GEORGE HARLIONO, Pianis muda Inggris keturunan Indonesia telah melanglang buana di dunia musik klasik internasional.
Namun ketertarikannya dengan kampung halaman ibunya di Indonesia membuatnya ingin mempelajari seni dan budaya Indonesia, termasuk bahasa dan lagu-lagu daerah.
Pada konser yang digelar di Jakarta, Indonesia, Juni 2023 silam, George membuat penonton terkesima saat memainkan Bengawan Solo, langgam keroncong yang populer di Indonesia.
Atmosfer sontak berubah ketika George memainkan tuts piano mengikuti nada lagu yang diciptakan oleh maestro keroncong Gesang dengan aransemen klasik.
Dengan balutan pakaian adat Jawa berupa beskap, kain dan blangkon, George menghibur ratusan penonton di konsernya.
“Memainkan lagu Indonesia di atas panggung depan para penonton merupakan pengalaman yang sangat emosional bagi saya,” ujar George pada 3 Mei lalu.
Pada Agustus 2024 , George akan kembali menggelar konser di kampung halaman ibunya. Dalam konser yang digelar pada Jumat (09/08) dan Minggu 11 Agustus 2024 nanti, George berencana lebih banyak memainkan lagu Indonesia.
Dia telah menyiapkan empat aransemen lagu Indonesia untuk penampilannya nanti.
Dengan mendalami bahasa dan musik lokal, George berharap bisa lebih mendekatkan diri dengan masyarakat Indonesia, khususnya pada generasi muda.
“Saya berharap ada lebih banyak lagi musisi [klasik] muda dari Indonesia. Saya ingin melakukan lebih banyak hal untuk musik klasik di sini karena ini merupakan warisan budaya ibu dan itu sangat penting bagi saya,” tuturnya.
Dari iseng bermain piano di jalanan sampai menang lomba internasional
Ketika ditemui di Yamaha Music Indonesia Auditorium, Jakarta Selatan pada Mei lalu, George memainkan beberapa lagu Indonesia, seperti "Tanah Airku", "Halo Halo Bandung", "Bengawan Solo" dan "Rayuan Pulau Kelapa".
Sebelum memainkan lagu terakhir, George mengaku sedikit gugup karena baru mempelajari lagu itu beberapa waktu lalu.
“Jadi kalau masih ada salah, mohon dimaklumi,” ujarnya dengan tertawa ringan.
Ia hanya memerlukan dua kali percobaan sebelum memainkannya dengan lancar.
“Saya merasa sangat istimewa ketika saya tampil di sini [Indonesia], untuk bisa tampil di negara asal ibu saya. Itu adalah sesuatu yang menurut saya sangat penting,” ujarnya.
Pianis berusia 23 tahun ini lahir di Cambridge, Inggris. Ayahnya berasal dari Wales, Inggris, sementara ibunya adalah warga Indonesia.
Meskipun tidak lahir di Indonesia, George mengaku memiliki ikatan emosional dengan negara asal ibunya.
Selama beberapa hari ia tinggal di Jakarta, ia gemar mencoba berbagai masakan Indonesia seperti makanan Padang dan Mie Jawa.
George mengaku sudah lama ingin mencoba belajar Bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa ibu dari ibunya.
“Ibu saya tidak pernah mengajarkannya saat saya masih kecil, tapi sekarang dia mau mengajarkan saya Bahasa Indonesia. Saya sangat ingin belajar,” kata George.
Ibunya adalah orang pertama yang mengajarkan George cara bermain piano. Ia memulai dengan lagu kanak-kanak seperti Twinkle Twinkle Little Star sebelum akhirnya kursus piano pada usia 7 tahun.
“Saya merasa bertumbuh dengan musik adalah hal yang penting bagi semua orang, tidak hanya untuk orang yang ingin menjadi musisi.”
“Menurut saya, belajar musik adalah aktivitas positif yang bisa dilakukan anak muda,” kata George yang sebelumnya sempat belajar biola juga, namun berhenti di usia 13 tahun karena ia merasa lebih mahir memainkan piano.
Ia mulai tampil di acara musik kecil dan di lomba-lomba piano setempat sejak berusia 8 tahun dan menggelar resital solo pertamanya pada usia 9 tahun.
Kemudian, saat berusia 11 tahun, George sering bermain piano di ruang publik, seperti pinggir jalan dan kolong-kolong kereta.
“Menurut saya penting bagi musisi yang sedang berkembang untuk bisa tampil di hadapan penonton, itu sangat membantu saya [tampil di depan umum],“ ujarnya, seraya menambahkan orang tuanya kerap mendampinginya ketika bermain piano di ruang publik.
Selama di Indonesia, George mencicipi makanan lokal seperti mie Jawa dan makanan Padang.
Dalam salah satu video yang dia unggah di YouTube yang sudah ditonton 10 juta kali, George yang masih berusia 11 tahun, memainkan lagu Moonlight Sonata ciptaan Ludwig van Beethoven di jalanan di tengah hujan.
Pada 2013 silam, George diundang untuk merekam "Piano Sonata Op.2 No.1 Beethoven" di Southbank Center London.
Pada 2016 penampilannya dalam Konser Piano Tchaikovsky No.1 di Aula Besar Konservatorium Moskow disiarkan langsung di TV nasional Rusia dan Medici TV.
George lulus dengan gelar Bachelor of Music (BMus) dari Royal College of Music. Dia mengikuti audisi untuk masuk perguruan tinggi itu pada usia 15 tahun dan diterima dengan beasiswa penuh.
Kini, di usia yang menginjak 23 tahun, ia sudah memenangkan sejumlah kompetisi internasional, termasuk The Grand Piano Competition di Moskow, Sendai International Music Competition, Royal Overseas League Music Competition di London.
Menurut George, penghargaan yang paling ia banggakan adalah memenangkan juara dua dalam kategori piano di International Tchaikovsky Competition pada 2023 di Moskow dan St. Petersburg, Rusia.
Kompetisi Internasional Tchaikovsky merupakan satu dari tiga kompetisi musik klasik terbesar di dunia, dengan ratusan orang yang mengikuti tahap seleksi hingga tersisa delapan kontestan di ronde akhir untuk masing-masing dari enam kategori: piano, biola, selo, vokal, instrumen tiup kayu dan instrumen tiup logam.
“Saat saya masih 10 atau 11 tahun, saya bercita-cita bisa mengikuti Kompetisi Tchaikovsky. Dan bisa memenangkan medali perak adalah pencapaian yang sangat menakjubkan bagi saya,” kata George
Kini, ia menghabiskan mayoritas waktunya berlatih piano dan menggelar pertunjukan piano di balai konser di berbagai belahan dunia. Bahkan, tiket untuk konsernya yang akan diadakan di Jakarta Agustus nanti, terjual ludes dalam hitungan menit.
George berharap lewat konser-konser pianonya, ia dapat semakin mempopulerkan lagu-lagu Indonesia ke kancah internasional dan juga, memantik minat warga Indonesia pada musik klasik.
“Saya pikir musik Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar, tidak hanya dalam negeri tetapi juga di skala internasional, khususnya Asia Tenggara,” ungkap George.
Perpaduan musik klasik dengan lagu kebangsaan seringkali menjadi ‘pintu masuk’ bagi orang Indonesia.
Ketertarikan George dengan musik Indonesia membuatnya ingin mengenal lebih banyak musisi dan komposer Indonesia. Beberapa kali, dia menerima tawaran kolaborasi dari musisi dan komposer ternama Indonesia. Salah satunya, komposer dan konduktor Addie MS.
Semangat untuk belajar dan kecintaan George terhadap seni Indonesia diapresiasi oleh Addie MS, yang mengaku sempat bertemu George untuk membahas peluang berkolaborasi. Namun hingga kini proyek kolaborasi itu belum terealisasi.
“Kalau dia membawa performance-nya ke Indonesia, pasti memberikan dampak positif,” kata Addie MS lewat Zoom saat ia berada di Atena, Yunani pada Sabtu (04/05).
"Tanah Airku" dan "Bengawan Solo" jika dibawakan dengan aransemen musik ala klasik, itu seringkali menjadi pintu untuk orang Indonesia yang tadinya menganggap [musik] klasik itu asing, terlalu serius, itu menjadi lebih mudah diakses atau masuk ke orang umum,” ungkap Addie.
Tak hanya di dalam negeri, ia juga percaya lagu-lagu Indonesia yang dibawakan George dengan aransemen piano klasik dapat membuat musik Indonesia semakin dikenal di kancah internasional.
“Orang luar negeri mungkin belum mengenal nada atau melodi, apalagi lirik bahasa Indonesia. Tetapi begitu diberi aransemen atau penataan secara orkestra, dengan instrumentasi yang mereka sudah akrab, pasti akan lebih cepat meresap,” ujar konduktor yang beberapa kali mengaransemen lagu tradisional dengan gaya orkestra megah seperti dalam albumnya The Sounds of Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengatakan di zaman sekarang, generasi muda yang ingin menekuni musik klasik secara serius memiliki banyak peluang untuk belajar dan mengembangkan minat dan bakat.
Menurut Addie, mereka tak perlu lagi harus jauh-jauh ke luar negeri untuk meniti ilmu tentang musik klasik. Sebab, kebanyakan ilmu musik dan video pertunjukkan musisi klasik bisa ditemukan di dunia maya.
“Saya selalu tekankan betapa nikmatnya jadi Gen Z dan Millennial sekarang. Mau apa saja informasi sudah bisa didapat. Tidak usah ke luar negeri di YouTube saja referensi demikian banyak,” kata Addie.
Komposer musik klasik ternama dan pendiri DAYA Indonesia Performing Arts Academy, Profesor Tjut Nyak Deviana Daudsjah, mengakui bahwa sistem pendidikan musik di Indonesia masih ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa.
Hal ini dikarenakan sarana pendukung di negara-negara Barat, yang memang merupakan negara asal musik klasik, lebih besar dibandingkan dukungan yang ada di Indonesia.
“Di Indonesia tingkatnya masih baru kelas satu SMP di Jerman. Jadi jauh banget kita jomplang,” ujar Deviana, yang juga pernah menjabat sebagai rektor di perguruan tinggi Musik International Music College (Jazz & Rockschulen Freiburg), Jerman.
Meski begitu, ia mengatakan bahwa pengajaran musik klasik di Indonesia, sekaligus profesi musik klasik, masih cukup mumpuni dalam mendidik musisi-musisi masa depan.
“Di Indonesia itu ada jutaan [musisi berbakat], bahkan jauh lebih banyak dari anak-anak yang belajar di Eropa. Bakat seni ada. Kita ini lebih berbakat seni dan musik,” tegas Deviana.
Senada dengan Addie, ia membantah anggapan bahwa musisi Indonesia harus ke luar negeri dulu baru bisa sukses.
Pada tahun 2007, Deviana diangkat oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNi) Kementerian dan Kebudayaan sebagai Ketua Konsorsium Musik Nasional dalam rangka perancangan Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional (SKKN) untuk Profesi Musik.
Ia merancang kurikulum pendidikan tinggi musik yang diakui dan diakreditasi oleh pemerintah Federal Jerman. Namun, Deviana mengeklaim masalah utamanya berada pada persepsi masyarakat yang masih memandang musisi klasik dan tradisional sebelah mata.
“Budaya kesenian dan kebudayaan ini kurang dikembangkan di Indonesia. Malah kalau kita main keroncong atau main dangdut diketawain, disebut musik norak. Sebelum kita bisa main [musik] klasik yang bagus, kita harus menghargai budaya kita sendiri dulu,” ungkapnya.
Karena menekuni musik klasik membutuhkan “disiplin, ketelitian, dan mental yang kuat”. Keseriusan dan kegigihan itu, menurut Deviana, masih kurang ditegaskan dalam sistem pendidikan musik klasik di Indonesia.
“Untuk menjadi [pemain] konser itu memang harus spesial. Bisa dikatakan dari 100 orang yang kuliah musik, tidak semua bisa main konser.
“Karena memang disiplinnya luar biasa, apalagi harus memainkan karyanya persis seperti yang ditulis, itu bisa berbulan-bulan,” katanya.
George Harliono mengatakan bahwa ia sendiri bisa menghabiskan enam jam, delapan jam, bahkan 11 jam per hari berlatih piano secara disiplin. Di waktu luangnya, ia hobi bersepeda keliling kota Cambridge atau mendengarkan musik.
Saat ia menggelar konser di Jakarta, ia merasa senang ketika melihat semakin banyak orang muda datang ke konsernya, terutama mereka yang ingin menekuni piano secara serius.
Ia berharap bisa menginspirasi lebih banyak pianis-pianis muda di Indonesia
“Saya harap skena musik klasik di Indonesia bisa berkembang dan menjadi semakin baik. Saya jarang sekali bertemu dengan musisi asal Indonesia atau keturunan Indonesia di kompetisi-kompetisi internasional sekarang ini, saya harap itu akan berubah,” kata George.
Ketika ditanya saran apa yang ingin ia berikan kepada orang-orang yang ingin menjadi pianis profesional, ia mengatakan bahwa selain harus rajin latihan, hal yang terpenting adalah tetap menjaga jati diri yang sebenarnya saat bermain musik.
“Anda harus bisa menjadi dirimu yang sejati, bermain piano secara autentik. Dan juga nikmati. Anda harus bisa menikmati musik yang dimainkan karena itulah hal terpenting,” kata George sambil tersenyum lebar. (*)
Tags : Hiburan, Kaum muda, Inggris raya, Indonesia, Musik,