana pada Yosua.
Vonis keduanya lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kuasa hukum Ferdy dan Putri mengatakan pertimbangan hakim “banyak berupa asumsi” namun tetap menghormati putusan. Mereka menyebut akan ada upaya hukum selanjutnya.
Seorang pakar hukum pidana menyoroti motif pembunuhan yang belum jelas.
Ferdy Sambo divonis hukuman mati
“Terdakwa Ferdy Sambo S.H. S.I.K. M.H telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang dilakukan secara bersama-sama.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana mati,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa di PN Jakarta Selatan, Senin (13/02). Putusan tersebut disambut riuh hadirin di ruang sidang.
Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan JPU. Sebelumnya, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa membacakan hal-hal yang dianggap memberatkan Ferdy, antara lain: perbuatan dilakukan kepada ajudan sendiri, perbuatan mengakibatkan luka yang mendalam kepada keluarga Yosua, perbuatan telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat.
Majelis hakim juga menilai perbuatan Ferdy tidak sepantasnya dilakukan sebagai aparat penegak hukum dan pejabat utama Polri yaitu Kadiv Propam Polri serta telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional.
Selain itu menurut majelis hakim, Ferdy “berbelit-belit saat memberikan keterangan di persidangan dan tidak mengakui perbuatannya”.
Majelis hakim menilai tidak ada hal yang meringankan hukuman Ferdy.
Ibu Yosua, Rosti Simanjuntak menangis ketika mendengar vonis Sambo. Ketika dimintai komentar oleh wartawan di ruang sidang, ia hanya mengucapkan “Terima kasih dan bersyukur.”
Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara
Beberapa jam kemudian, hakim membacakan vonis untuk istri Ferdy, Putri Candrawathi.
“Menyatakan terdakwa Putri Candrawathi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana.
“Menjatuhkan pidana kepada Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama 20 tahun,” kata Hakim Ketua Wahyu Imama Santosa.
Hakim menyebut pembunuhan terhadap Yosua terjadi akibat cerita yang disampaikan Putri kepada suaminya.
Vonis untuk Putri juga jauh lebih berat dari tuntutan JPU, yang hanya delapan tahun penjara.
Adapun hal-hal yang dianggap memberatkan hukuman Putri Candrawathi antara lain posisi Putri selaku istri Kadiv Propam Polri sekaligus pengurus pusat Bhayangkari (organisasi istri anggota Polri) dan sikapnya yang berbelit-belit dan tidak terus terang sehingga dianggap menyulitkan jalannya persidangan.
“Terdakwa tidak mengakui kesalahannya, dan justru menganggap dirinya sebagai korban,” kata hakim.
Hakim: Tuduhan pelecehan seksual ‘tidak masuk akal’
Selama ini, Ferdy Sambo bersikeras bahwa ia tidak merencanakan pembunuhan Yosua. Ia mengaku “diliputi emosi” mendengar kabar istrinya, Putri Candrawathi, dilecehkan secara seksual oleh Yosua.
Namun, hakim menyatakan dugaan pelecehan seksual Putri Candrawathi tidak didukung oleh bukti yang kuat.
Hakim menyebut tidak tampak adanya gangguan stres pascatrauma pada Putri. Hakim juga menilai tindakan Putri menemui Yosua usai dugaan pelecehan seksual terjadi terlalu cepat. Hal itu dianggap hakim tidak sesuai dengan profil korban kekerasan seksual.
"Bahwa dari pengertian gangguan stres pascatrauma dan tahapan proses pemulihan korban kekerasan seksual perilaku Putri yang mengaku sebagai korban justru bertentangan dengan profil korban menuju proses pemulihan," kata hakim.
Selain itu, hakim menganggap bahwa dalam hal relasi kuasa, Putri Candrawathi yang berstatus istri Kadiv Propam Polri menduduki posisi dominan atas Yosua yang berstatus ajudan, serta berpangkat brigadir. Karena itu, hakim menyatakan kecil kemungkinan Yosua melakukan pelecehan terhadap Putri.
"Sehingga sangat tidak masuk akal dalih korban kekerasan seksual yang disampaikan Putri," ujar hakim.
Ibu Yosua, Rosti Simanjuntak, mengatakan setelah hakim menjatuhkan vonis hukuman mati pada Ferdy Sambo, ia sekarang berharap hakim memulihkan nama putranya.
“Kami menginginkan kepada hakim anak kami dipulihkan namanya, harkat dan martabatnya. Semua keluarga Hutabarat Simajuntak mengharapkan agar anak kami yang telah dirampas namanya, mohon dipulihkan nama baiknya,” kata Rosa kepada wartawan.
Hakim menyatakan motif Ferdy Sambo membunuh Yosua tidak perlu dibuktikan karena bukan bagian dari delik pembunuhan berencana.
Kuasa hukum Putri dan Ferdy ‘tidak berharap banyak’
Koordinator tim penasihat hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Arman Hanis mengatakan pihaknya “tidak berharap banyak” untuk sidang di tingkat pengadilan negeri ini.
Menurut Arman, sejak awal persidangan, hakim sudah banyak berasumsi sendiri.
“Mulai dari pertanyaan kepada saksi, waktu ibu Putri, hakim sudah menyimpulkan sebenarnya,” kata Arman kepada wartawan usai persidangan.
Arman menegaskan bahwa dugaan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi berdasarkan sejumlah bukti antara lain Berita Acara Pemeriksaan (BAP), analisis oleh Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), dan lain-lain.
“Tim APSIFOR dua belas orang loh yang memeriksa, itu juga dikesampingkan oleh majelis hakim,” ujar Arman.
Bagaimanapun, Arman mengatakan tim penasihat hukum Ferdy dan Putri menghormati putusan pengadilan tingkat pertama ini, dan akan mempelajari pertimbangan hakim. Ia mengatakan “ada upaya hukum selanjutnya” tanpa memerinci lebih lanjut.
Ahli hukum pidana nilai vonis terlalu berat
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, mengatakan putusan vonis yang lebih berat dari tuntutan – disebut putusan ultra-petita – amat sangat jarang terjadi dalam praktik peradilan di Indonesia.
“Biasanya sama atau malah lebih rendah,” kata Chairul.
Hal ini ganjil, menurut Chairul, karena baik Ferdy maupun Putri dinyatakan “turut serta” melakukan pembunuhan berencana – implikasinya ada pembagian peran dan pembagian tanggung jawab, sehingga biasanya vonis terdakwa lebih rendah dari tuntutan atau tidak sampai dijatuhi vonis maksimal.
“Sehingga dari sisi ini, menurut saya vonis mati ini terlalu berat, dibandingkan dengan tuntutan dan juga [mengingat] amar putusan yang mengatakan ada pihak lain yang bertanggung jawab dalam hal ini,” ujar Chairul.
Beda ceritanya bila Ferdy dinyatakan “menyuruh” melakukan pembunuhan, imbuhnya. Itu berarti yang melakukan pembunuhan, Richard Eliezer, semestinya tidak bisa dimintai tanggung jawab pidana.
“Kalau ini karena turut serta berarti pelakunya Richard Eliezer, berarti dia juga akan dipidana. Kalau dia akan dipidana kenapa beban sepenuhnya ada pada Ferdy Sambo?”
Hal lain yang juga ganjil menurut Chairul ialah hakim menyatakan tidak ada hal-hal yang meringankan hukuman Ferdy. Ia menerangkan, misalnya, Ferdy selama ini belum pernah dihukum dan berlaku sopan di pengadilan – hal yang dalam praktik peradilan biasanya menjadi faktor yang meringankan.
Soal vonis Putri, Chairul juga berpendapat semestinya tidak diberatkan sampai dengan 20 tahun. Ia menilai hal-hal yang memberatkan bukan terkait fakta peristiwa pembunuhannya, melainkan peristiwa setelah pembunuhan dan seputar keadaan pribadi Putri.
“Mestinya hal ini tidak menjadi faktor yang secara signifikan memberatkan,” kata Chairul.
Namun ia menegaskan bahwa dalam peraturan perundang-undangan maupun teori tidak ada batasan-batasan yang secara kaku menentukan apa yang menjadi faktor meringankan dan apa yang memberatkan. Itu tergantung cara hakim melihat persoalan.
Chairul menduga, hakim memberatkan hukuman karena dipengaruhi oleh tekanan publik. Sejak skandal ini terungkap, Ferdy Sambo telah menjadi sasaran akumulasi kekecawaan publik terhadap polisi.
Ada juga tekanan dari pemerintah, dengan Mahfud MD mengakui ada gerakan bawah tanah yang mencoba menekan pengadilan dan mengintervensi putusan dalam kasus Ferdy Sambo.
“Itu berpengaruh sangat besar bagi hakim bersangkutan,” kata Chairul.
Komnas HAM, dalam keterangan pers, mencatat bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, hukuman mati bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok.
Lembaga itu berharap agar penerapan hukuman mati ke depan dapat dihapuskan.
Motif ‘masih misteri’
Selain itu Chairul Huda menilai pertimbangan hakim belum jelas berkenaan dengan dugaan pelecehan seksual terhadap Putri, yang dalam tuntutan disebut sebagai perselingkuhan.
Hakim mengatakan dugaan pelecehan seksual tidak didukung bukti yang kuat, tetapi juga tidak bersikap mengenai apa yang disebut penuntut umum sebagai perselingkuhan.
Hal ini berkaitan erat dengan motif yang mendasari pembunuhan berencana Yosua.
Chairul menjelaskan bahwa menurut satu teori hukum yang disebut teori kehendak, motif adalah faktor yang menentukan adanya kesengajaan. Teori tersebut menyatakan ada hubungan kausal antara motif, kelakuan, dan akibatnya.
Ada teori lain yang mengatakan tidak perlu membuktikan adanya hubungan kausal antara motif-kelakuan-akibat tetapi cukup melihat apa yang dibayangkan oleh pelaku atau terdakwa ketika melakukan perbuatannya.
Bagaimanapun, dalam kasus ini, motif yang masih menjadi misteri belum mengakhiri spekulasi di publik. Dan ini bisa berdampak ke proses hukum berikutnya.
“Kalau masih ada pro-kontra bisa jadi koreksi nanti di Pengadilan Tinggi ataupun di Mahkamah Agung. Itu yang akan jadi celah masuk mengatakan bahwa putusan ini bukan bulat sempurna, masih bulat lonjong.
“Berarti akan ada kemungkinan hakim di pengadilan berikutnya untuk menelisik berkenaan dengan hal itu,” Chairul menjelaskan.
Ferdy dan Putri adalah dua dari lima terdakwa yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua pada Juli 2022 lalu.
Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf — tiga terdakwa lainnya — akan menjalani sidang putusan pada 15 Februari.
Berikut rangkuman singkat terkait lima terdakwa sejak sidang perdana pada 17 Oktober 2022:
Vonis: Hukuman mati, Tuntutan: Penjara seumur hidup
Mantan jenderal polisi itu divonis hukuman mati oleh hakim dalam kasus pembunuhan Yosua.
Yang memberatkan Ferdy Sambo, antara lain karena korban merupakan mantan ajudannya. "Hal yang memberatkan terdakwa melakukan itu kepada mantan ajudan yang sudah bekerja selama tiga tahun," kata hakim.
Sambo dinyatakan "telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama” dan melanggar pasal 340 KUHP juncto pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sambo juga dinyatakan bersalah karena menghalangi proses hukum (obstruction of justice) dan terbukti secara sah melakukan tindakan yang membuat sistem elektronik menjadi tidak bekerja, bersama terdakwa lainnya.
Tidak terima dengan tuntutan jaksa, kuasa hukum dan terdakwa Ferdy Sambo menyampaikan nota pembelaan pada 24 Januari lalu.
Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri mengakui kesalahannya, tapi berkukuh “tidak merencanakan pembunuhan”.
Dia juga membantah telah menyiksa Yosua di Magelang, dan tuduhan-tuduhan lain yang mengarah padanya selama kasus ini bergulir, termasuk tudingan sebagai bandar narkoba dan judi, perselingkugan, LGBT, kepemilikan bunker uang, sampai menempatkan uang ratusan triliun atas nama Yosua.
Jaksa penuntut umum menolak pleidoi Ferdy Sambo. Jaksa tetap pada tuntutannya dan meminta majelis hakim PN Jaksel menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.
Dalam sidang pembacaan replik, kuasa hukum Ferdy Sambo Arman Hanis mengatakan replik jaksa, yang menolak pledoi kliennya, “serampangan” dan “tidak menjawab yuridis nota pembelaan”.
Apalagi pledoi 1.178 halaman yang dibuat tim kuasa hukum Sambo hanya dijawab oleh jaksa penuntut umum dengan replik 19 halaman.
Jelang sidang vonisnya, beberapa pihak menyampaikan analisanya.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menduga Sambo akan membongkar pelanggaran perwira polisi lainnya jika dia sampai divonis hukuman mati.
Apalagi sebelum dicopot dari jabatannya karena kasus ini, Sambo bertanggung jawab menangani pelanggaran profesi yang dilakukan anggota kepolisian.
Namun, ahli hukum dari Universitas Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan kepada wartawan bahwa vonis Sambo—dan istrinya Putri Candrawathi—akan “sesuai tuntutan” jaksa karena “sulit” jika vonisnya hukuman mati.
Dalam pasal 340, yang dikenakan terhadap Sambo, sanksi maksimal adalah hukuman mati.
Vonis: 20 tahun penjara, Tuntutan: Delapan tahun penjara
Jaksa menuntut Putri Candrawathi hukuman delapan tahun penjara karena secara sadar dan memiliki peran atas rencana jahat penembakan terhadap Yosua.
Istri Ferdy Sambo itu diancam dengan pasal yang sama, 340 KUHP juncto pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Putri disebut tidak berupaya mencegah ataupun membantu korban Yosua agar terhindar dari penembakan.
Padahal menurut jaksa, terdakwa memiliki waktu panjang untuk berpikir atas semua tindakannya dan mempunyai waktu panjang untuk memastikan akibat dari perbuatannya.
Sikap Putri yang berbelit-belit dalam menyampaikan kesaksian dan tidak menyesali perbuatannya, menjadi hal yang memberatkan dia selama persidangan.
Meskipun kesopanannya dan rekam jejak yang bersih dari pelanggaran hukum menjadi hal yang meringankan.
Pada 25 Januari, Putri Candrawathi membacakan nota pembelaannya di hadapan majelis hakim PN Jaksel.
Dia membantah terlibat dalam perencanaan pembunuhan Brigadir Yosua.
Putri juga membantah tuntutan jaksa yang menyebut dirinya dan Yosua berselingkuh. Dia bersikeras mengaku sebagai korban kekerasan seksual yang dilakukan Yosua.
"Yosua melakukan perbuatan keji terhadap saya. Ia melakukan kekerasan seksual, menganiaya dan mengancam membunuh. Bukan hanya bagi saya, tapi juga bagi orang-orang yang saya cintai," kata Putri saat membacakan nota pembelaannya.
Sebelumnya, jaksa menilai keterangan Putri terkait kekerasan seksual oleh Yosua itu “janggal” dan “tidak didukung alat bukti yang kuat seperti visum”.
Setelah pembacaan nota pembelaan Putri Candrawathi, jaksa penuntut umum meminta majelis hakim menolaknya karena “tidak didukung dengan fakta yuridis yang kuat”.
Replik jaksa itu dibalas kuasa hukum Putri Candrawathi, yang menyebut replik itu “tidak substantif” dan berharap hakim "tidak terjebak pada asumsi, klaim kosong tanpa bukti, manipulasi fakta, dan peristiwa ataupun bentuk tindakan lain yang mencederai proses peradilan yang fair [adil]”.
Tuntutan: 12 tahun penjara
Dianggap sebagai eksekutor, jaksa menuntut Richard Eliezer Pudihang Lumiu hukuman 12 tahun penjara.
Perannya dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua menjadi hal yang memberatkannya, meskipun dia sudah mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kasus (justice collaborator).
Beberapa pihak sempat mempertanyakan tuntutan jaksa itu dan menganggap niat baik Eliezer untuk bekerja sama membongkar kasus ternyata tidak dihargai karena lebih berat dari terdakwa lainnya—Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf, dan Putri Candrawathi.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) Edwin Partogi mengatakan Eliezer seharusnya mendapatkan “keringanan penjatuhan pidana”.
Dalam nota pembelaannya, Bharada Eliezer juga mempertanyakan kejujurannya yang diganjar tuntutan 12 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum.
Dia merasa kejujurannya dalam mengungkap kasus ini “tidak dihargai, malah dimusuhi” karena pada dasarnya dia hanya menjalani perintah atasan.
“Ternyata saya diperalat, dibohongi, dan disia-siakan,” kata Elizer dalam sidang pledoi 25 Januari lalu.
Tim kuasa hukum Richard Eliezer mengatakan kliennya hanya menjadi “alat” bagi Ferdy Sambo, sehingga “tidak dapat dihukum”.
Tuntutan itu pun dinilai “tidak adil” karena jaksa dikatakan mengonstruksi kasus berdasarkan keterangan Eliezer, yang kerap berbeda dengan Sambo.
Bagaimanapun, jaksa meminta majelis hakim menolak nota pembelaan atau pledoi dari tim penasihat hukum Richard Eliezer.
Kuasa hukum Eliezer juga memohon majelis hakim menolak replik jaksa itu.
Jelang vonis Eliezer, Aliansi Akademisi Indonesia mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke PN Jaksel untuk mendukung terdakwa.
Amicus curiae yang terdiri dari 122 guru besar dan dosen universitas itu akan memberikan memberikan pendapat hukumnya di hadapan pengadilan, yang digolongkan sebagai opini, bukan perlawanan terhadap hakim.
Alasannya, menurut mereka, tanpa Eliezer, kasus ini akan “tertutup rapat dari pengetahuan publik”.
Oleh sebab itu, mereka mendukung Eliezer mendapat hukuman yang lebih ringan dibandingkan terdakwa lainnya.
Tuntutan: Delapan tahun penjara
Sama seperti Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo juga dituntut delapan tahun penjara oleh jaksa karena terbukti melakukan perencanaan pembunuhan Brigadir Yosua bersama terdakwa lainnya.
Dalam persidangan, jaksa menyebut Ricky “sudah mengetahui rencana jahat tersebut”.
Dia berperan mengawasi Brigadir Yosua agar tidak melarikan diri sebelum pembunuhan dilakukan.
Ada beberapa hal yang disebut jaksa memberatkan Ricky. Dia dinilai mengakibatkan hilangnya nyawa Yosua.
Perbuatan Ricky juga dinilai tidak pantas dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum.
Selama persidangan berjalan, Ricky dinilai berbelit-belit dan bahkan tidak mengakui perbuatannya.
Namun, beberapa hal dinilai bisa meringankan Ricky Rizal.
Usianya yang masih muda, dengan status tulang punggung keluarga dan masih mempunyai anak kecil dijadikan pertimbangan oleh tim jaksa.
Dalam pledoinya, dia meminta hakim untuk “membebaskan dari tuntutan dan memulihkan hak-haknya” karena dia berdalih “tidak pernah tahu ada rencana pembunuhan” dan tidak terima jika dia dianggap bagian dari rencana tersebut.
Kemudian, setelah penembakan Yosua, Ricky mengaku ditekan oleh Sambo untuk mempertahankan skenario bohong terkait kematian Yoshua, termasuk ketika dia diperiksa oleh Provost.
Nota pembelaan Ricky Rizak disebut jaksa penuntut umum “tidak berdasarkan hukum dan tidak terbukti”. Oleh sebab itu, mereka meminta majelis hakim mengesampingkan pledoi itu.
Dalam sidang pembacaan duplik, tim kuasa hukum Ricky Rizal meminta kliennya dibebaskan dari dakwaan pembunuhan berencana terhadap rekannya, Brigadir Yosua dan berharap nama baik Ricky bisa dipulihkan.
Duplik Ricky Rizal juga mengutip dua ayat Al-Qur’an yang membahas soal fitnah dan keadilan.
Tuntutan: Delapan tahun penjara
Asisten rumah tangga sekaligus sopir keluarga Sambo, Kuat Ma'ruf, dituntut hukuman delapan tahun penjara, sama seperti Putri dan Ricky Rizal— ajudan Sambo.
Jaksa menyebut Kuat Ma'ruf mendukung rencana-rencana pembunuhan yang akan dilakukan bosnya, dengan menutup seluruh pintu yang ada di tempat kejadian perkara, padahal itu bukan tugasnya dan hari masih terang.
Dalam dakwaan Jaksa, Kuat disebut mengetahui apa yang terjadi dalam peristiwa penembakan itu dan “membawa pisau di dalam tas untuk berjaga-jaga apabila terjadi perlawanan“ dari Yosua.
Dia didakwa melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang tindak pidana kejahatan jiwa juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Sikap Kuat yang tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit dalam persidangan menjadi hal yang memberatkan dalam tuntutan jaksa.
Adapun hal yang meringankan Kuat adalah sikapnya yang sopan, tidak pernah melanggar hukum, dan tidak memiliki motivasi pribadi.
Dalam pledoinya, Kuat meminta hakim membebaskannya dari tuntutan jaksa.
Tim kuasa hukum menilai Kuat Ma’ruf “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana”.
Melalui pleidoi pribadinya, Kuat mempertanyaan dakwaan jaksa karena dia mengaku “tidak paham dan tidak mengerti”.
Apalagi keterangan saksi dan video menunjukkan bahwa dia tidak membawa pisau di dalam tas dan mengatakan menutup pintu adalah bagian dari pekerjaannya.
Jaksa kemudian menolak pledoi yang disampaikan kubu Kuat karena “uraian-uraian pledoi tersebut tidak memilki dasar yuridis yang kuat”.
Tim kuasa hukum Kuat memohon hakim menolak replik jaksa penuntut umum dan menyebut seluruh dalil jaksa “hanya berdasarkan asumsi, indikasi tidak berdasar”. (*)
Tags : Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati, Putri Candrawathi 20 Tahun Penjara, Ahli Hukum Nilai Putusan Vonis Terlalu Berat dan Lebih Berat dari Tuntutan,