"Pandemi Covid-19 mempengaruhi kinerja emiten pengelola gerai Pizza Hut, pada laporan keuangan kuartal III-2020, PZZA mencatatkan kerugian Rp8,62 miliar, padahal di periode yang sama tahun sebelumnya perseroan mencatatkan laba sebesar Rp149,2 miliar"
eterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) merilis, penjualan neto perseroan di kuartal III-2020 PT Sarimelati Kencana Tbk (PZZA) sebesar Rp2,66 triliun atau turun 9,31% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp2,93 triliun, dengan rugi per saham dasar Rp3.
Adapun penjualan netto perseroan terdiri dari pihak ketiga di mana penjualan makanan tercatat Rp2,53 triliun atau lebih rendah dari sebelumnya Rp2,62 triliun, penjualan minuman Rp136,2 miliar atau lebih rendah dari sebelumnya Rp317,9 miliar, dengan potongan penjualan Rp8,19 miliar atau lebih tinggi dari sebelumnya Rp5,77 miliar. PZZA mencatatkan adanya penurunan beban pokok penjualan di kuartal III-2020 sebesar Rp927,8 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp958,5 miliar. Perseroan juga mencatat adanya beban operasi kainnya lain-lain sebesar Rp18 miliar dari sebelumnya Rp7,7 miliar.
Sarimelati Kencana mencatatkan liabilitas sebesar Rp1,07 triliun dan ekuitas Rp1,23 triliun. Adapun total aset perseroan meningkat menjadi Rp2,24 triliun dibanding periode Desember 2019 sebesar Rp2,10 triliun.
Ratusan hingga ribuan bisnis dapat tekanan berat
Ketika pandemi virus corona 'memukul' dunia ratusan bahkan ribuan bisnis Pizza HUT tak terkecuali bisnis makanan mendapat tekanan berat. Padahal, bisnis makanan menjadi salah satu sektor yang diproyeksi tahan banting di segala kondisi. Faktanya, tak sedikit bisnis makanan gulung tikar di tengah pandemi. Salah satu yang menyita perhatian publik adalah NPC International.
Perusahaan pemegang lisensi Pizza Hut dan Wendys di Amerika Serikat (AS) ini mengajukan pailit. Pasalnya, utang perusahaan membengkak hingga US$1 miliar. NPC international memiliki lisensi 1.200 Pizza Hut dan 400 Wendys di Amerika Serikat. Pengajuan pailit NPC mematahkan anggapan bisnis makanan kebal terhadap krisis. Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia Levita Supit mengatakan tantangan yang dihadapi pebisnis waralaba (franchise) saat ini memang lebih berat ketimbang krisis 2008. Kekhawatiran atas virus corona telah menahan orang berbelanja dan membuat industri makanan terpuruk.
Kondisi terpuruk ini pun menghampiri perusahaan waralaba yang sebelumnya kuat dari segi penghasilan dan pertumbuhan di seluruh dunia. Dia memaparkan, di Indonesia tutupnya ratusan gerai KFC yang berdampak pada hampir 10 ribu pekerja adalah contoh paling gamblang. Levita menilai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah menggerus omzet harian karena restoran hanya dapat melayani pesanan take-away, layanan pengantaran online, home delivery, atau drive-thru. "Pembatasan ini membuat waralaba terutama food and beverage (makanan dan minuman) itu terpukul dibandingkan yang lain. Tentu bukan cuma KFC, atau Pizza HuT, tapi banyak yang sudah habis-habisan," katanya dirilis CNNIndonesia.com.
Tak hanya itu, tutupnya berbagai restoran waralaba juga dipengaruhi oleh larangan dan pembatasan operasional mal di Jakarta serta berbagai daerah yang menerapkan PSBB. Apalagi, saat tak beroperasi dan memiliki pemasukan, pengusaha waralaba harus terus membayar sewa hingga service charge. Menurut Levita, kondisi yang terjadi pada Pizza Hut juga bisa terjadi di Indonesia jika PSBB terus berlangsung sampai akhir tahun dan kurva kasus positif covid-19 tak melandai. "Pemerintah harus coba pikirkan juga bagaimana menyelamatkan waralaba makanan ini, bukan cuma dari pelonggaran, karena belum tentu masyarakat mau datang. Tapi harus ada relaksasi kepada mereka (waralaba)," terangnya.
Levita juga tak yakin tahun ini bisnis waralaba makanan dan minuman bisa tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun lalu bisnis waralaba tumbuh sekitar 10 persen. Dia melihat sisi permintaan yang terganggu karena masyarakat kehilangan daya beli dan kemauan berbelanja karena virus corona. Kondisi seperti ini akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja selama pandemi. Levita melihat kondisi ini bisa berlangsung hingga masa pemulihan ekonomi nasional dan 'memaksa' perusahaan untuk melakukan banyak efisiensi yang berdampak pada pendapatan pekerja.
Survei konsumen Bank Indonesia pada April 2020 sendiri menunjukkan ekspektasi kenaikan penghasilan 6 bulan yang akan datang. Hal ini terindikasi dari indeks ekspektasi penghasilan yang menurun dari 138,2 ada bulan sebelumnya menjadi 116,1. Penurunan indeks terdalam terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp2,1 juta hingga Rp3 juta. "Data-data ini akan menunjukkan seperti apa tren belanja ke depan dan pengaruhnya ke daya tahan bisnis waralaba makanan dan minuman," ujar Levita.
Di sisi lain, Ketua Kehormatan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar justru memiliki pandangan berbeda. Dia menyebut waralaba restoran makanan cepat saji besar di Indonesia masih punya kemampuan bertahan dari krisis akibat covid-19. Anang mengakui memang terjadi banyak pemangkasan pegawai dan efisiensi pada waralaba makan besar di Indonesia. Namun, kata dia, hal tersebut perlu dilakukan sebagai salah satu upaya transformasi bisnis baru. Di samping itu, daya tahan waralaba besar seperti Mc Donald's dan KFC juga cukup besar karena punya pelanggan setianya masing-masing. Menurut Anang, justru waralaba lokal dengan modal di bawah Rp100 juta yang akan terpukul sangat berat. "Harus dibedakan, ya, franchise besar dengan yang skalanya UMKM. Kalau UMKM bisa jatuh karena segmen konsumennya yang menengah ke bawah terpukul," ujarnya.
Anang menegaskan ada dua hal yang perlu diprioritaskan waralaba makanan dan minuman di Indonesia agar dapat bertahan di tengah kondisi pandemi. Pertama, mempersiapkan infrastruktur digital agar layanan online bisa digenjot lebih tinggi. Kedua, melakukan promo besar-besaran dengan potongan harga hingga menggunakan influencer untuk menggaet konsumen. Menurutnya, jika upaya tersebut tak dilakukan, waralaba akan lebih merugi karena operasional berjalan tapi pembeli tak kembali seperti di masa normal. Ia merujuk pada studi Nielsen yang tersebut menyebut bahwa 67 persen dari konsumen yang berniat untuk mengunjungi mal setelah PSBB dilonggarkan akan mengubah perilaku berbelanjanya.
Sebelum terjadi pandemi covid-19, aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh para pengunjung mal adalah membeli makanan siap saji dan minuman ringan seperti bubble tea dan kopi, atau menonton film di bioskop. Selama PSBB hingga ke fase new normal, diperkirakan konsumen mengunjungi mal hanya akan berbelanja kebutuhan sehari-hari atau membeli obat atau vitamin. Saat PSBB dilonggarkan atau berakhir, belanja kebutuhan sehari-hari masih menjadi tujuan utama konsumen ke mal. Sedangkan datang ke waralaba makanan siap saji, menonton film di bioskop dan berkumpul bersama teman tak diutamakan. "Dengan pandemi ini memang terpukul semuanya. Konsumen juga perilakunya berubah memang harus cari cara jualan misalnya sekarang kan delivery pakai go-food pakai go-jek kemudian juga cara mempromosikan nya pakai influencer artis dan lain lain," tuturnya.
Di samping itu, lanjut Anang, para pengusaha perlu berbenah untuk mengembalikan keyakinan konsumen di tengah pandemi covid-19. Caranya, dengan mengutamakan faktor kesehatan dan kebersihan. Sedangkan waralaba yang berada di dalam mal, kerjasama dengan pengelola sangat penting dilakukan. Adaptasi dengan pembayaran tanpa uang tunai, hingga penerapan teknologi nirsentuh pada pintu dan alat-alat di area toilet juga penting untuk membuat pengunjung merasa lebih aman dan nyaman. Jika hal ini dapat dilakukan, ia memprediksi sepanjang semester kedua 2020 pertumbuhan waralaba makanan minuman masih bisa dijaga di kisaran lima persen. "Tapi untuk ini, seperti saya bilang, sepertinya memang hanya bisa dilakukan oleh waralaba besar. Enggak tau kalau yang kecil-kecil nanti seperti apa," pungkasnya. (*)
Tags : Corona, Virus Covid-19, Corona Serang Pizza Hut ,