"Gangguan ginjal akut setidaknya telah merengut ratusan nyawa anak-anak sebagian besar berusia di bawah lima tahun"
erusahaan Farmasi kini bakal di proses pidana seiring pihak Balai Pengamanan Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sejumlah produk yang terbukti tidak memenuhi standar Badan POM.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan keluarga korban gagal ginjal akut dapat menggugat perusahaan farmasi yang produknya terbukti tidak memenuhi standar Badan POM. Hak tersebut dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Jumlah pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal telah mencapai 245 kasus per tanggal 22 Oktober, menurut Kementerian Kesehatan. Dari angka tersebut, 141 meninggal dunia – sebagian besar berusia di bawah lima tahun.
“Ini kan peristiwa menurut YLKI luar biasa ... dalam pandangan lembaga konsumen harus ada pihak yang bertanggung jawab, harus ada pihak yang bersalah. Salah satu instrumen yang punya kewenangan menyatakan itu bertanggung jawab, bersalah, adalah pengadilan,” kata Sudaryatmo, pengurus harian YLKI pada media.
Ia menjelaskan keluarga korban dapat menggunakan pasal 46 dalam UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama – biasa disebut gugatan perwakilan kelompok atau class action.
Adapun pasal yang dilanggar, salah satunya adalah Pasal 8 yang antara lain melarang pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang serta jasa yang tidak memenuhi standar. Dalam kasus obat, berarti standar yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Per tanggal 20 Oktober, BPOM mengumumkan tiga produk obat batuk merek Unibebi yang mengandung cemaran etilen glikol dan dietilen glikol (EG dan DEG) melampaui batas aman yaitu 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari. Izin edar merek tersebut dipegang oleh Universal Pharmaceutical Industries.
BPOM sebelumnya merilis daftar 102 produk obat yang diduga mengandung senyawa penyebab kasus gangguan ginjal berdasarkan survei ke keluarga pasien. Dari jumlah tersebut, 30 produk sudah dinyatakan aman.
Menurut Sudaryatmo, meskipun saat ini belum bisa dipastikan apakah obat sirop adalah penyebab tunggal ataukah ada variabel lain, faktanya ratusan anak sudah mengalami gangguan ginjal akut bahkan sampai meninggal dunia.
Kementerian Kesehatan mengatakan jumlah pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal telah mencapai 245 kasus per tanggal 22 Oktober.
“Tugas konsumen adalah membuktikan ada evidens bahwa pasien yang meninggal mengonsumsi obat itu. Soal kausalitas, itu justru dikembalikan ke industri – apakah produknya itu sesuai standar atau tidak.
“Hasil uji laboratorium Badan POM kan sudah memverifikasi bahwa sejumlah merek itu produknya tidak standar, adanya senyawa etilen glukol itu melebihi melebihi ambang batas yang telah ditentukan ... industri juga harus membuktikan sebaliknya. Nah ini nanti kan adu lab sebenarnya,” ia menjelaskan.
Menurut UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang melanggar ketentuan diancam dengan penjara paling lama lima tahun, dan denda Rp2 miliar (Pasal 62). Pelaku juga dapat diberi hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi.
Selain UU Perlindungan Konsumen, perusahaan farmasi juga bisa dijerat dengan KUHP. Kelalaian yang menyebabkan bahaya atau kematian bagi orang diatur oleh pasal 204 dan 205, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun.
Saat ini YLKI sedang melakukan inventarisasi keluarga korban, kata Sudaryatmo. Ke depannya, YLKI siap memfasilitasi korban untuk penyelesaian baik melalui pengadilan maupun luar pengadilan.
Staf penanganan kasus di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Ma’ruf Bajammal, juga menyatakan pihaknya bersedia untuk mengadvokasi bila ada pihak keluarga yang ingin mengajukan gugatan terhadap pihak pelaku usaha.
Ma’ruf menjabarkan langkah-langkah yang perlu dilakukan.
Pertama, mengumpulkan bukti kuat bahwa korban meninggal karena mengonsumsi obat. Kedua, meminta informasi kepada BPOM terkait produk tersebut. Ketiga, menuntut BPOM maupun pemerintah secara transparan mengumumkan obat-obat sirup yang tidak aman.
“Nah itu yang harus dijadikan dasar. Jadi harus clear bahwa obat yang dikonsumsinya itu memang bermasalah, kemudian siapkan bukti-bukti terkait yang menunjukkan bahwa memang dia (korban) mengkonsumsi obat tersebut. Sehingga tidak bisa lagi ada sanggahan dari pihak farmasi bahwa dia tidak meninggal karena mengkonsumsi barang dari pihak farmasi tersebut,” kata Ma’ruf.
Agustina Melani, perempuan di Jakarta yang kehilangan putrinya yang baru berusia 15 bulan akibat gagal ginjal akut, mengatakan tidak tahu apakah ia akan menuntut ganti rugi. Ia menyatakan sudah pasrah.
Sebagian obat yang ia berikan kepada putrinya, Nadira, sebelum si buah hati itu meninggal pada bulan Agustus telah dinyatakan aman oleh BPOM.
Namun demikian, daftar yang dirilis BPOM bersifat sementara dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pihaknya masih perlu memperdalam surveilans.
Bagaimanapun, Agustina ingin supaya pihak-pihak yang bertanggung jawab mendapat hukuman.
“Harusnya memang ada sanksi. Kenapa baru sekarang diselidiki, korban-korbannya sudah banyak ... harus ada hukuman setimpal. Mereka selama ini ngapain aja gitu?” kata Agustina kepada BBC News Indonesia.
Badan POM proses pidana dua perusahaan farmasi
Sementara Kepala Badan POM, Penny Lukito, mengatakan dua perusahaan farmasi akan diproses pidana terkait indikasi kandungan zat berbahaya dalam produknya, yang diduga mengakibatkan gangguan ginjal akut.
Dalam menangani kasus ini, Deputi Penindakan BPOM bekerja sama dengan Bareskrim Polri.
Ia tidak mengungkap nama dua perusahaan tersebut, hanya mengatakan bahwa produk mereka terindikasi mengandung zat beracun EG dan DEG dalam konsentrasi yang sangat tinggi.
“Ada indikasinya bahwa kandungan dari EG dan DEG di produknya itu tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan, tapi sangat, sangat tinggi dan tentu saja sangat toksik dan itu tepat diduga bisa mengakibatkan ginjal akut,” kata Penny usai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Senin (24/10).
Juru bicara Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan tim di laboratorium forensik Bareskrim Polri tengah memeriksa sampel dari Kementerian Kesehatan berupa urin, darah, dan sejumlah obat-obatan. Ia mengatakan kasus masih dalam tahap penyelidikan.
“Nanti hasil labfor akan diserahkan ke penyidik, yang akan bersama-sama dengan Kemenkes dengan BPOM untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut,” kata Dedi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Menuntut pertanggungjawaban BPOM dan Kemenkes
Dari sudut pandang konsumen, pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, menilai BPOM adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini.
Pasalnya, BPOM adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk memberi izin serta melakukan pengawasan prapasar maupun pascapasar. Menurut Sudaryatmo, bagian dari pengawasan pasca pasar adalah inspeksi rutin (regular inspection).
“Pertanyaan YLKI itu sebenarnya sebenarnya BPOM itu melakukan regular inspection nggak? Kalau iya, tolong hasilnya dibuka karena ini justru apa hasil regular inspection dalam pandangan lembaga konsumen itu lebih genuine (otentik) karena dia dia menjalankan fungsi apa uji lab itu dalam konteks tidak ada kasus untuk memastikan apakah produknya standar atau tidak.
“Berbeda dengan pengujian setelah ada kasus, ini BPOM dalam posisi tekanan untuk menjawab kasus,” kata Sudaryatmo.
Ma’ruf Bajammal dari LBH mengatakan semestinya pihak Kemenkes juga bertanggung jawab dengan melakukan investigasi dan audit terhadap BPOM.
Menurut Ma’ruf, Kemenkes seharusnya memeriksa apakah BPOM dalam mengeluarkan izin sudah sesuai standar yang berlaku, ataukah ada praktik-praktik curang yang membuat produk yang tidak aman tetap beredar. Proses tersebut harus dibuka kepada masyarakat.
“Kalau Kementerian Kesehatan di sini tidak begitu baik menyampaikan ini ya berarti Kementerian Kesehatan juga harus kita tarik sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tragedi yang terjadi ini,” kata Ma’ruf.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan pihaknya sudah melakukan pengawasan sesuai ketentuan internasional; namun perihal EG dan DEG, menurutnya, belum ada standar yang dijadikan referensi untuk melakukan pengawasan baik di prapasar maupun pascapasar.
Ia menambahkan bahwa adalah tanggung jawab produsen untuk melakukan pengujian cemaran pada bahan baku yang mereka beli.
“Karena memang ini dilarang, sebetulnya. Dari sejak di awal di bahan baku itu dilarang ya, dan menjadi tanggung jawab dari pelaku usaha, dalam ini produsennya, untuk betul-betul melakukan studi kajian analisa impurities sendiri terhadap bahan baku yang mereka beli itu,” kata Penny.
Namun demikian, dengan perkembangan terbaru ini, Penny mengatakan BPOM akan memperkuat standar pengawasannya.
BPOM akan proses pidana dua perusahaan farmasi
Sebelumnya Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan dua perusahaan farmasi akan diproses pidana terkait indikasi kandungan zat berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol dalam produknya.
Meski begitu, Penny tak menyebutkan nama dua industri farmasi tersebut “karena prosesnya masih berlangsung”.
Penny berjanji akan mengumumkan nama keduanya kepada masyarakat, terlebih “ada indikasi kandungan EG dan EDG di produknya tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan tetapi sangat-sangat tinggi”.
Kepala Badan POM Penny Lukito mengatakan dua perusahaan farmasi akan diproses pidana terkait indikasi kandungan zat berbahaya dalam produknya.
“Itu tentu saja sangat toksik dan diduga bisa mengakibatkan [gagal] ginjal akut,” kata Penny dalam konferensi pers di Istana Negara, Senin (24/10) bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Sebelumnya, Penny mengatakan selain lembaganya, industri farmasi juga “memegang tanggung jawab penuh untuk selalu menjamin keamanan, mutu, dan khasiat produk obat sebelum dan sesudah beredar”.
Ahli menyebut situasi ini menggambarkan “betapa lemahnya ketahanan kesehatan” di Indonesia.
Sehari sebelumnya pada Minggu 23 Oktober 2022 sore, Penny mengatakan lembaganya sudah melakukan pengawasan terhadap produk obat yang beredar di masyarakat, termasuk obat sirup yang diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut pada anak.
Namun, dia mengakui, selama ini pengawasan terhadap kadar pencemar pada produk tidak menjadi ketentuan dalam standar pembuatan obat.
Kejadian meninggalnya setidaknya 133 anak yang diyakini akibat gangguan ginjal akut, kata Penny, akan membawa perubahan.
“Ini akan digunakan untuk memperkuat atau mengubah sistem pre dan post market yang ada. Ke depan kami akan memperbaiki dan lebih memperkuat pengawasan baik di pre-market maupun di post-market dengan ketentuan-ketentuan industri farmasi melakukan sendiri, menganalisa, memastikan quality control-nya lebih ditingkatkan.
"Dan kami akan mengawasi juga, pengawasan di post-market dari produk tersebut, tentunya dengan berbasiskan risiko,” ujar Penny.
Pakar ketahanan kesehatan global, Dicky Budiman, mengatakan, dalam hal ini, penting untuk mengindentifikasi siapa-siapa saja pihak terkait dan siapa saja yang memegang peran utama karena pada dasarnya “tidak mungkin ada yang bekerja sendiri”.
Ketika ada masalah seperti saat ini, “pihak yang kecolongan” bisa diketahui.
“Adanya tunjuk-tunjuk adalah bukti begitu lemahnya ketahanan kesehatan kita karena pemetaan stakeholders-nya tidak terbangun dari awal. Sistem yang sudah dibangun tidak mendudukkan siapa, bertanggung jawab apa, melakukan apa. Ini kembali mengulang cerita pilu kita di pandemi dan terjadi ketidakjelasan di level nasional,” kata Dicky.
Pemerintah dari berbagai sektor mulai mengambil langkah terhadap kasus gangguan ginjal akut.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy,juga telah meminta Kapolri Jendral Listyo Sigit untuk mengusut dugaan pidana dalam produksi obat sirup terkait kasus gangguan ginjal akut pada Anak-anak.
"Pengusutan ini penting untuk memastikan ada tidaknya tindak pidana di balik kasus tersebut. Permintaan disampaikan mengingat kejadian gangguan ginjal kronis ini sudah mengancam upaya pembangunan SDM, khususnya perlindungan terhadap anak," ujar Menko PMK, dikutip dari situs resmi Kemenko PMK, Minggu (23/10).
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dalam pesan singkatnya mengatakan, “Polri akan segera membentuk tim dan berkoordinasi dengan Kemenkes dan BPOM untuk bersama mendalami kejadian tersebut”.
BBC News Indonesia sudah menghubungi Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Ignatius Warsito, terkait langkah selanjutnya yang dilakukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin)—yang mengawasi industri— tapi dia tidak bersedia dikutip.
Kami juga sudah menghubungi Ketua Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi F. Tirto Kusnadi, tapi tidak mendapat jawaban.
Sebelumnya, hasil penelitian Kemenkes mengungkap ada jejak tiga zat kimia berbahaya tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut. Zat itu antara lain ethylebe glycol (EG), diethylen glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).
Zat kimia itu diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut di Gambia, Afrika Tengah, yang diduga berasal dari obat sirup buatan India.
Oleh sebab itu, Kemenkes menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat sirup demi “menyelamatkan anak”.
BPOM akan memperketat verifikasi
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan dengan perbaikan dan penguatan pengawasan yang dilakukan lembaganya akan memberikan keyakinan bahwa “industri, di dalam pre-market-nya, akan taat terhadap aturan yang ada”.
“Misalnya apabila ada perubahan bahan baku, atau kandungannya seperti apa apabila membeli dari sumber lain, mereka harus meyakinkan juga, tidak hanya berdasarkan pada certified of analysis yang dibuat oleh penjualnya, tapi mereka harus melakukan pengujian sendiri dari produk tersebut, meyakinkan, dan baru mendaftarkan atau melaporkan kepada Badan POM,” kata Penny.
Dia melanjutkan, “itu adalah ketentuan yang ada di dalam industri farmasi dan pengawasan obat secara internasional”.
Hasil “uji mandiri” itu, lanjut Penny, nantinya akan diverifikasi lagi oleh BPOM, bukan berarti “diserahkan begitu saja”.
Selain pengawasan saat pendaftaran dan pengajuan dokumen sebelum produk masuk ke pasar, Penny mengatakan BPOM juga akan melakukan analisa dan pengujian berbasiskan risiko dengan pengujian acak.
Dengan cara itu, menurut Penny, jika perusahaan melakukan kecurangan, risikonya besar, dan kecurangan itu bisa diketahui BPOM.
“Dalam hal ini kami akan lebih memperketat lagi untuk melakukan verifikasi juga terhadap data-data yang diberikan oleh industri, mengingat bahwa di Indonesia ini perbedaan kapasitas industri dengan quality control yang baik, tentunya bervariasi. Itu yang jadi pertimbangan kami,” ujar Penny.
Mencari akar masalah
Pada Jumat 21Oktober 2022, Menko PMK Muhadjir Effendy juga sudah melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan BPOM secara visual.
Muhadjir menilai perlu diadakan pelacakan, “mulai dari asal muasal bahan baku, masuknya ke Indonesia hingga proses produksi obat-obat yang mengandung kedua zat berbahaya”.
Muhadjir meminta Kementerian Perindustrian untuk melakukan verifikasi ulang bahan-bahan obat yang diproduksi di Indonesia, yang sebagian besar berasal dan luar negeri.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan diminta memeriksa bahan baku dan bahan dasar obat yang diimpor masuk ke Indonesia.
Melalui siaran persnya Kemenperin menyatakan telah melakukan koordinasi dengan industri farmasi yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melewati ambang batas aman.
Pihak industri menyatakan tidak ada penggunaan bahan baku EG maupun DEG pada proses produksi, sehingga terdeteksinya EG dan DEG diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain.
“Sebagai tindak lanjutnya, industri terus melakukan evalusi internal, pengujian kandungan cemaran bahan baku pada laboratorium independen, serta berkoordinasi untuk melakukan penarikan produk dari pasar. Hal ini sejalan dengan komitmen industri farmasi untuk memproduksi produk obat yang aman, berkasiat, dan bermutu,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Jumat (21/10).
‘Gampang negara dibikin guncang’
Peneliti ketahanan kesehatan global dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai sejak pandemi ketahanan kesehatan di Indonesia “jalan di tempat”. Tidak ada perubahan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
“Gampang nih suatu negara dibikin guncang, goyah, kalau ketahanan kesehatannya lemah, dalam kemampuan mendeteksinya lemah, tahu-tahu sudah merebak besar di masyarakat,” kata Dicky.
Menurut dia, mengingat Indonesia masih ketergantungan dengan impor bahan baku obat, perlu dibangun sistem yang benar-benar mengatur peran semua pihak yang terlibat, yang memiliki “legal formal” atau berkekuatan hukum.
Tidak hanya peran, manajemen risikonya juga perlu disepakati sejak awal, sampai ke kasus-kasus darurat seperti saat bencana maupun pandemi.
“Nanti siapa yang key stakeholders-nya yang ambil keputusan, ‘ketika tahap ini boleh lanjut’. Itu harus ada. Kemudian maju lagi ke tahap produksi, walaupun peran utamanya ada di perusahaan, tapi itu kan dia tidak berdiri sendiri, mungkin saja ada pihak lain yang menunjang lahirnya suatu obat, itu juga harus jelas,” ujar Dicky.
Dengan adanya sistem itu, ketika ada kejadian luar biasa, kemudian dilakukan evaluasi, akan terlihat di mana “kecolongannya”.
Mengapa baru sekarang?
Banyak masyarakat yang bertanya: mengapa gangguan ginjal akut baru terjadi sekarang, padahal beberapa obat yang diduga menjadi pemicunya sudah ada sejak lama?
Associate Professor di Departemen Kimia, Universiti Putra Malaysia, Profesor Bimo Ario Tejo, mengatakan “pandemi menjadi sebab tragedi ini”.
Prof Bimo mengatakan selain di Gambia, Haiti, Panama, dan beberapa negara lainnya juga mengalami kasus keracunan obat.
Penyebabnya kemungkinan adalah penggunaan bahan baku obat yang tidak memenuhi standar—atau yang dia sebut “bahan baku sub-standar”— untuk menekan biaya produksi karena bahan baku yang sesuai standar harganya mahal atau langka.
“Untuk kali ini, kelangkaan propilen glikol dan gliserin yang diikuti kenaikan harga di pasar Asia Pasifik, paling ketara terjadi pada kuartal dua tahun 2021 karena lonjakan permintaan dari sektor farmasi akibat gelombang Covid varian delta yang dimulai dari India dan menyebar ke seluruh benua Asia,” kata Prof Bimo.
Lonjakan dari sektor farmasi itu bukan hanya untuk produksi obat, melainkan juga untuk produksi hand sanitizer yang juga meningkat.
Di sisi lain, sejak 2020, juga terjadi kelangkaan bahan baku pembuatan propilen glikol dan gliserin akibat lockdown di seluruh dunia.
Alhasil, kelangkaan bahan baku dan tingginya permintaan memicu kenaikan harga bahan baku.
Isu global, tapi ‘sulit menentukan standar’
Ketika pengawasan di negara pemasok bahan baku, seperti India dan China, longgar, imbasnya akan terasa di negara-negara tujuan ekspor mereka, seperti Gambia dan kemungkinan besar Indonesia. Namun, seberapa besar dampaknya, itu ditentukan oleh pengawasan masing-masing negara.
Di Amerika Serikat (AS), yang juga memasok bahan baku dari China dan India, mungkin dampak yang dirasakan minim karena Food and Drugs Administration (FDA) “memiliki mekanisme pengawasan yang paling ketat”.
Obat batuk sirup bikin anak meninggal dunia.
“Mereka secara teratur menginspeksi pabrik-pabrik di India yang mengekspor bahan baku obat ke Amerika. Hanya pabrik yang telah lolos inspeksi US FDA yang boleh mengekspor ke Amerika. Jadi mereka melakukan monitoring dari hulu ke hilir,” ujar Prof Bimo.
Peraturan keamanan obat yang ketat di AS, dikatakan Prof Bimo, dipicu oleh kematian 107 orang akibat obat yang mengandung dietilen glikol pada 1937, “mirip kasus di Indonesia”.
Dia menegaskan kuncinya memang ada di pengawasan dari hulu sampai ke hilir. “Kalau cuma di Indonesia saja diperketat, tapi sumber bahan baku di China dan India nggak diawasi ya bisa kecolongan juga nanti.”
Kendati ini masalah global, Prof Bimo mengatakan sulit untuk membuat kebijakan secara global dalam hal pengawasan obat karena standar setiap negara berbeda-beda.
GN Singh, direktur BPOM India pada tahun 2014 mengakui: “Kalau kami harus mengikuti standar FDA, saya harus menutup sebagian besar pabrik obat disini”.
“Inilah kenapa BPOM dan pabrik-pabrik obat harus memperketat pengawasan terhadap bahan baku obat yang kita datangkan dari luar. Selalu cek ulang kualitasnya, apalagi yang harganya murah,” kata Prof Bimo. (*)
Tags : Obat, Indonesia, Anak-anak, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia,