Linkungan   2024/10/26 21:16 WIB

20 Hotspot Tersebar Dipenjuru Pulau Sumatera, SALAMBA: 'Akibat Gelombang Panas Menyala Hutan Jadi Terbakar'

20 Hotspot Tersebar Dipenjuru Pulau Sumatera, SALAMBA: 'Akibat Gelombang Panas Menyala Hutan Jadi Terbakar'
Suhu siang hari dipecahkan selama gelombang panas bulan Oktober.

Gelombang panas buat kebakaran hutan menyala di Pulau Sumatera.

PEKANBARU - Hotspot atau titik panas di Pulau Sumatera masih terdeteksi hingga Sabtu 26 Oktober 2024 ini, sedangkan Provinsi Riau tercatat ada enam titik panas.

Yayasan Lingkungan Hidup Sahabat Anak Rimba [SALAMBA] melihat rangkaian bencana tahun ini yang memecahkan, terbukti dipengaruhi oleh perubahan iklim buatan manusia - dan ada kekhawatiran yang semakin besar bahwa perubahan cuaca semakin sulit diprediksi.

"Bencana alam yang disebabkan oleh pengaruh cuaca ekstrem seperti kebakaran hutan, gelombang panas dan banjir bandang mendatangkan malapetaka," kata Ir Marganda Simamora M.Si, Ketua Yayasan SALAMBA, Sabtu.

Menurutnya, rekor cuaca ekstrem telah dipecahkan secara konsisten ini membuktikan bahwa, beberapa peristiwa ekstrem itu tidak hanya disebabkan oleh pengaruh cuaca semata, tapi juga ada campur tangan perubahan iklim buatan manusia.

"Bahkan muncul kekhawatiran yang semakin besar jika bencana di masa depan semakin sulit diprediksi," sebutnya.

Pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] memperikrakan ada 20 titik hotspot di Pulau Sumatera yang tersebar di Jambi enam titik, Sumatera Barat lima titik, dan Sumatera Selatan tiga titik.

"Untuk wilayah Riau ada enam titik, tersebar di Kabupaten Bengkalis dua titik, Pelalawan tiga titik, dan Indragiri Hulu satu titik," ujar Prakirawan BMKG Pekanbaru, Sanya.

Sementara Pemprov Riau sudah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan Surat Keputusan [SK] nomor: Kpts.293/III/2024. Status siaga ini akan berlangsung hingga akhir November 2024.

BNPB sudah membantu helikopter water bombing dan patroli untuk perangi Karhutla Riau 2024.

Hingga saat ini hujan buatan atau juga dikenal Teknologi Modifikasi Cuaca [TMC] masih dilakukan di lokasi yang terdeteksi firespot atau titik api.

Kembali disebutkan GandaMora [sebutan nama sehari-harinya] ini percaya bahwa kondisi ekstrem itu akan "semakin memburuk" selama 20 tahun ke depan.

"Peristiwa cuaca ekstrem ini sekarang begitu intens dan sering, sehingga tidak sulit untuk menghubungkannya dengan pemanasan global dan perubahan iklim," dia memperingatkan.

SALAMBA sendiri memperkirakan antara korelasi dan peristiwa cuaca ekstrem serta pemanasan global yang didorong oleh emisi gas rumah kaca oleh manusia.

Tetapi Ia menilai sisi lainnya, bahwa peristiwa cuaca ekstrem disebabkan faktor alamiah.

"Kini semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa perubahan iklim buatan manusia dapat membuat kejadian ini lebih mungkin dan lebih intens."

"Yang jelas di bulan Oktober ini yang terpanas dalam catatan karena gelombang panas - udara hangat gunung menekan ke wilayah di bawah yang luas," kata dia.

Seperti di Riau, ungkapnya, daerah itu masih terus mengalami kebakaran hutan yang terus memecahkan rekor akibat gelombang panas dan kekeringan.

Jadi panas kali ini, sebutnya, benar-benar mengejutkan, tidak menyangka menyengat setajam itu. Masalah terbesar, bagaimanapun, adalah selama ini belum ada melihat datang cuaca panas seintensitas seperti itu. (*)

Tags : Perubahan iklim, Bencana alam, Lingkungan, Sains ,