JAKARTA - Indonesia Corruption Watch mengatakan salah satu penyebab utama terjeratnya Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, dalam kasus korupsi adalah karena biaya politik yang tinggi untuk dapat menjadi kepala daerah.
Nurdin Abdullah, pejabat publik yang mendapat beragam prestasi, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap miliaran rupiah terkait proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, "Jangan berpikir bahwa setiap orang yang sudah menerima penghargaan tidak akan melakukan korupsi, karena korupsi adalah pertemuan antara kekuasaan dan kesempatan serta minusnya integritas".
Nurdin yang merupakan kader PDI Perjuangan mendapatkan penghargaan antikorupsi Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada tahun 2017. Ia juga penerima penghargaan atas predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI) tahun 2017, Tokoh Perubahan dari surat kabar Republika hingga Tanda Bintang Jasa Utama Bidang Koperasi dan UKM dari Presiden Joko Widodo.
Di saat menjabat, kata Bivitri Savitri — pakar hukum tata negara dan juga juri BHACA Award tahun 2017 — "sistem birokrasi tertutup di pemerintahan daerah menyebabkan pengambilan keputusan seperti proyek infrastruktur dan perizinan rawan praktik korupsi". Saat ditanya tentang dugaan biaya politik tinggi, Ketua Bidang Kehormatan Partai DPD PDI Perjuangan Sulsel, Andi Ansari Mangkona mengatakan, "Tentunya kalau mau memang banyak-banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat, karena masyarakat yang menentukan keterpilihannya orang dalam pilkada gubernur, bupati bahkan presiden."
Di sisi lain, beberapa masyarakat Sulawesi Selatan menyatakan tidak kaget dengan penangkapan itu. Mereka menyambut baik langkah KPK dan berharap lembaga antirasuah itu dapat menangkap pihak-pihak lain yang diduga terlibat.
Sebelum kasus dugaan korupsi terungkap, Nurdin Abdullah adalah cerminan kepala daerah yang berintegritas, berinovasi, membawa perubahan dan antikorupsi. Ia memperoleh beragam jenis penghargaan mulai dari media massa, kampus, LSM, kementerian dan lembaga, hingga presiden. Penghargaan itu diterima mayoritas saat Nurdin menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulsel dari 2008 hingga 2018.
Sejumlah penghargaan itu termasuk Satya Lencana bidang pertanian dari presiden tahun 2009, piagam dan medali dari Kejaksaan Agung terhadap kepedulian pengelolaan dan pengembangan kantin kejujuran di Kabupaten Bantaeng tahun 2010, Piala Adipura dari Menteri Lingkungan Hidup. Lalu menjadi People of The Year tahun 2012 dari Harian Seputar Indonesia, mendapatkan Piala Adipura empat tahun berturut-turut, dan penghargaan sebagai Tokoh Perubahan Tahun 2014 dari Republika.
Kemudian, ia mendapatkan penghargaan Ganesa Prajamanggala Bakti Adiutama dari Rektor Intitut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2016. Pada 2017, Nurdin menerima anugerah Kepala Daerah Pilihan Tempo, sebagai Kepala Daerah Teladan, penghargaan atas predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik dari Obudsman Republik Indonesia (ORI), dan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA).
Salah satu juri BHACA, Bivitri Savitri mengatakan, Nurdin berhasil "menunjukkan perbaikan saat menjadi bupati Bantaeng dengan melakukan inovasi dan membentuk sistem yang berkelanjutan sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan". "Tapi beda bupati dengan gubernur, apalagi gubernur Sulsel. Situasi politiknya, pemainnya, oligarkinya dan elitenya berbeda dengan Bantaeng, banyak persoalan di situ yang mempengaruhi di tambah lagi biaya politik yang tinggi," kata Bivitri dirilis BBC News Indonesia, Senin (01/03).
KPK menetapkan Nurdin sebagai tersangka karena diduga menerima uang sejumlah Rp5,4 miliar terkait sejumlah proyek infrastruktur di Sulsel. Selain Nurdin, KPK juga menetapkan Sekretaris Dinas PUTR Sulsel, Edy Rahmat, dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto, sebagai tersangka. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, segala prestasi yang didapat Nurdin "terjadi pada waktu dan tempat tertentu". "Tetapi korupsi itu disebabkan oleh karena ada kekuasaan, kesempatan, keserakahan, ada kebutuhan dan paling penting jangan berpikir bahwa setiap orang yang sudah menerima penghargaan tidak adak melakukan korupsi. Kenapa? Karena korupsi adalah pertemuan antara kekuasaan dan kesempatan serta minus integritas." Kata Firli.
Firli berharap melalui kasus ini, seluruh penyelenggara negara hingga pejabat publik untuk memegang teguh amanah rakyat dengan menjauhi perilaku korupsi. Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan tersandungnya kepala daerah yang sarat prestasi dalam pusaran korupsi itu salah satunya disebabkan oleh biaya politik mahal di Indonesia. "Ketika kepala daerah mau maju sebagai paslon dia memerlukan sokongan materi yang besar dan tidak mungkin ditutupi biaya pribadi sehingga mendapatkan sumbangan dari pengusaha atau parpol atau pihak lain, bahkan mereka juga harus memberikan mahar politik kepada parpol. Sehingga ketika nantinya dia menang dan menjabat, dia harus mencari cara untuk menutupi kebutuhan itu baik dengan balas budi, atau membayar kembali, dan korupsi menjadi salah satu cara yang mereka ambil karena gajinya tidak akan cukup mengganti itu," ujar Egi.
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) menyebut setiap calon kepala daerah dibayang-bayangi oleh modal politik, yaitu mahar politik untuk mendapatkan rekomendasi partai (perahu politik), biaya menggerakkan mesin partai, mendanai tim pemenangan, biaya kampanye online dan offline, sumbangan politik pada masyarakat, hingga pembayaran saksi di tempat pemungutan suara (TPS).
Faktor selanjutnya di saat menjabat, kata pakar hukum tata negara Bivitri Savitri, para kepala daerah tersebut memiliki peluang terbuka melakukan korupsi karena lemahnya pengawasan sistem birokrasi, contohnya seperti saat pengambilan keputusan terkait proyek infrastruktur dan perizinan. "Beberapa proyek bisa dilakukan penunjukkan langsung, tender direkayasa, dan penelusuran conflict of interest lemah, itu yang harus diperbaiki. Sebenarnya bisa, tapi tidak dilakukan karena menguntungkan mereka," ujar Bivitri.
Saat ditanya tentang dugaan biaya politik tinggi, Ketua Bidang Kehormatan Partai DPD PDIP Sulsel, Andi Ansari Mangkona mengatakan, "Itu kan hak mereka untuk menilai seperti itu, tentunya kalau mau menang [harus] banyak-banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat, karena masyarakat yang menentukan keterpilihannya orang dalam pilkada gubernur, bupati bahkan presiden."
Andi Ansari menambahkan, ia mengatakan kaget saat mendengar penangkapan itu. "Kita sebagai kader PDI Perjuangan sebagai pengusung gubernur lalu, Pak Nurdin itu orang baik, dan status hukumnya kita hargai itu hukum. Kasus hukum itu harus dihadapi dan praduga tak bersalah sebelum inkrah secara hukum ya kita menunggu prosesnya lagi," kata.
Menurut keterangan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), biaya minimal yang harus dikeluarkan pasangan calon menjadi bupati atau wali kota sekitar dari Rp25 milar hingga ratusan miliar rupiah, bahkan di tingkat gubernur mencapai hingga triliunan rupiah. Menurut Litbang KPK, biaya dikeluarkan bupati atau wali kota rata-rata Rp20 miliar sampai Rp30 miliar, sedangkan di level gubernur dari Rp20 miliar hingga Rp100 miliar.
Banyak kalangan mengatakan pengeluaran itu tidak sebanding dengan gaji yang mereka dapatkan saat menjabat selama lima tahun. Ady Anugrah, warga Makasar menyambut baik penangkapan gubernurnya yang diduga telah menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi. "Tapi di sisi lain saya prihatin karena ternyata di Sulsel banyak koruptor. Saya harap ini dapat jadi pintu masuk membongkar kejahatan-kejahatan lain," kata Ady.
Atas penangkapan ini, Edy juga jadi berpikir, "bisa jadi di periode pemerintahan yang sebelumnya ada dugaan korupsi juga". Hendra, warga Makasar lainnya mengatakan tidak terkejut dengan penangkapan tersebut. "Saya prediksi ia akan tersangkut kasus hukum karena banyak kebijakannya yang diduga melanggar tapi kami tidak bisa apa-apa, untung KPK bergerak cepat," ujar Hendra.
Kronologi penangkapan
Pada Jumat (26/02) lalu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Nurdin Abdullah, Sekretaris Dinas PUTR Sulsel Edy Rahmat dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba Agung Sucipto. KPK mengamankan uang sebesar Rp2 miliar dalam koper yang diduga diberikan Agung kepada Nurdin melalui Edy. KPK menyebut, Agung pernah mengerjakan beberapa proyek infrastruktur di Sulsel di antaranya peningkatan jalan ruas Palampang-Munte-Bontolempangan di Kabupaten Bulukumba pada 2019 dengan nilai Rp28,9 miliar.
Kemudian pembangunan jalan ruas Palampang-Munte-Bontolempangan tahun 2020 senilai Rp15,7 Miliar, pembangunan jalan ruas Palampang-Munte-Bontolempangan dengan nilai Rp19 Miliar. Selain itu, pembangunan jalan, pedistrian dan penerangan jalan Kawasan Wisata Bira tahun 2020 dengan nilai Rp20,8 miliar, dan terakhir adalah proyek rehabilitasi jalan parkiran 1 dan pembangunan jalan parkiran 2 Kawasan Wisata Bira tahun 2020 dengan nilai Rp7,1 miliar. Atas perbuatannya, Nurdin Abdullah bersama Edy Rahmat disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Tipikor. Sedangkan Agung Sucipto disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor. (*)
Tags : Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Sarat Prestasi, Terjerat Kasus Korupsi,