Internasional   2021/06/26 15:21 WIB

Halimah Yacob, Presiden Melayu Pertama Singapura, yang 'Mengenakan Busana Muslimah'

Halimah Yacob, Presiden Melayu Pertama Singapura, yang 'Mengenakan Busana Muslimah'
Halimah saat masih menjadi ketua parlemen dan mengunjungi Kamboja 7 Mei 2015.

INTERNASIONAL - Halimah Yacob menjadi presiden Melayu pertama Singapura dalam 47 tahun menimbulkan silang pendapat, bukan karena alasan ras, namun karena ia dipilih secara tidak demokratis.

Halimah menjadi presiden perempuan pertama Singapura dilantik pada Rabu 13 September 2020 setelah calon-calon lain tak memenuhi kriteria yang ditetapkan. Presiden Singapura Halimah Yacob, diterima Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Bogor, hari ini Selasa 4 Februari 2020. Mengenakan busana muslimah, wanita berusia 65 tahun itu (lahir 23 Agustus 1954) datang didampingi sang suami Mohammed Abdullah Alhabshee disambut Presiden Jokowi yang didampingi Ibu Negara Iriana Jokowi.

Live streaming Youtube Sekretariat Presiden menujukkan Presiden Jokowi mengendarai sendiri mobil golf Istana Bogor untuk mengantar Halimah Yacob mengelilingi Istana Bogor. Simak suasana penyambutan presiden wanita pertama Singapura itu dari live streaming video di atas. Halimah Yacob cukup fenomenal karena dialah presiden wanita pertama di Singapura sejak menjabat Presiden Singapura mulai 14 September 2017.

Kiprah politik Halimah Yacob cukup cemerlang dengan posisi terakhir sebagai Ketua DPR Singapura 2013-2017, sebelum memenangi pemilu Presiden Singapura September 2017. Laporan Channel News Asia edisi 12 September 2017 menyebutkan bahwa semasa sekolah Halimah menyang gelar ponteng queen alias ratu bolos sekolah. Halimah menghabiskan masa sekolah menengahnya di Singapore Chinese Girls' School, padahal dia berasal dari etnis Melayu yang minoritas. Halimah nyaris dikeluarkan dari sekolah karena terlalu banyak membolos.

Kenekadan Halimah itu bukan tanpa alasan, karena dia rela membolos demi membantu ibunya berjualan nasi padang di kedai makanan milik kerabatnya. Ibunda Halimah, Maimun Abdullah, meninggal dunia dalam usia 90 tahun pada September 2015 atau dua tahun sebelum dia menjadi Presiden Singapura. Melalui media sosial, warga Singapura mengungkapkan kemarahan terkait ditetapkannya Halimah sebagai presiden dengan menggunakan tagar bukan presiden saya, #NotMyPresident, tagar yang juga digunakan setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat tahun lalu.

Singapura menetapkan sistem kepresidenan untuk meningkatkan inklusif multibudaya dalam hierarki kepemerintahan dengan menetapkan calon dari komunitas Melayu saja yang boleh mencalonkan diri tahun ini. Dari tiga calon Melayu, hanya Halimah yang layak, menurut badan pemilihan umum. Warga Melayu terakhir yang memegang jabatan presiden adalah Yusof Ishak, yang gambarnya tercantum di uang kertas Singapura.

Yusof menjadi presiden dari 1965-1970, tahun-tahun pertama kemerdekaan Singapura namun kekuatan eksekutif tetap berada di tangan Lee Kuang Yew, perdana menteri pertama negara itu.

Dipilih 'tak demokratis'

Tak lama setelah Halimah ditetapkan oleh komite pemilihan Singapura sebagai calon satu-satunya presiden Singapura Senin (11/09), tagar #NotMyPresiden langsung populer dengan banyak warga yang mengungkapkan kekesalannya. "Saya warga Singapura. Saya perempuan. Saya Melayu. Namun suara saya bukan untuk pengangkatannya," tulis Nadia Nasser melalui Facebook.

"Demokrasi di atas ras, bila ia terlibat pemilihan presiden dengan cara yang lebih adil, ia pasti menang dengan suara saya bersama yang lainnya dalam komunitas Muslim. Namun bukan itu yang terjadi. Jadi dia bukan presiden saya, dia hanya pemimpin yang diajukan negara," tambahnya.

Pengguna lain, Xue Ming, menulis, "Dengan kondisi politik sekarang, penunjukkannya memiliki peranan besar terutama dengan ancaman teroris Islamis dan fakta bahwa Singapura dikelilingi negara-negara Muslim seperti Indonesia dan Malaysia. Hari gelap bagi Singapura," tulis pengguna lain David Kam. Melalui Twitter, Kyle Malinda menulis, "Saya sangat marah. Marah karena suara saya dirampok. Suara saya dibatalkan."

Pemerintah Singapura menetapkan sistem pemilihan presiden - dengan menetapkan ras Melayu yang boleh ikut serta kali ini- untuk menjamin perwakilan tiga ras di negara itu, Cina, India dan Melayu. Dari 5,7 juta penduduk Singapura, 74% terdiri dari Cina, 13% Melayu, 9% India dan selebihnya kategori "lainya". "Ini menunjukkan kami tak hanya bicara tentang multi ras, namun kami bicara dalam konteks meritokrasi (demokrasi berdasarkan merit) atau peluang untuk siapa pun dan kami menjalankannya," kata Halimah kepada surat kabar The Straits Times.

Ketetapan lain dalam peraturan baru untuk calon presiden termasuk kepemilikan dalam perusahaan. Mereka yang berasal dari sektor swasta, misalnya, harus menjadi pemimpin eksekutif satu perusahaan, dengan paling tidak kepemilikan saham sebesar US$370 juta. Dua calon Melayu lain, pengusaha Salleh Marican dan Farid Khan tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan komite pemilihan presiden.

Singapura sedianya akan melakukan pemilihan presiden pada tanggal 23 September bila terdapat lebih dari satu calon. Namun sejumlah pengkritik mengatakan peraturan baru itu merupakan cara pemerintah untuk mengatur pemilihan dan mencegah oposisi mencalonkan diri. Wartawan dan aktivis Singapura, Kirsten Han, mengatakan perdebatan yang muncul banyak dikaitkan elemen tak dipilihnya Halimah secara demokratis.

"Sebagian besar yang diperbincangkan adalah elemen yang tidak demokratis. Kami diberitahu bahwa calon yang dipilih tak tergantung ras, agama namun yang dapat bekerja terbaik, dan orang menganggap yang dilakukan justru kontradiktif," kata Kirsten dirilis BBC Indonesia.

"Banyak yang skeptis bahwa ini bukan perwakilan rasial dan orang curiga ini memblok calon tertentu dan calon favorit PAP (People's Action Party), jadi orang tak percaya ini terkait rasial," tambahnya.

Halimah baru-baru ini mundur dari PAP, partai yang berkuasa di Singapura sejak 1959, sebelum mencalonkan diri sebagai presiden. Halimah yang berusia 62 tahun, memiliki pengalaman selama 40 tahun dalam layanan publik, termasuk dalam Serikat Buruh Nasional. Sebelum menjadi ketua parlemen pada 2013, ia menjadi Menteri Negara Pengembangan Komunitas.

Melalui blognya dengan tema "Do Good, Do Together" (Lakukan yang baik, Lakukan bersama), Halimah menceritakan latar belakangnya yang harus berjuang di tengah kemiskinan membuatnya bertekad maju. "Saya mengalami kemiskinan dan tahu bahwa betapa sulitnya untuk berjuang mencari makan dan menghadapi ketidakpastian masa depan. Kondisi ini membatasi pilihan namun juga menghambat tekad untuk berhasil. Prioritas saya adalah menyelesaikan sekolah, mendapat kerja dan membantu ibu saya," tulis Halimah. Ia mengatakan mulai bekerja pada usia 10 tahun membantu ibunya yang bekerja di warung makanan, setelah ayahnya meninggal. (*)

Tags : Presiden Melayu Pertama Singapura Halimah Yacob, Presiden Perempuan di Singapura,