Nasional   2024/07/13 21:46 WIB

Gagasan Pembatasan BBM Bersubsidi Kembali Bergaung, Tapi Juga Buat Khalayak Bertanya-tanya

Gagasan Pembatasan BBM Bersubsidi Kembali Bergaung, Tapi Juga Buat Khalayak Bertanya-tanya

JAKARTA - Gagasan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali bergaung menyusul pernyataan dua menteri pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, perbedaan perkataan antara kedua pejabat tinggi tersebut membuat khalayak bertanya-tanya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengemukakan pihaknya masih membahas rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi per 17 Agustus 2024.

“Kita akan rapatkan lagi,” ujar Airlangga di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, seperti dilansir Kompas.com pada Rabu (10/07).

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan menyebut pembelian BBM subsidi bakal dibatasi per 17 Agustus demi efisiensi untuk meningkatkan penerimaan negara dan agar penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran.

Media mengutip Luhut dari akun Instagram pribadinya, @luhut.pandjaitan, tetapi unggahan itu sekarang sudah tidak ada lagi.

Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyebut narasi yang hampir sama tentang pembatasan BBM bersubsidi selalu diangkat setiap kali terjadi pergantian presiden.

“Setiap pergantian pemimpin, yang pertama kali dikurangi adalah subsidi dengan narasi yang hampir sama. Bedanya mungkin, sekarang narasinya digeser untuk makanan siang gratis [misalnya]. Tapi intinya adalah [untuk] menjalankan program-program pemerintahan selanjutnya,” ujar Bhima seperti dirilis BBC News Indonesia.

Bhima merujuk ke program makan siang gratis atau sekarang disebut makan bergizi gratis yang merupakan program dari pasangan presiden-wakil presiden terpilih, Prabowo Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang akan resmi dilantik pada pada 20 Oktober 2024.

“Karena kalau tidak disiapkan melalui pemangkasan subsidi, bisa jadi program-program Pak Prabowo banyak yang enggak jalan.”

BBM yang disubsidi pemerintah adalah solar dan Pertalite (RON 90).

Per 1 Juli 2024, harga solar adalah Rp6.800 per liter sementara Pertalite dipatok di Rp10.000 per liter.

Harga ini bisa berubah di daerah Indonesia yang terpencil atau aksesnya sulit.

Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sebetulnya sudah diulang-ulang sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Tetapi efektivitasnya sampai hari ini kan sebetulnya masih tanda tanya, efektif atau tidak?” jelas Komaidi.

Komaidi menyarankan pemerintah menyasar subsidi langsung ke warga, alih-alih menyubsidi barang – dalam hal ini BBM.

“Kalau subsidi-nya ke barang, apalagi ke pembatasan-pembatasan, kemungkinan hanya dapat capeknya saja.”

Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Sujatno, menyebut pembatasan pembelian BBM subsidi merupakan kebijakan ambigu oleh pemerintah.

Agus menilai kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi akan memukul daya beli konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite dan solar.

“Di satu sisi, [pemerintah] tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya akan terjadi kenaikan harga bagi konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite dan solar [karena] harus migrasi ke BBM nonsubsidi,” tegasnya.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, menyebut pembelian BBM subsidi bakal dibatasi per 17 Agustus demi efisiensi untuk meningkatkan penerimaan negara dan agar penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran.

Media mengutip Luhut dari Instagram pribadinya, @luhut.pandjaitan, pada Rabu (10/07). Namun, saat BBC News Indonesia mengakses laman tersebut, unggahan yang dimaksud sudah tidak ada.

"Sekarang Pertamina sudah menyiapkan, kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi," ujar Luhut seperti dilansir Kompas.com.

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengemukakan pihaknya justru masih membahas rencana pembatasan pembelian BBM bersubsidi per 17 Agustus 2024.

“Kita akan rapatkan lagi,” ujar Airlangga di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta pada Rabu (10/07).

BBC News Indonesia menanyakan kepada perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina, mengenai mekanisme yang akan dilakukan pada pembatasan BBM subsidi pada 17 Agustus nanti.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan “pada prinsipnya Pertamina akan menjalankan arahan pemerintah nantinya”.

Di sisi lain, Fadjar menekankan bahwa “secara paralel”, Pertamina sudah melakukan upaya-upaya untuk subsidi tepat sasaran.

“Pertama, Pertamina menggunakan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM Bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak,” ujar Fadjar kepada BBC Indonesia pada Kamis (11/07).

“Pertamina mengembangkan alert system yang mengirimkan exception signal dan dimonitor langsung dari command center Pertamina. Melalui sistem ini, data transaksi tidak wajar seperti pengisian di atas 200 liter solar untuk satu kendaraan bermotor atau pengisian BBM subsidi kepada kendaraan yang tidak mendaftarkan nomor polisi kendaraannya akan termonitor langsung oleh Pertamina.”

Fadjar mengeklaim bahwa sejak pemonitoran ini dimulai pada tanggal 1 Agustus 2022 sampai Triwulan I 2024, Pertamina berhasil mengurangi risiko penyalahgunaan BBM bersubsidi senilai US$281 juta atau sekitar Rp 4,4 trilliun.

Selain itu, Fadjar mengeklaim Pertamina sudah menjalankan program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi di SPBU-SPBU Pertamina yang jumlahnya lebih dari 8000 SPBU termasuk di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

“Hingga saat ini 82% SPBU telah terkoneksi secara nasional,” jelasnya.

Terakhir, Fadjar mengatakan Pertamina terus meningkatkan kerja sama dengan aparat hukum untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan kegiatan penyalahgunaan BBM bersubsidi yang tidak sesuai peruntukannya.

Pembatasan BBM bersubsidi sebetulnya bukan suatu wacana atau kebijakan yang baru.

Pada 2012, misalnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu melontarkan rencana ini di tengah kenaikan harga minyak dunia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu menyatakan akan melaksanakan pembatasan BBM bersubsidi dan konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi umum.

Pada tahun 2014, pembatasan BBM bersubsidi menimbulkan antrean panjang di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di beberapa tempat di Indonesia.

Terakhir, pada 2022, upaya penyaluran BBM bersubsidi agar tepat sasaran dengan menghimbau masyarakat menggunakan aplikasi digital MyPertamina juga dikritik karena tidak semua masyarakat terutama kelas bawah memiliki akses ke teknologi dan internet yang merata.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyebut salah satu tantangan utama dalam memastikan agar penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran itu adalah soal pendataan.

“Pendataan soal penduduk miskin di Indonesia ini sangat buruk,” tutur Bhima.

“Masih banyak yang sebenarnya miskin, tapi belum ter-cover data kemiskinan.”

Bhima menganalisa rencana penurunan subsidi pada pemerintahan Jokowi dilakukan untuk membuka ruang APBN atau fiskal untuk mendanai program-program prioritas pemerintahan yang baru: pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Ada kekhawatiran pelebaran defisit APBN sampai akhir tahun ini. Bahkan bisa lebih dari 2,7% mendekati angka 3% dari batas atau ambang,” ujar Bhima.

“Setiap pergantian pemimpin, maka yang pertama kali dikurangi adalah subsidi dengan narasi yang hampir sama. Bedanya mungkin, sekarang narasinya digeser untuk makanan siang gratis [misalnya]. Kalau tidak disiapkan melalui pemangkasan subsidi, bisa jadi program-program Pak Prabowo banyak yang enggak jalan.””

Bhima merujuk ke program makan siang gratis atau sekarang disebut makan bergizi gratis yang merupakan program dari pasangan capres-cawapres terpilih, Prabowo Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang akan resmi dilantik pada pada 20 Oktober 2024.

Program makan siang gratis atau sekarang disebut makan bergizi gratis untuk anak sekolah sudah direncanakan masuk APBN 2025 sebesar Rp71 triliun, berdasarkan keterangan Menkeu Sri Mulyani pada konferensi pers Juni 2024.

Bhima mengatakan hal inilah yang mesti dikritik. Menurut dia, alih-alih digunakan untuk kebijakan yang tidak berkaitan dengan masyarakat yang terdampak pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah sebaiknya memusatkan perhatian untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat kelas menengah yang rentan karena selama ini menggunakan Pertalite.

“Memang masyarakat kita menderita short memory syndrome. Jadi lupa terhadap sejarah setiap kali terjadi pergantian pemimpin. Mereka akan termakan dengan narasi dari pemerintah yang seolah-olah ini adalah untuk kebaikan,” ujarnya.
‘Distorsi akan selalu ada’

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai berdasarkan yang sudah-sudah, distorsi dari implementasi pembatasan BBM bersubsidi akan terus terjadi.

Komaidi mengatakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sebetulnya sudah diulang-ulang sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Tetapi efektivitasnya sampai hari ini kan sebetulnya masih tanda tanya efektif atau tidak,” jelas Komaidi, yang menyarankan pemerintah untuk menyasar subsidi langsung ke warga alih-alih menyubsidi barang – dalam hal ini BBM.

Menurut Komaidi, apabila pemerintah serius, maka seharusnya subsidi langsung diberikan kepada yang membutuhkan alih-alih menyubsidi barang – dalam hal ini BBM.

“Apalagi kalau di dalam filosofi subsidi BBM ini kan ada sesuatu yang kebalik. Yang namanya subsidi itu kan bantuan untuk mereka yang tidak berdaya beli. Artinya siapa yang paling tidak berdaya beli itu harusnya mendapatkan porsi atau jatah yang lebih besar dibandingkan yang sudah berdaya beli,” ujar Komaidi.

“Tapi di dalam subsidi BBM ini menjadi kebalik.”

Komaidi memberi ilustrasi seseorang yang memiliki mobil tipe SUV dengan kapasitas tangki 70 liter. Apabila subsidi dipatok pada Rp2.000 per liter, orang bermobil SUV akan mendapat lebih banyak BBM bersubsidi dibandingkan pengguna motor (yang maksimal tangkinya tujuh liter) atau bahkan pengguna angkutan umum.

“Artinya yang kaya dikasih jatah subsidi banyak. Yang tidak punya uang atau yang miskin justru enggak dapat subsidi,” ujarnya.

Komaidi berpendapat orang yang pendapat rendah harus diberikan subsidi secara langsung.

“Jadi orang yang miskin, orang yang pendapatannya rendah diberikan subsidi. Dan terserah mereka nanti akan dialokasikan untuk beli BBM, beli beras. Untuk bayar anak sekolah maupun yang lain-lain. Itu akan menjadi hak sepenuhnya mereka. Tetapi saudara-saudara kita yang sudah berdaya beli, apalagi bisa beli mobil. Seharusnya tidak mendapatkan subsidi.

Tetapi kenapa selama ini masih bisa mengakses? Karena pemerintah tidak siap dengan kebijakannya,” jelas Komaidi.

Terpisah, Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno mengatakan pembatasan pembelian BBM subsidi merupakan kebijakan ambigu oleh pemerintah.

“Di satu sisi, [pemerintah] tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya akan terjadi kenaikan harga bagi konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite dan solar [karena] harus migrasi ke BBM nonsubsidi,” tegasnya.

Agus mengatakan pihaknya menanti mekanisme pembatasan pembelian untuk tahun. Ini dikarenakan model-model yang selama dikembangkan, terbukti tidak efektif dalam mengendalikan penjualan BBM subsidi.

“Secara implisit UU Energi menyatakan bahwa subsidi merupakan hak masyarakat kelompok bawah. Tetapi dalam konteks BBM, secara faktual di lapangan justru mayoritas kelompok menengah atas yang menyeruput subsidi tersebut,” ujarnya.

“Kebijakan pembatasan pembelian juga akan memukul daya beli konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite dan solar, jika harus bermigrasi ke BBM nonsubsidi.”

Kepala Grup Kajian Sumber Daya Alam dan Energi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Uka Wikarya, menyebut subsidi mesti disalurkan kepada konsumen yang benar-benar berhak dan, tepat sasaran.

“Jangan ada konsumen yang mampu secara ekonomi dapat mengakses BBM bersubsidi,” ujar Uka.

“[Subsidi] tidak harus diberikan secara tunai. Subsidi bisa diberikan secara tertutup.Artinya hanya para pihak yang memiliki ID mengakses ke barang disubsidi. Contoh: Pertalite di SPBU hanya bisa dijual kepada pembeli yang mempunyai kartu penerima subsidi Pertalite.”

Hal senada diungkapkan Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno, yang mengatakan pengendalian konsumsi BBM akan lebih rasional apabila dilakukan subsidi tertutup.

Komaidi mengatakan pemerintah selama ini tidak siap dengan kebijakannya sendiri sehingga siapa pun – termasuk kelompok menengah dan menengah atas – masih bisa mengakses BBM bersubsidi selama ini.

“Kalau memang ingin menata, silakan subsidi langsung. Kalau subsidi-nya ke barang, apalagi ke pembatasan-pembatasan, kemungkinan hanya dapat capeknya saja,” tegasnya.

Sementara Bhima menyebut pemerintah juga harus semakin menggalakkan pembangunan transportasi publik sekaligus membatasi produksi mobil baru apabila ingin mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. Menurut dia, produksi mobil listrik selama ini hanya akan dinikmati orang kaya.

Orang-orang yang berat tanggung ini yang tadinya menikmati subsidi, disuruh beli BBM lebih mahal tanpa ada alternatifnya. Masa alternatifnya disuruh pakai mobil listrik yang harganya mahal?” ujarnya. (*)

Tags : Minyak gas, Ekonomi, Energi, Indonesia, Biaya hidup,