
Luas Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dari 81.793 hektare terus berubah akibat dirambah dan berakhir jadi kebun sawit.
eban berat TNTN terjadi sudah puluhan tahun dirambah hingga berakhir jadi kebun sawit Ilegal. Berbagai persoalan hutan kawasan itu sebagai tempat dan rumah bagi satwa liar ternyata masih mendera kelestariannya.
Pada Selasa 27 September 2022 silam, sekelompok pemilik lahan sawit ilegal di kawasan TNTN, mendatangi Kantor Seksi Pengelola Wilayah (SPW) 1 Balai TNTN, di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Masa jabatan Kepala Balai TNTN dijabat Heru Sutmantoro mengungkap, pernah terjadi amuk massa berkaitan dengan tim yang menangkap sembilan perambah hutan di kawasan TNTN.
“Hutan ini kan mestinya kita jaga dan rawat. Kami sudah maksimal mencegah terjadi perambahan,” kata Heru Sutmantoro, awal Oktober 2022 lalu.
Heru mengatakan, sembilan orang itu telah dilepaskan karena mereka memperlihatkan surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan Kepala Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Riau
“Mereka rakyat kecil yang tertipu,” katanya.
Heru menegaskan, dia bersama tim bakal mengusut penerbitan surat tersebut.
“Kepala Desa Air Hitam mengaku sudah menerbitkan 1.500 SKT dalam kawasan TNTN. Satu SKT, luasnya sekitar 2 hektar,” sebutnya.
"Ini menyalahi aturan, makanya saya bersurat ke kepala desa tersebut untuk menghentikan dan mencabut SKT yang ada," jelasnya.
Kawasan TNTN ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan melalui perubahan fungsi hutan produksi terbatas seluas 83.068 hektar.
Penetapan dilakukan dua tahapan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 tanggal 19 Juli 2004 seluas 38.576 ha.
Berikutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 seluas 44.492 hektar.
Andi Kusumo, Pengendali Ekosistem Muda Balai Taman Nasional Tesso Nilo menerangkan, perambahan masih terjadi di taman nasional ini.
“Hutan alam tersisa sekitar 13 ribu hektar. Sementara, 68 ribu mengalami deforertasi dengan rincian bukaan sawit 40 ribu hektar dan sisanya 28 ribu hektar berupa semak belukar, kawasan terbuka, dan permukiman,” terangnya, pertengahan November 2022 lalu.
Andi mengatakan, pemerintah terus berupaya menjaga TNTN dari kerusakan.
Ini berdasarkan SK Nomor SK. 72/Menlhk/Setjen/HPL.0/2/2018 tanggal 7 Februari 2022 tentang Implementasi Pengelolaan Ekosistem Tesso Nilo dengan pendekatan berbasis masyarakat.
Penyelesaian konflik dilakukan dengan fokus pengelolaan TNTN.
TNTN terus tergerus
Balai Taman Nasional Tesso Nilo juga menerbitkan larangan menanam sawit dalam kawasan tanaman nasional melalui Surat Edaran Kepala Balai TNTN Nomor: SE.006/T.29/TU/Tks/1/2022.
“Larangan berlaku bagi perorangan, kelompok, koperasi, maupun perusahaan,” jelas Andi Kusumo.
Tetapi Heru Sutmantoro kembali menjelaskan soal terkait surat edaran yang dibuat bertujuan memberikan pengetahuan dan imbauan kepada masyarakat tentang larangan menanam sawit dan aktivitas lain yang dapat merusak kawasan hutan TNTN.
Dasar pembuatan surat adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Kedua, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999.
Ketiga, UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Keempat, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kelima, Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
“Untuk sawit di kawasan TNTN akan dilakukan penanganan sesuai peraturan yang berlaku,” katanya.
Dikatakan Heru Sutmantoro, sejak terbitnya surat tersebut sudah beberapa kali upaya penegakan hukum dilakukan, berkolaborasi dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum KLHK Sumatera Wilayah II Pekanbaru dan Kepolisian Resor Pelalawan, untuk memberi efek jera.
“Surat edaran merupakan ketegasan Balai TNTN dalam pengendalian sawit di kawasan taman nasional. Juga, warning bagi mereka yang tetap menanam karena dapat dilakukan tindakan hukum,” katanya.
Penegakan hukum yang juga telah dilakukan pada 2022 ini adalah, 1 tesangka perambahan inisial N ditangkap pada Maret 2022 dengan barang bukti alat berat. April, 1 tersangka perambahan inisal J diamankan.
Pada Agustus 2022 lalu itu, 3 tersangka perambahan ditangkap dengan abrang bukti chainsaw. September, 2 pembakar hutan dalam proses penyidikan.
Selain tindakan hukum, upaya penyelesaian konflik juga dapat dilakukan dengan mengembalikan fungsi hutan Tesso Nilo, yang juga merupakan habitatnya satwa liar.
“Upaya pemulihan dan pengembalian habitat satwa dilindungi harus dilakukan, agar keseimbangan ekosistem kembali berfungsi,” kata Nursamsu, Koordinator Eyes on the Forest.
Berdasarkan analisis peta yang dilakukan Greenpeace Indonesia, sekitar 355 hektar tutupan hutan di Tesso Nilo hilang sepanjang 2020.
Analisis dengan data Nusantara Atlas memperlihatkan, ada peringatan GLAD di Tesso Nilo pada 2021.
Peringatan GLAD (Global Land Analysis Discovery-Alert) adalah alat pantau berupa citra satelit yang dikembangkan University of Maryland dan Google untuk mengetahui perubahan tutupan hutan di suatu kawasan dalam skala paling terkecil dan waktu relatif singkat.
“Data ini menunjukkan sekitar 700 hektar peringatan GLAD selama 2021 di hutan Tesso Nilo,” terang Sapta Ananda Proklamasi, Peneliti Pemetaan Greenpeace Indonesia, akhir Februari 2022.
Habitat satwa liar dilindungi
Taman Nasional Tesso Nilo merupakan kawasan hutan hujan tropika daratan rendah di Pulau Sumatera.
Berdasarkan data World Wide Fund for Nature (WWF) 2019, di sini terdapat sekitar 360 jenis flora, 1.107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptil, 3 jenis primata, dan juga habitatnya harimau dan gajah sumatera.
Flora yang tumbuh juga beragam, ada 360 jenis yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku. Tanaman pohon ada 215 jenis dan tanaman anak pohon sebanyak 305 jenis.
Ical, warga Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Riau, mengatakan pernah ikut menjadi anggota tim survei populasi satwa liar di TNTN, mulai 2008 hingga 2013.
“Kami mendapati jejak hewan dan dilaporkan ke WWF. Ada tim yang memasang memasang kamera pemantau, setelah tiga bulan dilihat hasil rekamannya,” terangnya.
Jalur yang dilalui adalah Kampung Bukit, Desa Kesumah lalu keluar di Kuansing, Banthin Mekar. Saat itu yang tampak hanya hutan belantara.
“Terakhir, saya ikut survei gajah tahun 2013 untuk menentukan populasi,” jelasnya.
Riszki Is Hardianto, Peneliti Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, terganggunya habitat gajah sangat terihat di kawasan TNTN.
Ini dikarenakan aktivitas penguasaan dan penebangan hutan yang terus terjadi, dan juga konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar. Sehingga, batas-batas penggunaan ruang antara manusia dengan gajah menjadi sulit dipisahkan.
“Hilangnya area berhutan menimbulkan konflik, selain masih adanya perburuan gajah untuk diambil gadingnya,” katanya, pertengahan November 2022.
Ketua Asosiasi Madu Sialang Tesso Nilo, Wazar mengatakan, dulunya madu sialang yang merupakan hasil hutan TNTN mudah didapat.
“Bisa 70 ton madu alam dalam setahun,” jelasnya.
Selain itu ada rotan, petai, dan tanaman obat seperti kayu manis, pasak bumi, yang didapat langsung dari hutan.
Berbagai jenis ikan seperti baung, patin, juga udang masih didapati di sungai.
“Namun, hilangnya pepohonan akibat perambahan dan alih fungsi lahan, terutama menjadi kebun sawit, menyebabkan semuanya hilang. Begitu juga dengan ikan yang semakin sulit didapat, karena lingkungan yang rusak,” paparnya.
Perang narasi dalam penertiban TNTN
Akun media sosial yang dikelola Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) makin aktif mengunggah konten dan narasi berkaitan dengan penertiban kawasan hutan yang digencarkan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
Pasca pemasangan plang penguasaan kembali TNTN pada Sabtu (10/6/2025) lalu oleh Satgas PKH, pihak Balai TNTN terasa kian agresif menyebar narasi pentingnya pemulihan kawasan hutan konservasi tersebut.
Pengelola akun media sosial Balai TNTN bahkan mencuplik ulang liputan-liputan media yang berkaitan dengan ancaman yang dialami personelnya saat menjalankan tugasnya. Misalnya, di-uploadnya capture berita di media nasional yang memuat peristiwa pembakaran mobil patroli yang dituding dilakukan oleh perambah TNTN pada 2009 silam.
"Sejak dahulu, petugas kami terus melakukan upaya preemtif, preventif maupun represif, termasuk mengingatkan dan menindak pelaku perusakan," demikian caption postingan akun Facebook Balai TNTN.
"Sejak tahun 2009, petugas di lapangan telah menghadapi berbagai bentuk ancaman dan intimidasi dari para perambah, yang menunjukkan betapa kompleks dan berisikonya tugas perlindungan kawasan ini," sebut postingan itu.
"Salah satu bukti nyata adalah pembakaran mobil patroli Polisi Kehutanan (Polhut) di wilayah SPTN Wilayah I yang menjadi bentuk perlawanan terhadap penegakan hukum di kawasan ini," kata postingan itu.
Sekilas bisa dimaknai, lewat postingannya, pihak Balai TNTN seolah tak ingin disalahkan atau bahkan dituduh tak berbuat apa-apa atas kerusakan parah TNTN yang nyaris habis dirambah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Faktanya TNTN saat ini telah bersalin rupa menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit ilegal. Satgas PKH mengungkap, dari total luasan 81.793 hektare, saat ini hanya tersisa 12.561 hektare area TNTN yang belum rusak.
Akun media sosial Balai TNTN juga rajin mengunggah suara-suara dukungan terhadap penertiban TNTN yang dilakukan saat ini. Liputan media yang pro pada penertiban TNTN dari beragam tokoh dan narasumber, terus dimunculkan di akun Facebook tersebut.
Operasi penertiban TNTN oleh Satgas PKH telah menjadi obrolan krusial di media sosial sejak pekan lalu. Ruang digital menjadi lapangan pertandingan opini dua kelompok 'ekstrem' yang sedang bertarung.
Tak sedikit para pegiat media sosial, bahkan masyarakat yang mendiami TNTN menjadikan peristiwa ini sebagai konten yang terus di blow-up.
Di pihak masyarakat yang mendiami TNTN, terus membangun citranya sebagai korban atas kebijakan penertiban Satgas PKH.
Beragam alasan disuarakan. Mulai dari abainya negara dalam menjaga kawasan TNTN, klaim ketidak-tahuan masyarakat bahwa lahan yang digarap merupakan hutan konservasi, hingga klaim dijadikannya masyarakat sebagai komoditas politik setiap pesta demokrasi (pilpres, pileg dan pilkada).
Narasi tandingan yang difabrikasi kelompok terdampak operasi penertiban, juga mempersoalkan tentang status TNTN yang sebagian wilayahnya sebelum ditunjuk sebagai hutan konservasi, telah lebih dulu digarap dan dikelola masyarakat.
Mereka menuding penunjukan areal TNTN tak pernah melibatkan masyarakat, bahkan tak punya tanda-tanda batas yang jelas.
Narasi 'pendatang' juga kini makin santer didengungkan. Masyarakat yang mendiami TNTN dituduh sebagai warga luar daerah yang datang membeli lahan TNTN.
Narasi ini bisa menciptakan benturan komunitas karena berpotensi dikaitkan pada ranah SARA yang sangat sensitif.
Kelompok pro natura lebih ekstrem lagi. Mereka menilai penertiban TNTN sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan hutan konservasi tersebut. Pelestarian hutan bersifat hitam dan putih, dan relokasi menjadi harga mati.
Satgas PKH telah menetapkan keputusan 'radikal' untuk masa depan TNTN. Dua langkah akan ditempuh, yakni relokasi penduduk dan reforestasi TNTN.
Tentu saja, pilihan untuk menempuh relokasi dan reforestasi ini akan menimbulkan gejolak. Perlawanan sudah disuarakan oleh penduduk setempat.
Aksi demonstrasi yang dilakukan ribuan masyarakat di Kantor Gubernur Riau beberapa hari lalu, mencerminkan kuatnya penolakan terhadap kebijakan Satgas PKH.
Kita berharap penolakan masyarakat tidak sampai berujung pada perlawanan fisik. Tindakan anarkis tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru akan menciptakan persoalan baru.
Dalam situasi ini, dibutuhkan kebijakan negara yang efektif dan solutif. Yakni kebijakan rasional dan mampu dieksekusi untuk menuntaskan masalah.
Relokasi penduduk dan reforestasi kawasan hutan yang luas, bukanlah pekerjaan yang gampang. Mungkin, jika hal ini bisa diwujudkan, akan menjadi sejarah baru di republik ini.
Peta jalan relokasi dan reforestasi TNTN mestinya harus segera diungkap ke publik. Hal ini mesti diuji lebih dulu, sebelum diterapkan secara luas.
Perlu dilakukan dialog yang lebih intensif oleh parapihak terkait. Penertiban TNTN akan menjadi ujian berat.
Hukum memang harus ditegakkan, tapi kemanusiaan harus tetap dimuliakan.
Alasan ekonomi juga menjadi tameng untuk 'melawan' penertiban TNTN. Faktanya, belasan ribu warga saat ini telah bermukim di TNTN.
Mereka menggarap lahan sebagai petani sawit, sebagian merupakan pekerja ladang. Relokasi yang akan dilakukan Satgas PKH, akan berdampak sistemik terhadap ekonomi masyarakat setempat.
Tak sedikit masyarakat yang sudah memiliki identitas kependudukan. Bahkan, banyak sarana umum, berupa sekolah dan rumah ibadah berdiri di kawasan TNTN.
Tak sedikit pula dukungan yang diberikan kepada Satgas PKH untuk meneruskan langkah penertiban TNTN.
Beragam tokoh daerah bahkan menyeru agar segera dilakukan langkah hukum yang tegas atas kerusakan TNTN.
Suara ini didengungkan usai pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut ada indikasi korupsi dalam perambahan liar di TNTN.
Kelompok yang pro penertiban TNTN, menangkis alibi-alibi yang disuarakan kelompok terdampak. Isu bahwa areal TNTN sebagian besar dikuasai para cukong lahan dimunculkan.
Istilah cukong merujuk pada penguasaan lahan dalam area yang luas, sementara masyarakat sekadar dijadikan tameng. Memang santer terdengar kalau para toke memiliki lahan yang luas di TNTN, termasuk dari kalangan pejabat dan mantan pejabat.
Ini sesuatu yang perlu segera diungkap kebenarannya.
Tenggat waktu untuk mengosongkan TNTN
Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) memberikan tenggat waktu selama tiga bulan kepada para penggarap ilegal di kawasan konservasi TNTN, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Mereka harus mengosongkan lahan seluas 81.793 hektare (ha) yang telah disulap menjadi perkebunan kelapa sawit.
Batas waktu relokasi mandiri ditetapkan dimulai pada 22 Mei hingga 22 Agustus 2025. Kebijakan itu disampaikan langsung oleh Kasum TNI Letjen Richard TH Tampubolon saat pemasangan pelang penyegelan kawasan TNTN.
Kedatangan rombongan ke lokasi dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI Febrie Adriansyah, dan dihadiri jajaran pejabat tinggi seperti Wakil Ketua Pelaksana II Kabareskrim Komjen Wahyu Widada, Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan, Bupati Pelalawan Zukri Misran, serta unsur Forkopimda setempat.
Menurut Letjen Richard, kondisi Taman Nasional Tesso Nilo yang merupakan paru-paru dunia kini sudah sangat memprihatinkan.
Letjen Richard mengungkapkan, dari total luas awal 81.739 ha, kini hanya tersisa sekitar 20 ribu ha yang masih berbentuk hutan, yang terdiri dari 6.720 ha hutan primer, 5.499 ha hutan sekunder, dan 7.074 ha semak belukar.
“Ini kawasan konservasi milik negara. Segala aktivitas berkebun, tempat tinggal, membuka lahan, dan membakar hutan di sini adalah perbuatan melanggar hukum,” tegas Richard.
Letjen Richard menegaskan, dalam masa tenggat relokasi, warga masih diberikan kelonggaran untuk memanen kelapa sawit yang sudah berumur lebih dari lima tahun.
Namun, bagi kebun sawit di bawah umur lima tahun, langsung dikategorikan sebagai hasil perambahan baru dan dilarang untuk dilanjutkan.
“Selama tiga bulan ke depan, aktivitas pembukaan lahan, penanaman baru, maupun perluasan kebun dilarang keras. Kami mengajak masyarakat untuk mematuhi aturan ini dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab,” ujarnya.
Kasum TNI mengingatkan pentingnya menjaga kawasan TNTN sebagai habitat satwa langka seperti harimau Sumatra dan gajah yang kini semakin terancam.
“Mari kita jaga hutan ini bersama, demi masa depan anak cucu kita dan keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya,” imbaunya.
Sementara itu, Jampidsus RI Febrie Adriansyah mengungkapkan, pihaknya menemukan indikasi pelanggaran hukum yang melibatkan tidak hanya masyarakat, namun juga diduga ada keterlibatan oknum aparat dan pejabat pemerintahan.
“Ini tidak akan kami biarkan. Semua akan diproses sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
'TNTN jadi kebun sawit ilegal'
Kejaksaan Agung melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menemukan luas TNTN di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, tergerus.
“Taman Nasional Tesso Nilo ini bahwa kalau tidak salah di 2014 luasannya sekitar 81.739 hektar, tetapi dalam perkembangannya mengalami penggerusan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar di Kantor Kejagung, Jakarta, Selasa (10/6).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar
Harli mengatakan, ada sejumlah hal yang menyebabkan kawasan konservasi ini menjadi semakin tergerus.
“Yang pertama, sekarang sudah banyak penanaman kebun-kebun kelapa sawit secara ilegal. Kenapa (disebut ilegal)? Karena Taman Nasional itu merupakan kawasan hutan yang harus dilindungi,” kata dia.
Selain keberadaan kebun sawit ilegal, kedatangan masyarakat pendatang juga mengancam kawasan Taman Nsional Tesso Nilo.
Harli menyebutkan, maraknya aktivitas di kawasan taman nasional ini membuat ekosistem flora dan fauna terusik.
Aktivitas hewan-hewan liar di dalam hutan mulai banyak bersinggungan dengan manusia karena alam yang semakin tergerus.
“Jadi ada konflik antara manusia dengan hewan,” kata Harli.
Satgas PKH mengaku prihatin dengan kondisi Tesso Nilo. Penggerusan lahan di hutan ini begitu terasa jika dibandingkan dengan kondisinya yang masih baik 11 tahun yang lalu.
“Sangat memprihatinkan karena baru dalam kurun waktu 10 atau 11 tahun, tapi ada penggerusan, ada penyusutan terhadap fungsi-fungsi kawasan yang seharusnya dalam rangka pelestarian hewan-hewan liar dan juga sumber hayati yang ada di situ,” ujar Harli.
Untuk menindaklanjuti hal ini, Satgas PKH menggandeng TNI dan Polri untuk melakukan penegakan hukum sekaligus pengawasan.
Temuan tersebut juga akan diteruskan Satgas PKH kepada Kementerian Kehutanan yang berwenang untuk mengambil tindakan.
“Kita harapkan ke depan bahwa Kementerian Kehutanan itu tentu memiliki kebijakan bagaimana menghutankan itu kembali supaya ekosistem yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo itu bisa dipulihkan karena itu merupakan warisan kehidupan," kata Harli.
Untuk saat ini, Satgas PKH telah mengerahkan tim untuk mengawasi dan terus berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait demi keberlangsungan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.
Sementara anggota DPR RI minta penertiban TNTN tidak tebang pilih termasuk ke sawit.
“Kita ingin hukum ditegakkan secara tuntas. Tak boleh ada toleransi terhadap mafia tanah dan penguasa lahan ilegal di kawasan konservasi,” kata Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Muhammad Rahul dalam siaran pers, Senin (23/6).
Muhammad Rahul meminta penertiban kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Kepulauan Riau, yang kini tengah dilakukan, tidak tebang pilih.
Diketahui, penertiban dilakukan imbas luas lahan konservasi yang sebelumnya mencapai 81.739 hektar menjadi sekitar 12.000 hektar. Sisanya, sekitar 69.000 hektare, berubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal hingga pemukiman warga.
Menurutnya, penyelamatan Tesso Nilo bukan hanya soal hutan dan gajah, melainkan soal bagaimana negara hadir dengan berwibawa dan berperikemanusiaan.
Ia pun meminta pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup serta Kementerian Perhutanan menyiapkan mekanisme relokasi yang adil dan berkeadaban.
Warga, lanjutnya, harus diberi solusi hidup yang layak, bukan sekadar diusir.
Ia pun akan mengawal hal ini agar tidak melahirkan konflik horizontal.
“Kami akan kawal proses ini agar tak melahirkan konflik horizontal, tapi menjadi momentum perbaikan tata kelola kawasan hutan secara nasional,” ucapnya.
Ia menyatakan mendukung penuh langkah tegas Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan dalam menyelamatkan kawasan TNTN dari perambahan liar dan penguasaan lahan secara ilegal.
Ia tetap mengingatkan bahwa prosesnya harus berpihak pada keadilan sosial.
"Proses ini harus dijalankan secara transparan, manusiawi, dan berpihak pada keadilan sosial," jelas dia.
Sebelumnya, pemerintah tengah menertibkan kawasan TNTN yang dikuasai secara ilegal. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencatat, 40.000 hektar kawasan hutan TNTN telah dibuka lalu ditanami sawit secara ilegal.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho, menyatakan pemerintah akan memulihkan kawasan hutan tersebut melalui skema rehabilitasi berbasis padat karya, restorasi ekosistem, serta penegakan hukum secara menyeluruh.
“TNTN menjadi target strategis Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan, yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025," ucap Dwi dalam keterangannya, Jumat (20/6).
"Kami didukung oleh seluruh elemen, termasuk eselon I Kemenhut, untuk merehabilitasi kawasan hutan dengan pendekatan komprehensif dan humanis," sebutnya.
Penguasaan lahan ini juga viral di media sosial ketika Kepala Balai TNTN mendapatkan ancaman pembunuhan.
Sementara itu, Komandan Satgas Garuda menyebut kondisi TNTN saat ini sangat memprihatinkan.
Pihaknya melaporkan, populasi gajah makin menurun ditambah degradasi kawasan karena aktivitas ilegal para pendatang dalam 20 tahun terakhir.
Dari sekitar 15.000 jiwa yang tinggal di kawasan TNTN, hanya 10 persen yang merupakan penduduk asli.
Sejauh ini, pihaknya telah menempatkan 380 personel di 13 titik, memasang portal, membangun pos penjagaan, dan memulai proses pengosongan wilayah secara persuasif.
Beberapa penduduk juga mulai meninggalkan kawasan TNTN secara sukarela. Satgas mencatat 1.805 sertifikat hak milik (SHM) yang tengah diverifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Tetapi Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) tetap mendalami dugaan adanya pelanggaran perizinan sertifikat hak milik tanah di lahan Taman Nasional Tesso Nilo di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
“Aparat penegak hukum juga sekarang sedang melakukan penelitian terkait dengan adanya terbitnya sertifikat-sertifikat hak milik (SHM) atas tanah,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, saat ditemui di Lobi Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta, Selasa (10/6).
Harli menegaskan, kawasan Tesso Nilo yang disebutkan memiliki luas hingga 81.739 hektar ini sepenuhnya merupakan kawasan hutan lindung.
Pendalaman dari unsur dugaan adanya tindak pidana ini akan dilakukan secara simultan dengan upaya untuk menjaga kawasan Tesso Nilo.
“Upaya-upaya dari aparat penegak hukum akan secara simultan bersama-sama dengan pemerintah daerah supaya terkait dengan keberadaan Taman Nasional Tesso Nilo ini yang kita harapkan bisa dipulihkan dalam rangka keberlangsungan,” lanjutnya.
Setelah melakukan peninjauan di lokasi pada Selasa, Satgas PKH menemukan tiga masalah utama yang membuat luas lahan semakin tergerus.
“Pertama, sekarang sudah banyak penanaman kebun-kebun kelapa sawit secara ilegal. Kenapa (disebut ilegal)? Karena, Taman Nasional itu merupakan kawasan hutan yang harus dilindungi,” jelas Harli.
Selain itu, bertambahnya masyarakat pendatang ke kawasan Tesso Nilo ini juga menjadi ancaman tersendiri.
Maraknya aktivitas di kawasan taman nasional ini membuat ekosistem flora dan fauna terusik.
Aktivitas hewan-hewan liar di dalam hutan mulai banyak bersinggungan dengan manusia karena alam yang semakin tergerus.
“Jadi ada konflik antara manusia dengan hewan,” kata Harli.
Harli mengatakan, upaya pelestarian ini akan dilakukan dengan banyak pendekatan.
“Misalnya bahwa di sana sudah banyak orang-orang pendatang dan sudah terbit identitas-identitas yang padahal itu masih terus berada di dalam kawasan. Sehingga, sangat diperlukan ada sosialisasi dan relokasi mandiri,” lanjutnya.
Saat ini, Satgas PKH sudah membentuk tim khusus untuk mengawasi dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat terkait dengan kondisi Tesso Nilo.
Temuan dari Satgas PKH juga akan disampaikan kepada Kementerian Kehutanan yang berwenang untuk mengambil tindakan.
“Kita harapkan ke depan bahwa Kementerian Kehutanan itu tentu memiliki kebijakan bagaimana menghutankan itu kembali supaya ekosistem yang ada di Taman Nasional Tesso Nilo itu bisa dipulihkan karena itu merupakan warisan kehidupan,” lanjutnya.
Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan mengakui separuh TNTN kini jadi kebun sawit ilegal.
"Kondisi TNTN dinilai sangat memprihatinkan. Populasi gajah di dalamnya terus turun."
“Kami didukung oleh seluruh elemen untuk merehabilitasi kawasan hutan dengan pendekatan komprehensif dan humanis," ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, melalui keterangan tertulis, Jumat (20/6).
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan didukung, antara lain, Satgas Garuda, akan menertibkan kawasan hutan TNTN.
"Dari kawasan taman nasional itu yang seluas 81.739 hektare, separuhnya atau sekitar 40 ribu hektare telah dibuka dan ditanami sawit secara ilegal," sebut Dwi Januanto Nugroho.
Menurut Dwi Januanto Nugroho, TNTN di Riau menjadi bagian dari target strategis Presiden Prabowo Subianto dalam program pemulihan kawasan hutan yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025. Total ada 3,7 juta hektare kawasan hutan yang telah ditetapkan dikelola tidak sesuai dengan fungsinya.
"Penertiban atau pemulihan kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo akan dilakukan melalui skema rehabilitasi berbasis padat karya, restorasi ekosistem, serta penegakan hukum secara menyeluruh," katanya menambahkan.
Dwi Januanto Nugroho juga menekankan pentingnya dukungan lintas sektor dalam mengatasi ketimpangan jumlah Polisi Hutan yang dinilai tidak sebanding dengan besarnya tantangan pengamanan hutan di Indonesia.
Namun, soal ini, Wakil Ketua Komisi IV DPR Ahmad Johan menegaskan bahwa langkah penertiban kawasan hutan tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan represif.
“Kita memerlukan kerangka kebijakan yang terintegrasi, koordinasi lintas sektor, serta keterlibatan masyarakat lokal dan para pemangku kepentingan,” katanya.
Menurut Ahmad, Komisi IV meminta penjelasan rinci tentang tahapan penertiban yang dilakukan Satgas di TN Tesso Nilo, serta peran pemerintah daerah dan LSM dalam mendukung pemulihan.
Selain itu juga skema transisi sosial bagi masyarakat terdampak, serta penegakan hukum terhadap pelaku perambahan dan audit kepemilikan sawit ilegal di kawasan hutan.
"Pentingnya penindakan terhadap cukong dan perusahaan besar, serta pemeriksaan atas terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) ilegal yang diduga kuat melibatkan oknum pemerintah."
Menurut Komandan Satgas Garuda, Brigadir Jenderal TNI Dody Triwinarto, kondisi TN Tesso Nilo saat ini sangat memprihatinkan.
Dia menunjuk populasi gajah di kawasan taman nasional itu yang terus turun.
Sepanjang 20 tahun terakhir pula kawasan hutan taman nasional itu disebutkannya mengalami degradasi akibat aktivitas ilegal masyarakat pendatang di dalam kawasan. "Dari sekitar 15 ribu jiwa yang tinggal di kawasan TNTN, hanya 10 persen yang merupakan penduduk asli," kata Dody.
Dengan kekuatan 380 personel yang ditempatkan di 13 titik, Dody mengaku kalau Satgas Garuda telah memasang portal, membangun pos penjagaan, dan memulai proses pengosongan secara persuasif tanpa kekerasan.
Versi dia, sejumlah masyarakat juga mulai secara sukarela meninggalkan kawasan. Satgas mencatat 1.805 SHM yang terbit di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, yang kini tengah diverifikasi bersama BPN. (*)
Tags : taman nasional tesso nilo, tntn, pelalawan, riau, relokasi tntn, kejaksaan agung, kebun sawit ilegal, satgas pkh, penggerusan hutan, lahan sawit ilegal, penertiban kawasan tntn, pelestarian hutan, pelanggaran perizinan, shm ilegal, kementerian kehutanan, Sorotan, riaupagi.com,