Kesehatan   2021/12/01 13:16 WIB

Hal-hal yang Perlu Diketahui Tentang Varian Baru Omicron, dokter 'Sudah Mendeteksi Ciri-ciri Gejalanya'  

Hal-hal yang Perlu Diketahui Tentang Varian Baru Omicron, dokter 'Sudah Mendeteksi Ciri-ciri Gejalanya'  
Seringkali diperlukan waktu bertahun-tahun untuk menentukan dari mana penyakit baru berasal, dan Covid-19 mungkin tidak terkecuali.

KESEHATAN - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa varian virus corona Omicron berisiko menimbulkan lonjakan penularan di seluruh dunia.

"Varian tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi serius di beberapa wilayah," kata WHO, Senin (29/11).

Pemerintah Indonesia telah melarang orang asing dengan riwayat perjalanan dari negara-negara Afrika bagian selatan dan Hongkong masuk ke wilayah Indonesia demi mencegah penyebaran varian baru ini.

Apa itu varian Omicron?

Varian dengan kode B.1.1.529 pertama kali dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.

Dua hari kemudian, tim peneliti independen Technical Advisory Group on SARS-COV-2 Virus Evolution (TAG-VE) melakukan penilaian dan memasukkan varian baru ini ke dalam kategori Variant of Concern (VOC).

"Berdasarkan bukti yang disajikan, mengindikasikan perubahan yang merugikan dalam epidemiologi Covid-19, TAG-VE telah menyarankan kepada WHO bahwa varian ini harus ditetapkan sebagai VOC, dan WHO telah menetapkan B.1.1.529 ke dalam VOC, dengan nama Omicron," tulis keterangan WHO. Omicron adalah huruf ke-15 dalam alfabet Yunani.

VOC merupakan kategori tertinggi bagi varian virus Covid-19 terkait dengan penularan, gejala penyakit, risiko menginfeksi ulang, dan mempengaruhi kinerja vaksin. Sebelumnya, varian virus yang dikenal cepat menyebar yaitu Alpha, Beta, Gamma dan Delta masuk ke dalam kategori ini.

Bukti-bukti awal menunjukkan bahwa Omicron menimbulkan risiko infeksi ulang yang lebih tinggi. WHO menyebut varian baru ini telah mengalami sangat banyak mutasi, dibandingkan varian-varian lainnya.

"Omicron memiliki jumlah mutasi spike yang tidak pernah terjadi sebelumnya, beberapa di antaranya mengkhawatirkan karena dampak potensial mereka pada arah pandemi," kata WHO.

Kepala WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, menekankan kembali perlunya usaha global untuk mengirimkan vaksin ke negara-negara miskin. Covid-19 "belum selesai dengan kita", ia memperingatkan pada Senin (29/11).

Dr Tedros mengatakan para ilmuwan di seluruh dunia sedang bekerja untuk menemukan apakah varian baru ini berkaitan dengan penularan yang lebih tinggi, risiko infeksi ulang, dan bagaimana reaksinya terhadap vaksin.

"Kedaruratan Omicron adalah satu lagi pengingat bahwa meskipun banyak yang berpikir kita sudah selesai dengan Covid-19, ia belum selesai dengan kita," katanya seperti dirilis BBC News Indonesia.

Dia menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada kematian yang dikaitkan dengan varian baru tersebut.

Apa beda varian Omicron dengan varian-varian sebelumnya?

Varian Omicron memiliki sekitar 30 mutasi yang terjadi pada protein spike. Bagian virus yang menyerupai tonjolan paku ini digunakan virus untuk mengikat sel pada tubuh manusia.

"Dan ini mutasi paling banyak, dari varian yang selama ini sudah ada," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Tjandra Yoga Aditama, Minggu(28/11).

Varian omricon

Tim peneliti hanya butuh waktu 17 hari untuk menempatkan Varian Omicron ke kategori VOC. Pada varian-varian sebelumnya, tim peneliti membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk meneliti dan menetapkan pada kategori VOC.

Misalnya, varian Delta yang ditemukan di India pada Oktober 2020. WHO kemudian memasukkan varian ini ke kategori VOC pada 11 Mei 2021.
Sejauh mana Omicron mempengaruhi kinerja vaksin?

Kemunculan varian Omicron membawa kekhawatiran pada kinerja vaksin yang selama ini sudah disuntikkan pada masyarakat. Ada kemungkinan, nilai kemanjuran vaksin sudah tidak ada lagi ketika orang terinfeksi Omicron, atau sebaliknya.

Namun, sejauh ini masih belum diketahui apakah mutasi protein spike pada Omicron ini akan mempengaruhi kinerja vaksin.

"Walaupun datanya masih sedang dikejar (penelitiannya). Sudah banyak disebut-sebut adalah; satu dia lebih mudah menular, dan kedua dia lebih sering infeksi ulang," imbuh Prof Yoga.

Apakah varian baru ini lebih ganas?

Ahli virus dari Universitas Udhayana, Prof I Gusti Ngurah Kadek Mahardika mengatakan sejauh ini belum ada data klinis yang menunjukkan varian baru ini membuat gejala berat pada pasien. Bagaimanapun, kemungkinan varian baru "lebih ganas dan kurang ganas" terhadap tubuh manusia.

"Potensinya dua, yaitu lebih ganas dan kurang ganas. Jadi perubahan itu selalu dua arah, tak pernah satu arah," kata Prof I Gusti Ngurah Kadek Mahardika.

Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan data lebih lanjut seperti uji tantang pada hewan coba, termasuk "data klinis dari pasien, baru kita bisa berasosiasi dengan patologi dan gejala klinis, dan juga keganasan virus".

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan sejauh ini dampak dari varian baru Covid-19 ini belum terkonfirmasi.

"Jadi, tiga kelompok bahaya; meningkatkan keparahan, meningkatkan transmisi, mengelak, menurunkan kemampuan dari infeksi dan vaksinasi."

"Untuk yang pertama, belum ada konfirmasi, untuk yang kedua, ketiga kemungkinan besar iya. Tapi belum konfirmasi sekali lagi. karena sedang diteliti terus oleh para ahli," kata Menkes Budi dalam keterangan kepada pers.

Bagaimana risiko Omicron masuk ke Indonesia?

Kemenkes mencatat sembilan negara terkonfirmasi varian Omicron dengan 128 kasus. Di antaranya sebagian negara bagian Afrika Selatan, Hongkong, Inggris, Italia, dan Belgia.

"Jadi total 13 negara. Sembilan pasti ada. Empat masih kemungkinan ada," kata Menkes Budi.

Untuk negara-negara yang sudah terkonfirmasi ada, yang paling banyak penerbangan ke Indonesia adalah "Hongkong, Italia, Inggris, baru Afrika Selatan."

"Untuk negara-negara yang kemungkinan ada, paling besar dari Belanda, Jerman," kata Menkes Budi.

Apa langkah yang diambil pemerintah?

Mulai Senin (28/11), pemerintah Indonesia mengumumkan orang asing yang memiliki riwayat perjalanan dari sejumlah negara di Afrika bagian selatan dilarang masuk wilayah Indonesia. Negara itu adalah Afrika Selatan, Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, Mozambique, Eswatini, Nigeria ditambah Hongkong.

Pemerintah juga menghentikan sementara pemberian visa kunjungan dan visa tinggal terbatas bagi warga negara-negara tersebut.

"Jika ada orang asing yang pernah berkunjung ke negara-negara tersebut dalam kurun waktu 14 hari ke belakang, maka akan langsung ditolak masuk Indonesia di Tempat Pemeriksaan Imigrasi," kata Kabag Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, Arya Pradhana Anggakara dalam siaran pers.

Namun, bagi WNI yang dalam waktu 14 hari pernah melakukan kunjungan/transit ke negara-negara tersebut akan diperlakukan protokol kesehatan berupa karantina 14x24 jam dengan dua kali tes PCR.

"Kita akan pastikan semua kantor karantina pelabuhan udara, laut dan darat bekerja dengan keras, kebijakan kita semua kedatangan internasional, semua kita tes PCR, kalau positif, akan di-genome sequencing," kata Menkes Budi. Genome sequencing, atau pengurutan gen, adalah proses untuk mengetahui 'identitas' virus dari materi genetiknya.

"Sampai sekarang di Indonesia belum teramati adanya varian Omicron ini," Menkes Budi menambahkan.

Bagaimana protokol kunjungan dari negara lain?

Sejauh ini, pemerintah belum menutup perjalanan dari negara lain meskipun virus ini telah terdeteksi di sejumlah negara seperti Italia, Belgia, dan Inggris.

WNI dan warga asing yang melakukan perjalanan dari negara tersebut diwajibkan menjalankan karantina selama 7x24 jam dengan dua kali tes PCR.

Dalam jumpa pers hari Minggu (28/11), Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melihat perkembangannya ke depan.

"Kita akan evaluasi perkembangannya secara cermat. Jadi, kita juga tidak perlu terlalu takut, terlalu terburu-buru, untuk bereaksi, karena masih banyak yang kita tidak tahu dan kita paham mengenai Omicron. Jadi evaluasi akan kita lakukan terus secara berkala mengenai ini," kata Menko Luhut.

Kenapa varian baru Covid-19 terus ada?

Penasihat senior Direktur Jenderal WHO, Diah Saminarsih, mengatakan laporan varian baru ini "adalah peringatan keras bahwa pandemi itu belum selesai".

Menurut Diah, varian baru terus bermunculan dengan mutasinya dikarenakan cakupan vaksinasi yang rendah. Dalam rendahnya tingkat vaksinasi, ada peluang bagi virus untuk membentuk varian baru. 

"Negara di Afrika, cakupan vaksinnya barangkali 4-6%. Sangat rendah. Kenapa bisa rendah? Karena dia tidak kebagian akses kepada vaksin... Jadi ini, ketimpangan vaksin, akibatnya seperti ini," kata Diah.

Sejauh ini, cakupan vaksin di Indonesia per 27 September mencapai 44,97%. Menurut Diah, angka tersebut "masih jauh vaksinasinya, sampai pada kondisi yang cukup aman, untuk bisa mencegah varian baru ini menulari kita." 

Dengan temuan varian baru ini, WHO menyerukan pentingnya pengawasan terus menerus perkembangan Covid-19 melalui pengetesan dan pelacakan kontak erat.

"Itu enggak bisa enggak. Harus dikerjakan secara luas. Dan kemudian melakukan genome sequencing," kata Diah.

Kapan mutasi virus akan berakhir?

Prof Kadek Mahardika mengatakan virus akan bermutasi "selamanya". Namun, ia menekankan kembali bahwa potensi mutasi virus mengarah pada lebih ganas dan menjadi kurang ganas.

Jika ditemukan bahwa mutasi ini membuat virus menjadi kurang ganas, ini bisa jadi penanda berakhirnya pandemi Covid-19. Ia menyandingkan kasus Covid-19 dengan Flu Spanyol.

"Dan mohon diingat 100 tahun yang lalu, pandemi Spanyol berakhir karena mutasi virus. Jadi virusnya menjadi musiman... Jika benar, ini tanda akhir pandemi, persis terjadi 100 tahun lalu," kata Prof Kadek Mahardika.

Gejala-gejala terkena varian baru Omicron

Salah seorang dokter pertama di Afrika Selatan yang mendeteksi varian virus corona, Omicron, Angelique Coetzee, mengatakan pasien-pasien yang terkena varian tersebut sejauh ini bergejala ringan dan bisa rawat jalan di rumah.

"Keluhan yang disampaikan pasien [Omicron] biasanya adalah mereka merasa sangat capek selama satu atau dua hari. Gejala lain adalah, sakit kepala dan badan terasa sakit. Tenggorokan serak," kata Coetzee.

"Mereka tidak batuk-batuk, tidak juga kehilangan indra penciuman maupun indra rasa," katanya.

Ia menjelaskan "gejala pada tahap ini tak beda jauh dengan infeksi virus normal".

"Karena kami tak mendapati kasus [baru] Covid-19 dalam delapan hingga 10 pekan terakhir, kami memutuskan untuk melakukan tes," katanya.

Ia menggambarkan gejala-gejala "sangat ringan" dan sejauh ini belum ada pasien Omicron yang harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Diketahui, hasil tes menunjukkan baik pasien maupun keluarga mereka semuanya positif terkena Covid.

Insiden yang ia tuturkan ini mengacu pada kejadian pada 18 November 2021.

Pada hari itu, klinik yang ia kelola menerima sejumlah pasien yang memperlihatkan gejala yang berbeda dari gejala sakit yang diakibatkan oleh varian Delta.

Para pasien yang mendatangi kliniknya mengaku sangat capek selama dua hari. Mereka juga mengatakan badan sakit-sakit dan mengalami sakit kepala.

Ia menggambarkan gejala ini berbeda dengan gejala pasien Delta dan berpikir "ada sesuatu yang tengah terjadi" dan memutuskan untuk melaporkannya ke otoritas kesehatan di Afrika Selatan.

'Mungkin sudah menyebar di negara-negara lain'

Pada 25 November, otoritas kesehatan di Afrika Selatan mengumumkan penemuan varian baru, setelah melakukan penelitian terhadap sampel laboratorium dari tanggal 14 hingga 16 November.

Coetzee, yang juga ketua organisasi medis di Afrika Selatan, mengatakan pada 18 November tersebut banyak pasien yang mengeluhkan gejala yang sangat mirip: rasa capek selama satu atau dua hari, badan sakit-sakit, dan sakit kepala.

"Sebagian besar gejalanya sangat ringan dan tak ada yang harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Kami bisa merawat mereka di rumah ... saya berbicara dengan rekan-rekan dokter dan mereka menyampaikan hal yang sama," kata Coetzee.

Dari pengalamannya sejauh ini, rata-rata pasien Omicron berusia di bawah 40 tahun.

Hampir separuh pasien Omicron yang ia tangani belum menerima vaksinasi.

Coetzee meyakini varian Omicron "mungkin sudah beredar di negara-negara yang saat ini memberlakukan larangan perjalanan dari dan ke kawasan Afrika bagian selatan".

Ia mengatakan mungkin para dokter hanya fokus pada varian Delta dan tak memperhatikan sudah ada varian baru.

"Karena memang mudah untuk tidak memperhatikannya. Kami di Afrika Selatan bisa mendeteksinya karena tidak ada kasus [baru] dalam beberapa pekan terakhir. Kalau masih ada kasus, mungkin kami juga gagal mendeteksinya," kata Coetzee.

Kemunculan varian baru virus corona yang ditemukan di Afrika Selatan ini mendorong sejumlah negara mengambil langkah cepat.

Inggris misalnya, pada hari Jumat (26/11), memberlakukan larangan perjalanan dari negara-negara di kawasan Afrika bagian selatan, keputusan yang ditentang oleh pemerintah Afrika Selatan.

Sejak Jumat 26 November 2021, daftar negara yang melarang penerbangan dari dan ke Afrika Selatan bertambah, termasuk Amerika Serikat, beberapa negara Eropa dan sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia. (*)

Tags : Virus Corona, Indonesia, Vaksin, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia,