PENDIDIKAN - Tingkat kelahiran yang terus menurun di Korea Selatan berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Provinsi Gyeongsangbuk-do sampai harus ‘mengimpor’ siswa dari empat negara—termasuk Indonesia—untuk mengisi bangku-bangku sekolah menengah yang kosong.
Empat siswa dari Parepare, Sulawesi Selatan, kini tengah belajar di sana.
Sejak Februari silam, hidup Nuno Gomes, berubah drastis. Siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) di Parepare, Sulawesi Selatan, itu tiba-tiba harus merantau sejauh 5.000 kilometer lebih untuk melanjutkan sekolah di Korea Selatan.
Nuno mendapat beasiswa dari Dinas Pendidikan Gyeongsangbuk-do untuk bersekolah di Sekolah Menengah Meister Maritim Korea di Kota Pohang, yang jaraknya empat jam berkendara dari ibu kota Korea Selatan, Seoul.
“Bedanya, kalau di Indonesia saya jarang banget sarapan pagi. Di sini setiap hari sarapan pagi,” katanya saat menceritakan perbedaan hidupnya sejak pindah ke Korsel.
“Saya jadi lebih disiplin. Soalnya jam 07.00 pagi harus ada semua di lapangan buat absen asrama.”
Nuno berangkat ke Korea Selatan bersama tiga orang lainnya, yang juga berasal dari SMK Bahari Parepare.
Dari sekitar 100 pelamar beasiswa, mereka berempat berhasil mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah di Korea Selatan, yang juga bekerja sama dengan perusahaan Dongwon Industry.
Pemerintah daerah Gyeongsangbuk-do memberikan beasiswa kepada 48 siswa dari Mongolia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Para siswa bersekolah di delapan sekolah menengah kejuruan dan sekolah khusus di provinsi itu, termasuk Sekolah Menengah Meister Maritim Korea, Sekolah Menengah Uiseong Unitech, Sekolah Menengah Teknik Silla, dan Sekolah Menengah Informasi Gyeongju.
Nuno Gomes dan tiga orang lainnya ditempatkan di Sekolah Menengah Meister Maritim.
Mereka adalah anak-anak Indonesia pertama yang mendapatkan beasiswa untuk bersekolah setingkat SMA/SMK di Korea Selatan.
Ini juga kali pertama Dinas Pendidikan Gyeongsangbuk-do merekrut siswa dari luar negeri.
Menurut Kementerian Administrasi dan Keamanan Publik, pada Januari 2024, populasi kawasan Gyeongbuk hanya berjumlah sekitar 2,25 juta jiwa.
Sebelumnya, per 31 Desember 2022, populasi provinsi Gyeongsangbuk-do tercatat sebanyak 2,66 juta jiwa.
Dilansir dari BBC Korea, provinsi ini mengalami penurunan populasi terbesar di Korea Selatan.
Hal itu ternyata berdampak pada penerimaan siswa baru di sekolah. Sebanyak 32 sekolah dasar di kawasan Gyeongbuk tidak menerima siswa baru pada tahun lalu, jumlah terbanyak di Korsel.
Tahun ini, 27 sekolah dasar juga tidak menerima siswa baru.
Dinas Pendidikan Provinsi Gyeongsangbuk-do dan sekolah-sekolah lokal lantas membuat perjanjian dengan pemerintah dan sekolah lokal di empat negara untuk memilih siswa baru melalui beberapa proses seleksi.
“Kualifikasi spesifik untuk pendaftaran dan metode seleksi ditentukan oleh sekolah dan kemudian ditinjau dan disetujui oleh dinas pendidikan,” kata Kim Mi-jeong, seorang siswa penerima beasiswa di Departemen Bakat Kreatif di Dinas Pendidikan Gyeongbuk.
Selain mendapatkan pendidikan teknis profesional di sekolah lokal, para siswa terpilih juga akan mendapatkan kursus bahasa dan budaya Korea, serta berbagai manfaat beasiswa lainnya.
Kepala Sekolah Menengah Uiseong Unitech, Park Ki-hwan, berkata sekolahnya terselamatkan berkat program ini. Tahun ini Uiseong Unitech menerima delapan siswa dari Thailand.
“Penerimaan siswa internasional memainkan peran besar tahun ini. Mungkin banyak sekolah yang tidak mampu merekrut siswa baru, dan sekolah kami mungkin salah satunya. Jadi kami mempertaruhkan keberlangsungan kami dengan program ini,” ujar Park.
Dia menekankan penurunan populasi menjadi masalah serius. Pasalnya, hal itu juga menyebabkan kelangkaan tenaga kerja di berbagai sektor industri.
Permintaan dari industri tetap ada, menurut Park, tetapi siswa lokal hanya tertarik dengan pekerjaan yang mereka inginkan, “sehingga angkatan kerja dipenuhi oleh pekerja asing”.
“Pada akhirnya, ini adalah proyek yang bertujuan untuk mengerahkan pekerja luar negeri yang telah menerima pendidikan formal (di Korea) dan Koreanisasi ke pasar produksi, guna meningkatkan kualitas tenaga kerja,” kata Park.
“Tujuannya adalah membantu siswa internasional untuk bisa menetap di sini dengan membekali mereka dengan pelatihan kejuruan yang memadai, memberikan visi, dan memberikan prospek kerja selama tiga tahun,” tambahnya.
Bagaimana Nuno bisa terpilih?
Sebelum berangkat ke Korsel, Nuno mengaku tidak menguasai bahasa negara itu. Bisa dibilang pengetahuannya tentang Korsel cukup minim.
Tidak seperti banyak remaja yang terpapar budaya Korea—sampai mempelajari bahasanya—lewat musik dan film, Nuno bilang dia “tidak terlalu mengikuti”.
Katanya, dia lebih banyak bersinggungan dengan Korea Selatan dari membaca manhwa atau komik bergenre action dan street fight, seperti How to Fight dan Windbreaker.
Jika Nuno tidak bisa berbahasa Korea, lantas apa modal utamanya untuk mendapatkan beasiswa?
Nuno tidak tahu pasti penyebabnya karena dia pun merasa teman-temannya masih banyak yang lebih pintar darinya.
Keikutsertaannya pun sebenarnya bisa dibilang hanya coba-coba.
“Boleh deh, kapan lagi dapat kesempatan kayak gini soalnya kesempatan enggak datang dua kali kan,” ujarnya.
Nuno menduga pengetahuannya tentang dasar-dasar perkapalan lah yang mengantarkannya mendapatkan beasiswa.
Hal itu dikonfirmasi guru di SMK Bahari, Nutfainna Ahmad, yang akrab disapa Tipa. Menurut dia, siswa-siswanya sudah mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) sejak tahun pertama, jadi mereka punya “pengalaman” dan “pengetahuan”.
Pihak sekolah juga punya kriteria tertentu untuk memilih para kandidat penerima beasiswa. Selain nilai yang bagus, Tipa dan guru-guru lainnya juga memilih anak-anak yang memiliki “semangat” dan “berpotensi mau belajar”.
“Nah, kebetulan Nuno adalah siswa yang memang cara berpikirnya lain dari teman-temannya. Dia lebih aktif dalam pemikiran, kreatifnya, semangat," jelas Tipa.
"Dia seperti mau mengubah sesuatu yang dari dulu mau dia ubah. Dia mau mengubah perekonomian keluarganya,” ujarnya kemudian.
Mengapa SMK Parepare?
Jo Jun-seop, kepala Departemen Operasi Sekolah Menengah Meister Maritim Korea mengatakan saat proses seleksi pihaknya tertarik dengan para siswa dari SMK Bahari Parepare.
“Ketika saya menonton video kelas bahasa Indonesia, saya berpikir lingkungan pendidikan, termasuk laboratorium, sangat berbeda dengan sekolah di Korea,” dan hal ini tampaknya menjadi nilai tambah untuk mereka.
Menurut Dinas Pendidikan (Disdik) Sulawesi Selatan, SMK Bahari Parepare merupakan “salah satu SMK swasta terbaik”, khususnya dalam program keahlian nautika kapal niaga dan teknik kapal niaga.
“Salah satu bentuk apresiasi Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan atas prestasi selama ini dengan memberikan bantuan hibah melalui DAK 2023 yaitu Alat Simulator dan SMK Bahari di Parepare adalah salah satu SMK kemaritiman dengan fasilitas yang lengkap,” kata Kepala Disdik Sulawesi Selatan, Ahmad Iqbal Nadjamuddin.
Oleh sebab itu, pihak Disdik merekomendasikan SMK Bahari Parepare ikut serta dalam seleksi penerimaan beasiswa dan ternyata empat dari lima siswa yang ikut seleksi berhasil berangkat ke Korea Selatan.
Walaupun perjalanan Nuno Gomes dalam mendapatkan beasiswa ini terdengar mudah, pada kenyataannya tidak demikian. Dia sempat berhadapan dengan masalah besar, tidak mendapatkan restu orang tua.
Bapaknya melarang dia pergi dan ibunya, katanya, jadi pihak yang “paling keras” menentang. Keduanya khawatir karena jarak Indonesia dan Korea Selatan sangat jauh.
“‘Kamu enggak usah pergi ke sana pokoknya, titik. Enggak mau tahu, kamu enggak usah ke sana’,” kata Nuno menirukan ibunya.
Fitri—ibu Nuno—menyampaikan kekhawatirannya terhadap anak sulungnya. Pemberitaan di media tentang “perdagangan orang” dan “penyiksaan” WNI di luar negeri menjadi ketakutan terbesarnya.
“Karena biasanya ceritanya dijanjikan, diiming-imingi dulu di Indonesia, pas sampai di negara tujuan, ternyata tidak sesuai ekspektasi,” ujar Fitri.
Namun, niat Nuno yang ingin “belajar” dan “mengubah perekonomian keluarga” lama-lama membuat Fitri luluh dan akhirnya mengizinkan anaknya untuk pergi mengecap pendidikan di Korea Selatan.
“Nuno ingin membahagiakan oma-opanya, bundanya, dan adiknya,” ujar perempuan berusia 42 tahun itu.
Kini, rutinitas sehari-hari Nuno, sebagai siswa sekolah maritim di Korea Selatan, menjadi lebih padat. Jam sekolahnya dimulai pada pukul 08.30 pagi dan berakhir pada pukul 08.30 malam. Pelajaran yang dia dapat pun lebih banyak dibandingkan di Indonesia.
Di SMK Bahari biasanya dia mendapatkan 7-8 mata pelajaran, tetapi di sekolah barunya ada 12 mata pelajaran.
“Di Indonesia itu, misalnya Bahasa Indonesia dua jam sekian, lalu Bahasa Inggris satu jam sekian, di sini tiap jam itu berganti terus pelajarannya. Jadi, banyak banget mata pelajarannya,” tuturnya.
Dia mengikuti pelajaran di kelas, bersama siswa-siswa lokal, sampai pukul 01.30 siang. Setelah itu, mereka mengikuti kelas khusus Bahasa Korea sampai malam.
Menurut penuturan Nuno, jam sekolah para siswa lokal pun sama dengan mereka. Namun karena keterbatasan bahasa, para siswa internasional harus ‘pindah’ ke kelas Bahasa Korea supaya lebih fokus mempelajari bahasa.
Setelah jam sekolah selesai, Nuno masih melanjutkan belajar Bahasa Korea di asrama. Dia selalu meluangkan waktu sebentar untuk mempelajari kembali materi yang dia dapatkan di kelas agar cepat lancar berbahasa Korea.
“Pas awal saya mengeluh capek banget, tapi sekarang sudah terbiasa. Enjoy saja, sih. Biarlah Tuhan yang atur, saya ikut-ikut saja,” kata Nuno sambil tertawa kecil.
Meski rutinitas barunya begitu padat, Nuno mengaku masih punya waktu luang ketika hari libur untuk pergi jalan-jalan bersama teman-temannya.
Nantinya, di waktu luang, dia berharap bisa mengunjungi Namsan Tower di Seoul dan Pulau Dokdo, yang berada di timur Korsel.
Meski usianya baru 16 tahun, Nuno terdengar begitu fasih dan yakin ketika menjabarkan hal-hal yang ingin dia capai di sekolahnya yang baru.
Di kelas dua nanti, dia mengincar jurusan navigasi atau teknik mesin. Dia berharap nilainya cukup untuk masuk ke salah satu jurusan itu dan nantinya bisa bekerja di kapal.
“Untuk posisi yang kukejar di kapal itu di bagian mesin atau bagian navigasi. Di bagian navigasi itu dia yang kayak teman kapten, untuk yang di mesin itu tugasnya untuk melihat kelayakan mesin,” ujarnya.
Nuno akan bersekolah selama tiga tahun di Sekolah Menengah Meister Maritim Korea. Setelah lulus dia berencana mengambil sertifikat kejuruan lainnya untuk memperkaya keahlian, seperti yang diharapkan pemberi beasiswa.
Namun, sertifikasi itu tidak masuk dalam program beasiswa, katanya.
Total, Nuno akan mendapatkan manfaat beasiswa selama empat tahun. Satu tahun setelah lulus nanti, dia diberi kesempatan untuk bekerja di Dongwon Industries, perusahaan yang bekerja sama dengan pemerintah Korsel, yang membiayai beasiswa empat siswa Indonesia.
Dalam situs resminya, Dongwon Industries mengeklaim perusahaannya sebagai pemimpin industri perikanan Korea.
“Sepertinya kontrak setahun. Kata Dongwon, kalau memang kamu cocok di sini, nanti akan dibantu perpanjangan kontrak.”
“Saya berharap bisa perpanjang kontrak di Dongwon biar bisa bantu-bantu orang tua juga, enggak membebankan orang tua,” Nuno menyampaikan harapannya.
Kepala Departemen Operasi di Sekolah Menengah Meister Maritim Korea, Jo Jun-seop, mengatakan Dongwon Industries menjanjikan dukungan finansial, tetapi “tidak akan memaksa” mereka untuk bergabung dengan perusahaan setelah lulus.
“Selama proses konsultasi dengan Dongwon Industries, kami sepakat bahwa tidak masuk akal untuk menetapkan ketentuan wajib kerja bagi anak di bawah umur,” kata Jo. (*)
Tags : pendidikan, Kaum muda, Masyarakat, Indonesia, Korea Selatan, Pendidikan,