JAKARTA - Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan menilai unggahan kader Partai Golkar, Erwin Aksa berupa video AI yang menampilkan sosok penguasa Orde Baru yakni Soeharto -sebagai strategi kampanye- tidak akan mengerek elektabilitas partai.
Justru, kata dia, hal itu kian menunjukkan bahwa caleg Golkar tersebut seperti putus asa lantaran "tidak memiliki figur yang bisa menjadi vote getter" di Pileg 2024 sehingga 'menghidupkan' orang yang sudah meninggal.
Namun demikian Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono, menyebut Soeharto tetaplah tokoh bangsa yang telah membesarkan Golkar -terlepas dari citra otoriter yang melekat padanya.
Lalu, seperti apa reaksi warganet atas unggahan video itu?
Seperti apa tanggapan warganet?
Calon anggota legislatif (caleg) Dapil DKI Jakarta III dari Partai Golkar, Erwin Aksa, mengunggah sebuah video Artificial Intelligence yang menampilkan sosok Presiden ke-2 RI Soeharto.
Di video berdurasi hampir tiga menit itu terlihat Soeharto mengenakan batik lengan panjang berwarna kuning dan peci hitam.
Pesan video itu pada intinya hendak mengajak masyarakat agar memilih caleg dari Partai Golkar yang disebut bisa melanjutkan mimpinya tentang kemajuan Indonesia.
"Sejak saya menjabat impian saya adalah membangun Indonesia yang maju dan sejahtera. Impian itu diwujudkan melalui pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol dan bendungan..."
"Saya bermimpi tidak ada lagi rakyat yang kelaparan, harga sembako harus stabil dan terjangkau untuk semua."
Tapi tanggapan warganet atas unggahan video tersebut di X mayoritas negatif.
Seperti yang dicuitkan akun @DediiAjii, "Golkar ini tidak vote getter sampai pakai orang yang sudah meninggal. Lama-lama jadi partai 1,%."
Ada juga yang berpendapat tak etis 'memanfaatkan' orang yag sudah meninggal untuk kepentingan politik.
Kemudian akun @BimoTjontong, yang menyebut video itu hanya membawa ingatan buruk soal pelanggaran hak asasi manusia, "Warga Kedung Ombo digusur paksa dari tempat hidupnya. Mengingatkan tragedi Trisakti dan Semanggi. Mengingatkan hancurnya petani cengkeh lewat BPPC."
Dan beberapa cuitan lainnya meminta agar video AI Soeharto tersebut dihapus dan menilai strategi kampanye seperti ini blunder dan buruk.
Mengapa video AI Soeharto ditanggapi negatif?
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, mengatakan sosok Soeharto memang tak bisa dilepaskan dari Partai Golkar.
Sebab mau tidak mau, katanya, Soeharto berhasil membuat partai berlambang pohon beringin ini besar dengan kekuasaan yang dimilikinya saat itu. Mulai dari pengerahan birokrasi sampai militer.
"Dua hal itu yang membuat mesin partai bekerja lebih kuat dibanding partai lain dan saat ini keistimewaan seperti itu dirindukan partai."
Namun sosok Soeharto juga punya catatan kelam.
Selama 32 tahun berkuasa, rezim Orde Baru lekat dengan gaya kepemimpinan yang represif, otoriter, dan kental dengan nuansa korupsi-kolusi-nepotisme.
Hingga akhirnya mendorong gerakan reformasi yang membuat kekuasaan Soeharto tumbang.
Kini kader Partai Golkar, Erwin Aksa, ingin 'menjual' ikon Orde Baru -yang diklaim sukses- tersebut untuk menunjukkan bahwa partainya masih membanggakan dan akan melanjutkan gagasan Soeharto dalam hal pembangunan di Indonesia.
Bagi generasi tua yang menikmati kemewahan di zaman Orde Baru, menurut pakar politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal, video AI itu bisa diterima.
Tapi bagi generasi muda yang kritis, belum tentu. Untuk mereka, kemunculan video AI Soeharto justru menghadirkan kenangan buruk soal Orde Baru.
Itu mengapa respon yang muncul di akun X Erwin Aksa mayoritas bernada negatif.
"Kalau responnya lebih banyak negatif artinya mulai banyak calon pemilih mulai sadar bahwa model promosi begini hanya membalikkan kenangan buruk soal Orde Baru dan ikon begini tidak memiliki tempat," kata Nicky Fahrizal.
Mengapa menggunakan AI Soeharto sebagai kampanye?
Caleg Dapil DKI Jakarta III dari Partai Golkar, Erwin Aksa, mengakui video mendiang Soeharto itu adalah rekayasa yang dibuat melalui kecerdasan buatan.
Dan pembuatan video semacam ini, klaimnya, sudah lazim digunakan dalam kontestasi pemilu.
Ia memberikan contoh bagaimana video mantan Presiden AS, Barack Obama yang berbicara selama satu menit dan viral di dunia maya ternyata menggunakan AI.
"Video yang saya buat itu namanya deepfake. Teknologi yang canggih dan keterampilan anak-anak Indonesia dalam AI sudah mampu membuat deepfake," ucap Erwin seperti dilansir Tirto.id.
Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono, juga sependapat.
Dia menyebut "Soeharto adalah tokoh bangsa yang telah membesarkan Golkar dan memposisikan Golkar sebagai wadah pendidikan kader, pelayan bangsa dan mesin politik yang sepenuhnya berjalan untuk pengabdian kepada rakyat," ujarnya, Rabu (10/01).
Malah menurutnya Soeharto layak mendapat gelar pahlawan.
Karenanya sebagai Ketua DPP Partai Golkar dia menilai tak ada yang salah dengan video AI Soeharto sebagai bahan kampanye.
'Golkar kehilangan magnet politik'
Namun demikian pengamat politik dari BRIN, Devi Darmawan, menilai langkah caleg Partai Golkar, Erwin Aksa, menggunakan video AI Soeharto sebagai bahan kampanye sesungguhnya memperlihatkan ketidakpercayaannya pada partai.
Golkar, sambungnya, dianggap tidak memiliki 'magnet politik' atau tokoh kuat untuk mendongkrak suaranya sehingga harus mencari alternatif lain demi mendapatkan kursi legislatif.
Salah satunya melekatkan 'tokoh besar yang pernah ada' di Golkar.
"Golkar tidak punya tokoh yang bisa menjadi vote getter, berbeda dengan PDIP yang mempunyai tokoh pemersatu dan mendulang suara lewat Megawati..."
"Kemudian SBY dengan Demokrat dan Prabowo siapa yang tidak tahu Gerindra."
Krisis figur dalam Golkar, menurut Devi, juga membuat kader atau para caleg dari partai berlambang pohon beringin sulit meraih target posisi pertama dalam perolehan suara dari jumlah kursi DPR RI di Pileg 2024.
Belum lagi karakter pemilih Golkar di akar rumput, berdasarkan pengamatannya, tidak benar-benar loyal ditambah adanya perubahan generasi.
"Semuanya cair apalagi ada perubahan generasi, perubahan sikap dan citra Golkar yang merupakan bagian dari Orde Baru, sulit untuk melunturkan citra itu dalam Golkar. Meski Golkar menunjukkan melakukan transformasi, tapi tidak ada tokoh yang dibangun," jelas Devi.
Sejauh pengamatannya, Ketua Umum Airlangga Hartarto tidak bisa menjadi 'wajah partai'.
Dalam berbagai survei, elektabilitasnya sangat rendah. Karena itulah sejumlah caleg Golkar yang hendak kampanye setengah hati memajang wajahnya di spanduk atau baliho.
"Jadi Golkar ini sudah kehilangan magnet politiknya."
"Itu kan betul-betul menunjukkan sudah krisis sekali hanya untuk mendongkrak elektabilitas, caleg tidak bisa lagi bertumpu pada Golkar yang besar... seperti hilang arah."
Bagaimana elektabilitas Golkar?
Bersandar pada hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dilakukan pada 13-18 Desember 2023 di 34 provinsi di Indonesia, PDIP menjadi partai teratas yang bakal memperoleh suara di Pileg 2024 yakni 16,4%.
Disusul posisi kedua Gerindra dengan 14,6% dan berikutnya Golkar 11,9%.
Kemudian PKS dengan 11,8% dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebesar 9,2%.
Tak berbeda jauh dengan survei CSIS, Indikator Politik yang merilis surveinya pada akhir Desember 2023 juga menempatkan PDIP di posisi pertama.
Lalu Gerindra 18,2% dan di posisi ketiga ada Golkar 9,3%.
Terakhir Litbang Kompas mengeluarkan survei bahwa Partai Gerindra diprediksi menempati posisi teratas Pileg 2024 dengan 21,9%.
Berikutnya PDIP sebesar 18,3% dan Golkar 8,0%.
Akan tetapi, video AI Soeharto yang digadang-gadang bakal menarik perhatian pemilih di Pileg 2024 diperkirakan menjadi "senjata makan tuan," menurut Devi.
Pemilih muda yang kritis, kata dia, bakal makin enggan mencoblos Golkar.
Pasalnya narasi-narasi Orde Baru selalu mendapat reaksi negatif di masyarakat.
Devi juga menambahkan selama mesin partai tidak bekerja membesarkan tokoh-tokohnya maka Golkar akan ditinggal simpatisannya.
"Tentu tidak akan terkerek [elektabilitas Golkar dan Erwin] karena sosok yang digunakan itu sosok Orba. Ketika pemilih yang sebagian besar adalah anak muda yang kritis punya asosiasi kok wajah Orde Baru yang ditampilkan?"
"Jadi hal begini juga tidak bisa membuat mereka memilih Golkar". (*)
Tags : Media sosial, Teknologi, Politik, Pilpres 2024, Kecerdasan buatan, Indonesia, Pemilu 2024,