JAKARTA - PDI Perjuangan menghadapi “tantangan tidak mudah” setelah dukungan dari Golkar dan PAN sudah pasti tidak mengalir ke bacapres Ganjar Pranowo.
Namun Ganjar dinilai masih berpeluang menang, meski dukungan dari partai-partai politik yang berpengaruh relatif sedikit.
Sosok Joko Widodo juga disebut bisa menentukan keberhasilan Ganjar.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarrudin, menakar Ganjar Pranowo "belum tentu" memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi kondisi di mana koalisinya "dikeroyok" oleh koalisi Prabowo dan koalisi Anies.
Namun, menurut Ujang, arah dukungan Joko Widodo (Jokowi) bisa menjadi "penentu".
Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan Ganjar punya "kekuatan" tersendiri, melihat elektabilitasnya yang dinilai "bersaing ketat" dengan Prabowo Subianto.
Ketua Dewan Pembina Partai (DPP) PDIP, Said Abdullah, mengeklaim nyali mereka "tidak akan ciut", walau Ganjar didukung partai-partai politik yang tidak sebanding dengan kubu partai pendukung Prabowo Subianto.
Seberapa besar kekuatan Ganjar dan PDIP, setelah dua partai besar, Golkar dan PAN, yang tadinya mengarah pada mereka, sekarang malah berbalik mendukung Prabowo dan Gerindra?
Mengapa Ganjar ditinggalkan Golkar dan PAN?
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, yakin perubahan arah dukungan Golkar dan PAN sudah dipertimbangkan dengan matang, menyesuaikan kepentingan masing-masing.
Menurut Ujang, PAN menarik dukungannya dari Ganjar karena tawaran untuk menyandingkan Erick Thohir sebagai bakal cawapres Ganjar “ditolak atau bertepuk sebelah tangan”.
Dengan mendukung Prabowo Subianto, lanjut Ujang, Erick Thohir memiliki kesempatan untuk menjadi bakal cawapres.
“Dan arus bawah PAN juga mengarah kepada dukungan ke Prabowo Subianto dibandingkan ke Ganjar. Jadi, saya melihat atas dasar itu PAN sudah tepat ketika mengusung Prabowo,” kata Ujang didepan media, Senin (14/08).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu juga mengatakan deklarasi Golkar untuk Prabowo adalah langkah yang “rasional”. Sebab, menurut hasil hitung-hitungan, Golkar “tidak akan mendapatkan apa-apa” jika tetap mendukung Ganjar.
Posisi bakal cawapres Ganjar, tidak mungkin diisi Airlangga Hartarto, jelas Ujang, dan partai berlambang pohon beringin itu pun “tidak akan mendapatkan efek elektoral atau efek ekor jas” dengan memberikan dukungannya kepada Ganjar.
Efek elektoral atau ekor jas adalah istilah yang merujuk pada hasil yang didapatkan dari melibatkan figur tertentu, yang penting atau terkenal.
“Maka secara rasional Golkar mendukung Prabowo karena lebih bebas bermanuver. Dan selain kader-kader Golkar di bawah mendukung Prabowo, di saat yang sama juga Golkar bisa mendapatkan efek elektoral dari dukungan Golkar kepada Prabowo Subianto itu,” ujar Ujang.
Seperti diketahui, sebelum mendirikan Partai Gerindra, Prabowo Subianto merupakan kader Golkar, bersama dengan Airlangga.
Keputusan Golkar dan PAN mengubah arah dukungan dinilai masuk akal karena PDIP pun merasa “lebih dominan dan lebih berkuasa” sehingga menganggap partai-partai lain tidak punya posisi tawar yang tinggi.
Benarkah PDIP ditinggalkan karena memilih kader NU sebagai bakal cawapres?
Perubahan dukungan Golkar dan PAN untuk PDIP, menurut pengamat politik Adi Prayitno, dilakukan karena kedua partai itu yakin kesempatan untuk menjadi "pendamping" Ganjar sudah "tertutup".
Sebab, PDIP "mengincar tokoh-tokoh yang dinilai mampu mengonsolidasi kekuatan politik NU [Nahdlatul Ulama]".
"Sampai kapanpun rasanya sulit bagi Pak Airlangga ataupun Erick Thohir untuk bisa menjadi pendampingnya Ganjar karena kedua tokoh ini tidak mewakili NU," kata Adi Adi Prayitno, Senin (14/08).
Usai Golkar dan PAN mengumumkan dukungan untuk Prabowo, Ganjar Pranowo langsung menemui Yenny Wahid, salah satu figur NU.
Yenny adalah anak pertama Presiden Gus Dur dan beberapa waktu lalu mengaku siap dicalonkan sebagai bakal calon presiden.
Namun, menurut Adi, pendekatan yang dilakukan Ganjar terhadap Yenny tidak serta merta berarti menjadikan Yenny sebagai wakilnya.
Dia menduga Yenny diincar untuk menjadi bagian dari tim pemenangan Ganjar dan PDIP. Buktinya, PDIP tidak pernah menyebut Yenny sebagai calon potensial cawapres Ganjar.
Sejauh ini, PDIP, melalui Puan Maharani, hanya menyebutkan lima nama kandidat bakal cawapres untuk Ganjar, mereka adalah: Sandiaga Uno, Erick Thohir, Andika Perkasa, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Muhaimin Iskandar.
"Bisa saja jadi vote getter, target yang kemudian dinilai mampu menjadi magnet dan menjadi daya tarik bagi kalangan nahdliyin untuk mendukung Ganjar. Karena kalau Yenny teridentifikasi dekat dengan Ganjar atau mendukung Ganjar, maka sangat mungkin para warga nahdliyin terutama 'Gusdurian' itu bisa mendukungnya karena begitu," Adi menjelaskan.
PDIP sudah 'terlatih'
PDIP menyebut manuver Golkar dan PAN “mencerminkan tumbuhnya demokrasi dengan baik”. Ketua Dewan Pembina Partai (DPP) Said Abdullah mengatakan dengan kekuatan politik yang ada PDIP “merasa besar hati”.
Saat ini Ganjar didukung oleh PPP, Hanura, dan Perindo. Namun, dalam perkembangan terakhir, pada Senin (14/08), PDIP mempersilakan PPP mencabut dukungannya jika bakal cawapres terpilih pendamping Ganjar bukan Sandiaga Uno.
"PDI Perjuangan memiliki sejarah panjang sebagai partai yang dididik dan dibesarkan dengan terbiasa dikeroyok secara politik," kata Said dalam keterangan tertulisnya kepada media, pada Minggu (13/08), setelah Golkar dan PAN melakukan deklarasi.
PDIP yakin Ganjar Pranowo adalah figur yang memiliki “prospek magnet elektoral yang sangat besar hingga masa pencoblosan 14 Februari 2024 nanti”.
Said Abdullah menyatakan pihaknya yakin dan siap menghadapi “tantangan yang tidak mudah” dalam Pilpres 2024 kali ini.
Menurut dia, PDIP dan Ganjar Pranowo telah terlatih dalam pertempuran elektoral, dengan tikungan-tikungan tajam di dalamnya.
Salah satu buktinya, Said menyebut, Ganjar berhasil “menang signifikan” dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah, padahal kala itu Ganjar menghadapi petahana, Bibit Waluyo.
“Tentu saja kebulatan tekad ini bukan sekedar modal nekat. Kami tentu [memiliki] kesadaran kalkulatif-rasional dalam menyusun strategi pemenangan. Oleh sebab itu, tunggu saja tanggal mainnya, kami akan buktikan segenap kader PDI Perjuangan akan berjuang sehebat hebatnya memenangkan Ganjar Pranowo,” kata Said, Senin (14/08).
‘Penentunya Jokowi’
Jika PDIP merasa “dikeroyok”, lantas seberapa kuat sosok Ganjar Pranowo menghadapi ‘keroyokan’ itu?
“Belum tentu. Bisa kuat, bisa tidak. Faktor penentunya tentu Jokowi,” kata pengamat politik Ujang Komaruddin.
Arah dukungan Jokowi disebut Ujang menjadi faktor penentunya. Jika Jokowi sepenuhnya mendukung PDIP, berarti Ganjar memiliki cukup kekuatan.
Namun, jika Jokowi “murni” mendukung Prabowo, PDIP akan mengalami situasi yang “berat”.
“Kita lihat, Jokowi main dua kaki ke PDIP atau ke Prabowo, di situ letak kunci dari permainan politik Pilpres 2024 nanti,” tegas Ujang.
Adi Prayitno menambahkan dukungan Jokowi memang diperebutkan dalam hal ini karena suara Jokowi bisa "meningkatkan elektabilitas seseorang sebanyak 5-7%".
"Kalau memang Jokowi tidak bisa diyakinkan untuk 100% pasang badan untuk Ganjar, ya pastinya kapal PDIP sudah berlayar, Ganjar sudah diumumkan, tidak boleh tidak, ya harus berjuang," jelas Adi.
Sedangkan, menurut dia, jika Jokowi menyatakan dukungannya kepada Prabowo, situasi akan menjadi lebih "rumit" untuk PDIP karena "daya gedornya" tidak terlampau signifikan.
Sejauh ini, dukungan Jokowi disebut-sebut mengarah ke Prabowo. Beberapa kelompok relawan pendukung Jokowi bahkan telah memutuskan mendukung Prabowo.
Salah satunya adalah Relawan Jokowi se-Jawa Timur yang menyatakan dukungannya pada 7 Agustus lalu.
Setelah itu, 'restu' Jokowi untuk Prabowo semakin diperkuat dengan manuver Prabowo yang mengincar Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi yang sekaligus merupakan wali kota Solo, menjadi bakal cawapres.
“Gibran merupakan salah satu tokoh yang diperhitungkan menjadi cawapres,” kata Prabowo pada 9 Agustus 2023 lalu ketika ditanya oleh relawan Jokowi-Gibran di Solo, Jawa Tengah, dikutip dari Tempo.
Gibran menanggapinya dengan mengatakan “belum cukup umur” dan memilih fokus bekerja sebagai wali kota Solo.
Dosen politik Universitas Al Azhar itu menilai PDIP tidak bisa menyamakan kondisi ‘keroyokan’ pada Pilpres 2014 lalu dengan saat ini karena situasinya sama sekali berbeda.
Dalam pilpres kali ini, menurut Ujang, ada “cawe-cawe” presiden dalam mendukung bakal capres, yang mana dulu hal itu tidak terjadi.
“Nah, saat ini kan ada, saat ini Jokowi sudah mengatakan langsung ikut cawe-cawe juga, dalam konteks membangun koalisi dukung mendukung di capres dan cawapres,” katanya menjelaskan.
Pada 29 Mei 2023 lalu, Presiden Jokowi menyatakan dirinya melakukan “cawe-cawe untuk negara” dan kepentingan nasional.
“Saya cawe-cawe dalam arti positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini saya bisa cawe-cawe,” kata Jokowi saat bertemu dengan sejumlah pemimpin redaksi media dan kreator konten di Istana Kepresidenan Jakarta.
Tak hanya soal “cawe-cawe” presiden, PDIP mengalami kondisi yang berbeda dalam pilpres kali ini, yang mungkin membuat posisi PDIP tidak sekuat dulu.
Ujang mengatakan pada Pilpres 2014 lalu, PDIP sudah menjadi partai oposisi selama 10 tahun dan “sudah saatnya naik”.
Belum lagi ada “efek Jokowi”, yang saat ini tidak dimiliki Ganjar Pranowo.
“Jadi dukungan publik kepada Jokowi tinggi, makanya surveinya kan sampai 60% ketika itu,” ungkap Ujang.
Sebaliknya, hasil-hasil survei saat ini menunjukkan elektabilitas Ganjar di bawah Prabowo.
'Kuat di awal, kempes di akhir'
Adi Prayitno menyampaikan analisa yang berbeda. Dilihat dari elektabilitas yang "bersaing ketat" dengan Prabowo, menurut Adi, Ganjar justru punya kekuatan.
Sebab, elektabilitas yang diperoleh Prabowo saat ini sejatinya merupakan akumulasi sejak 2009 lalu, sementara untuk Ganjar, ini adalah pilpres pertamanya.
"Kalau terus dan kencang, agresif melakukan kampanye politik, bukan tidak mungkin elektabilitasnya potensial juga naik. Tapi, sangat tergantung karena Prabowo saat ini sedang berada di puncak kepercayaan diri yang luar biasa, elektabilitasnya naik, dinilai dekat dengan Jokowi, dan dukungan partainya banyak," kata Adi.
Dia juga tidak setuju kalau Jokowi disebut bisa memenangkan kompetisi sebagai presiden karena sosoknya yang dinilai cemerlang, yang dinilai berhasil menjadi wali kota Solo, kemudian melaju sebagai gubernur DKI Jakarta, dan kemudian mencalonkan diri sebagai presiden.
Kata Adi, dua minggu sebelum Pilpres 2014, elektabilitas Jokowi masih "ketinggalan" dari Prabowo Subianto.
"Jokowi itu mampu membalik keadaan detik-detik akhir jelang pencoblosan. Trigger-nya itu konser dua jari [yang diadakan kubu Jokowi] dan pendukungnya Prabowo ada yang ngata-ngatain, 'Hari Santri itu sinting', yang membuat marah warga Nahdliyin," ucap Adi, yang juga merupakan Direktur Eksekutif Parameter Politik.
Pada 2014 lalu, kubu Jokowi mengusulkan 1 Muharram diperingati sebagai Hari Santri dan itu yang dikatakan Adi bisa menarik dukungan warga NU.
"Artinya apa, politik kita kan politik last minutes, kadang terlihat kuat di awal, tapi di akhir kempes karena blunder yang dilakukan oleh calon ataupun kesalahan-kesalahan yang lain oleh tim sukses. Dan Ganjar punya potensi di situ," ujar Adi.
Dia menekankan pilpres adalah pemilihan presiden secara langsung, bukan pemilihan partai. Oleh sebab itu, banyaknya dukungan partai itu seringkali tidak berefek pada tingkat keterpilihan seseorang.
Menurut Adi, kuncinya adalah "daya tarik" yang dimiliki oleh sang capres, seberapa mampu dia meyakinkan pemilih atau tidak.
Prabowo unggul di survei
Awal Agustus 2023, survei dari Lembaga Survei Political Statistics (Polstat) Indonesia menunjukkan, dari tiga bakal capres, Prabowo memiliki elektabilitas tertinggi, yaitu 41,4%, disusul Ganjar dengan 27%, dan Anies dengan 26,9%.
Sementara 4,7% responden menjawab tidak tahu atau tidak jawab.
Hasil survei Indikator Politik terhadap elektabilitas tokoh politik dalam simulasi pemilihan presiden pada Juni 2023 lalu menunjukkan hal yang sama.
Prabowo masih tampil sebagai bakal capres dengan elektabilitas tertinggi dengan nilai 42,8%.
Di posisi kedua ada Anies Baswedan dengan 34,6% dan Ganjar Pranowo digambarkan tertinggal jauh dengan hasil survei sebesar 3,9%.
Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Juli 2023 mencatat elektabilitas Prabowo di atas dua pesaingnya.
Hasil survei menunjukkan elektabilitas Prabowo Subianto berada di angka 38,2%, Ganjar Pranowo sebesar 35,3%, dan Anies Baswedan 18,4%.
Elektabilitas Prabowo dilaporkan mengalami tren kenaikan, sementara Ganjar cenderung fluktuatif, dan Anies cenderung stagnan.
Pada Mei 2023, Charta Politika merilis survei elektabilitas tiga bakal capres dengan simulasi tiga nama yang sering mucul, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.
Hasilnya, Ganjar dipilih oleh 36,6% responden, Prabowo 33,2%, dan Anies 23%.
Peta koalisi saat ini
Beberapa perubahan terjadi dalam peta koalisi partai-partai pendukung bakal capres 2024.
Per 13 Agustus 2023, sekitar dua bulan sebelum pencalonan presiden dan wakilnya ke Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU), Golkar dan PAN yang tadinya berada di Koalisi Indonesia Bersatu bersama PPP, kini mendukung Prabowo.
Manuver Golkar dan PAN yang mengumumkan mendukung capres Prabowo adalah yang terbaru. Sebelumnya, Golkar dan PAN menyatakan mendukung bakal capre Ganjar Pranowo, walaupun belum menyatakan bergabung dengan koalisi.
Perubahan arah angin kedua partai yang menduduki parlemen itu membuat koalisi pendukung bakal capres Prabowo Subianto, koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, mengantongi 41,41% suara di DPR (parliament threshold), dengan komposisi Partai Gerindra, Golkar, PKB, dan PAN.
Di posisi kedua ada Koalisi Perubahan untuk Persatuan—NasDem, PKS, Demokrat— yang mendukung bakal capres Anies Baswedan, dengan total suara dukungan di DPR 25,03%.
Sedangkan Koalisi Indonesia Bersatu yang mengusung Ganjar Pranowo tinggal mengantongi 23,85% suara di parlemen. Koalisi Indonesia Bersatu terdiri dari PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo. (*)
Tags : Joko Widodo, Politik, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024,