JAKARTA - Ratna Hayati dan suaminya, Kukuh Prabowo, datang ke aksi Global Climate Strike September silam bersama dengan tiga anak mereka. Keluarga yang mengenakan kaos hijau seragam itu datang dengan harapan dapat membuka mata masyarakat terhadap krisis iklim.
“Pokoknya setiap kali ada [Climate] Strike, kami hadir. Karena memang miris banget kondisi bumi saat ini,” kata Ratna di tengah keramaian aksi tersebut.
Di belakang mereka, terdapat instalasi cerobong asap yang terbuat dari kardus. Karya itu dihias supaya menyerupai cerobong PLTU yang mengeluarkan limbah asap yang mencemari udara.
Saat itu, polusi udara di Jakarta sedang menjadi topik yang ramai diperbincangkan di media sosial. Ratna sendiri merasakan dampaknya ketika ia dan keluarganya terjangkit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
“Saya dan keluarga sempat sakit satu bulan, dan kata dokter karena polusi. Jadi memang terasa banget,“ kata Ratna yang berusia 44 tahun.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar anak-anaknya mengenakan masker saat bermain ke taman.
Ratna mengaku mulai aktif peduli dengan isu lingkungan sejak ia menjadi seorang ibu dari empat anak – anak bungsunya tinggal di rumah saat mengikuti aksi. Ia berharap kondisi bumi bisa lebih baik demi masa depan mereka.
“Saya memikirkan anak-anak ini dan anak cucu saya, bumi ini mau kita warisi apa untuk mereka. Sepertinya bumi semakin usang, jadi generasi kita yang harus mulai berubah,” ungkap Ratna.
Ratna dan keluarga bukanlah satu-satunya yang peduli akan kondisi lingkungan.
Manajer Program Transisi Energi Berkeadilan dari Yayasan Indonesia Cerah, Sholahudin Al Ayubi, mengatakan kesadaran publik terhadap isu lingkungan dan dampaknya terhadap kelangsungan hidup di bumi meningkat dalam tiga tahun terakhir.
”Ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa dan hal-hal yang kita rasakan sehari-hari, cuaca panas ekstrem, polusi dan sebagainya,” kata Al Ayubi.
Berdasarkan riset yang dilakukan Indikator Politik dan Yayasan Indonesia Cerah pada 2021 lalu, 82% dari 4.020 responden – yang merupakan Gen Z dan Milennial – memandang isu pencemaran lingkungan sebagai isu yang serius dan membuat mereka khawatir.
Artinya, ada peningkatan dari apa yang disebut dengan ‘pemilih hijau’, khususnya dari kalangan generasi muda.
Lantas, bagaimana masing-masing capres menyikapi isu lingkungan dan apakah sudah menjadi prioritas dalam Pilpres 2024?
Seberapa sering para capres-cawapres membahas isu iklim dan transisi energi?
Dalam riset bertajuk ‘Analisis Big Data – Rekam Jejak Capres-Cawapres 2024 dalam Isu Iklim dan Transisi Energi’, Indonesia Cerah dan Markdata menemukan bahwa kedua isu tersebut belum menjadi isu utama menjelang kontestasi Pilpres 2024.
Penelitian itu menggunakan teknik analisis konten dengan melakukan klasifikasi pembobotan kata kunci yang berhubungan dengan isu lingkungan, dengan tiga kategori yakni basic, moderate, dan advanced.
Teknik ini dilakukan untuk menilai seberapa sering dan dalam konteks apa berbagai kata kunci muncul dalam data yang dikumpulkan dalam rentan waktu satu tahun, yaitu 25 Oktober 2022 - 25 Oktober 2023.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa pasangan nomor urut 1, yakni Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, paling sering membicarakan isu iklim dan transisi energi, baik dalam pemberitaan di media massa (585 temuan) maupun dokumen visi dan misi (64 temuan).
Namun, bobot narasi kedua isu tersebut sebagian besar masuk kategori basic, dengan istilah yang paling banyak disebut berupa “kendaraan listrik”, “polusi udara”, dan “kualitas udara”.
Juru Bicara Krisis Iklim Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN), Irvan Pulungan, mengatakan bahwa bahkan sebelum pencalonan KPU resmi, Anies sudah mengangkat krisis iklim sebagai isu yang diprioritaskan.
Ia sendiri diberi tugas untuk memastikan krisis iklim diberi ruang dalam visi-misi yang kemudian akan diintegrasi ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) jika paslon terpilih.
“Isu perubahan iklim penting menjadi bagian dari kontestasi elektoral. Bahkan, kita melihat ada proporsi debat antarkandidat yang bicara energi dan lingkungan,” katanya.
Sementara, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, merupakan paslon yang paling sedikit membicarakan isu iklim dan transisi energi (75 temuan), baik dalam pemberitaan media massa maupun dalam visi-misi (20 temuan).
Prabowo-Gibran dalam pemberitaan sering menyebut istilah “kendaraan listrik” dan “PLTS”. Sementara, dalam visi dan misi mereka, istilah yang paling banyak digunakan adalah “ekonomi hijau” dan “perubahan iklim”, yang masuk ke dalam kategori basic-moderate.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa ia tidak sepakat dengan metode penelitian Indonesia CERAH yang hanya menilai dari kata-kata kunci yang tersedia.
Sebab, menurut Drajad, tim Prabowo-Gibran justru menaruh perubahan iklim sebagai tantangan strategis pertama, bahkan di atas konflik geopolitik.
“Artinya, itu sudah menunjukkan bahwa kami memang melihat perubahan iklim dan mitigasi sebagai tantangan strategis terbesar buat Indonesia ke depan. Dan itu kita wujudkan turunannya,” kata Drajad.
Jika dibandingkan dengan dua paslon lain, pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memiliki bobot kata kunci yang paling banyak di tingkat moderate saat membahas isu iklim dan transisi energi.
Meskipun dari segi jumlah tidak terlalu banyak dalam pemberitaan (99 temuan) maupun visi-misi (20 temuan). Isu “PLTS” menjadi yang paling banyak disebut Ganjar-Mahfud dalam pemberitaan, sementara “ekonomi hijau” paling banyak muncul dalam visi-misi.
Pakar Lingkungan dari Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Alexander Sonny Keraf, tidak setuju dengan sebutan bahwa kata-kata yang digunakan dalam visi-misi sebagian besar hanya berada di tingkat moderate.
Ia mengatakan bahwa dalam judul visi-misi, mereka ingin mewujudkan negara maritim yang adil dan lestari. Sehingga, pelestarian dan berkelanjutan lingkungan menjadi “roh dari seluruh visi-misi".
“Karena tidak bisa diragukan bahwa kita melihat iklim sebagai sesuatu yang sangat serius dan semua negara, baik di bidang ekonomi, sosial dan seterusnya itu mau tidak mau harus mengangkat isu iklim dan lingkungan hidup,” ungkap Sonny.
Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, dosen Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM dengan keahlian di bidang tata kelola industri ekstraktif menilai bahwa setiap tahun pemilu, isu lingkungan masih belum terlihat menjadi prioritas bagi para pemilih di Indonesia.
“Pemenuhan kebutuhan hidup dan kemudian politik identitas juga masih mendominasi. Kemudian isu yang terkait dengan isu lingkungan, menurut saya, sayangnya masih menjadi isu yang terbatas di kalangan tertentu, yakni akademisi dan aktivis,” kata Poppy.
Hal tersebut, sambungnya, berhubungan dengan kesenjangan Indonesia dengan negara-negara lain – khususnya negara maju – yang sudah lebih sejahtera dan siap untuk mulai mengembangkan kebijakan-kebijakan iklim dan transisi energi.
Sedangkan Indonesia masih perlu mengejar pertumbuhan ekonomi dan perkembangan negara dengan menangani sejumlah tantangan seperti kebutuhan pangan, ketahanan energi dan stabilitas ekonomi.
“Indonesia punya dilema; di satu sisi kita masih punya kebutuhan untuk menyejahterakan masyarakat, yang boleh jadi, upaya tersebut berbenturan dengan kebutuhan dan kepentingan kita untuk menjaga lingkungan,” ujarnya.
‘Konflik sosial akibat perebutan ruang SDA’
Manager Kajian Hukum dan Kebijakan LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Satrio Manggala mengatakan semua pasangan calon menunjukkan kesadaran akan dampak lingkungan dalam visi-misi, mulai dari pembangunan ekonomi hingga transisi energi.
Namun, masih ada beberapa hal yang menjadi catatan khusus Walhi terkait visi-misi ketiga kandidat.
Pertama, kekhawatiran Walhi bahwa akan ada lebih banyak proyek skala besar yang dapat berdampak buruk pada kondisi ekologis lingkungan. Meskipun, proyek-proyek tersebut mungkin dibungkus dengan tujuan yang ramah lingkungan, seperti untuk transisi energi.
“Prediksinya Walhi akan banyak terjadi pertentangan konflik sosial akibat perebutan ruang sumber daya alam akibat proyek-proyek besar transisi energi,” kata Satrio.
Kedua, ketiga calon pasangan dinilai belum menawarkan solusi struktural yang efektif untuk menangani masalah kemiskinan karena masalah utama dari kemiskinan terkait distribusi akses lahan yang sering kali dirampas untuk proyek nasional sehingga timbul konflik lahan.
Ketiga, Satrio menyebut program-program dalam visi-misi para paslon belum transparan dalam mengutarakan solusi-solusi yang mereka tawarkan untuk transisi energi dan pengelolaan sumber daya alam.
“Tiga pasangan calon jelas masih menekankan pada potensi untuk ekstraksi sumber daya alam di Indonesia. Karena belum terlihat sejauh mana road map [visi-misi] sebetulnya mereka melihat persoalan lingkungan. Ini menjadi pintu utama yang harus dibereskan.”
Dalam visi-misi paslon Anies-Muhaimin, ia menyoroti istilah industrialisasi pertanian yang tertuang dalam Agenda Misi 1. Satrio mengatakan program tersebut berpotensi merugikan petani karena akan diserahkan ke mekanisme pasar bebas dan ekspansi yang rakus lahan.
“Anies mau mewujudkan keadilan ekologis, itu menarik tetapi ketika dicek, itu masih mengacu pada industrialisasi sektor pertanian yang sama saja bohong. Karena pakai imajinasi lama yang terbukti gagal dan selalu dikritisi,” kata Satrio.
Sementara untuk visi-misi Prabowo-Gibran, Satrio mengatakan program swasembada pangan dapat mengurangi keragaman pangan dan mengarah ke lebih banyak pembukaan lahan.
Ia juga mengatakan Prabowo sering kali mempromosikan sumber daya alam Indonesia sebagai sesuatu yang dapat diekstraksi ketimbang dilestarikan.
“Nikel kami salah satu terbesar di dunia, ia memamerkan dan banyak mempromosi sumber daya alam Indonesia sebagai menu utama yang siap diekstraksi habis-habisan,” kata Satrio.
Untuk paslon Ganjar-Mahfud, Satrio menilai keputusan tim mereka untuk mempercepat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan industrialisasi 5.0 merupakan sebuah ‘kemunduran besar’.
“IKN akan berdampak langsung terhadap lingkungan dan kondisi ekologis di sana dengan beberapa catatan. Tentu IKN akan menjadi proyek yang menyumbangsihkan banyak emisi karbon itu,” ujar Satrio.
Sofyan Ansori, penulis Retelling Environmental Narratives in Indonesia: A Prologue dalam Jurnal Antropologi Indonesia mengatakan bahwa para politisi masih cenderung menggunakan narasi atau framing yang menjustifikasi eksploitasi alam di Indonesia.
“Yang paling sering kita dengar, alam di Indonesia sangat kaya raya. Dan kita jadi permisif akan hal itu, karena setiap kali dieksploitasi, kita tenang karena dianggap [sumber daya alam] masih banyak,” kata Sofyan, yang merupakan kandidat PhD dari Department of Anthropology di Northwestern University, Amerika Serikat.
Ia mengambil contoh Indramayu yang disebut sebagai lumbung padi nasional, namun dalam penelitiannya ditemukan bahwa narasi kelimpahan menutupi ketidaksetaraan distribusi lahan, penurunan ekologi, dan kerawanan lapangan kerja di daerah itu.
“Itu mengaburkan realitas sehari-hari masyarakat Indramayu yang jauh dari aman tentang pangan dan menutupi kerusakan lingkungan,” sebut Sofyan.
Dalam visi misi ketiga capres, Sofyan mengatakan mereka banyak menggunakan istilah-istilah yang terkesan ramah lingkungan, namun sering kali mereka hanya digunakan untuk mengelabui mata masyarakat terhadap kerusakan lingkungan yang dapat timbul.
“Mereka bikin tentang ekonomi hijau, ekonomi biru, tapi ukurannya apa? Bisakah kedaulatan energi kita tidak lagi dari batu bara misalnya? Saya rasa tidak ada yang sanggup,” kata Sofyan.
Apa komitmen masing-masing capres terkait lingkungan?
Juru Bicara Krisis Iklim Timnas Anies-Muhaimin, Irvan Pulungan, mengatakan bahwa industrialisasi pertanian dibutuhkan untuk menangani keterbatasan lahan dan ketersediaan pangan di Indonesia.
Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan industri pertanian yang sudah berjalan dan memperketat pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan besar.
“Kami tidak berfokus pada pembukaan lahan besar, tapi fokus pada food farming. Intensifikasi lahan kecil dan memastikan institusi negara BUMN bisa membeli hasil petani. Mengintensifkan lahan yang ada dan memastikan rantai pasok menjadi pendek,” ujar Irvan.
Lebih lanjut, ia mengatakan setiap proyek nasional akan diuji kelayakannya lewat Kajian Lingkungan Hidup Strategis, agar dapat memitigasi dan mendorong adaptasi terhadap perubahan iklim.
“Jadi perencanaan proyek strategis nasional itu harus partisipatif, harus melibatkan semua, bukan hanya stakeholders tapi juga masyarakat yang terdampak. Proses partisipatif itu akan digunakan dalam perencanaan program,” katanya.
Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, menjelaskan swasembada pangan perlu dikembangkan demi menguatkan ketahanan pangan Indonesia yang sangat bergantung pada impor dan penduduknya bertambah terus.
Namun, mereka tidak akan membuka lahan milik masyarakat. Melainkan, mereka akan menggunakan lahan tak layak yang kemudian dimodifikasi hingga dapat digunakan untuk penanaman panen.
“Kami membuka lahan hanya memanfaatkan lahan marginal, yang tidak produktif. Kami sudah tidak bisa membuka hutan, hutan harus kita tanami. Di Prabowo-Gibran ditanami dengan tahunan,” katanya.
Lebih lanjut, Drajad mengatakan tim Prabowo-Gibran akan memprioritaskan pengembangan bio energi untuk sumber energi alternatif serta memanfaatkan sawit untuk pangan dan energi. Ekstraksi yang dilakukan akan mengedepankan standar lingkungan.
“Good governance untuk industri ekstraksi, itu yang harus kita perbaiki. Tapi kalau diminta untuk menutup industri ekstraksi, jawabannya jelas tidak bisa. Tidak mungkin dihentikan, tapi akan kita perbaiki,” ujar Drajad.
Ketika ditanya tentang percepatan pembangunan IKN, TPN Ganjar-Mahfud, Alexander Sonny Keraf, memastikan IKN akan dirancang dengan konsep green forest city dengan tingkat rendah emisi.
“Dunia sekarang bergerak ke arah yang disebut pembangunan nol emisi, gedung-gedung yang dirancang sedemikian rupa untuk mengurangi pemanfaatan energi. Yang secara arsitektur bisa dibangun nol emisi,” sebutnya.
Dalam melaksanakan industrialisasi maupun pembangunan, Sonny mengatakan bahwa kubu mereka mengedepankan pendekatan yang ramah lingkungan sekaligus ramah sosial budaya.
Ramah sosial dalam hal ini berarti melibatkan masyarakat setempat dalam seluruh proses pembangunan dan memastikan tidak timbulnya konflik agraria dalam pelaksanaan program.
“Mereka terlibat di dalam seluruh proses pembangunan dan maka demikian inklusif ekonomi itu juga mengangkat rakyat. Itu penting dalam segala program kami,” jelas Sonny.
‘Masing-masing punya dosa sendiri’
Antropolog Sofyan Ansori mengatakan bahwa masing-masing capres ‘punya dosa masing-masing tentang bagaimana penanganan lingkungan’, sehingga penting sekali bagi masyarakat untuk mengawal narasi yang mereka gunakan saat membahas isu lingkungan.
“Ganjar dengan kasus di Wadas dan sebagainya, Anies tentang kegagalan dia menangani banjir, dan Prabowo dengan food estate. Kalau mendekati dari [segi] kerusakan lingkungan, narasi punya power,” kata Sofyan.
Senada, Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, mengatakan konflik lahan di Jawa Tengah saat Ganjar menjabat sebagai Gubernur, yakni Pegunungan Kendeng pada 2015 silam dan di Desa Wadas, menimbulkan bencana ekologis.
Pada 2019, terjadi penolakan besar-besaran warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, terkait penambangan batuan andesit untuk proyek Bendungan Bener yang mengambil lahan mereka.
Hingga kini, warga Wadas masih berkeras menolak operasional penambangan di lahan mereka dan menolak mekanisme 'konsinyasi' atau penitipan uang ganti rugi di pengadilan terhadap penolak tambang.
“Ganjar meluluhlantakkan pranata sosial sektor pertanian yang tergantung pada jalur irigasinya di kawasan pegunungan Kendeng di Jawa Tengah. Mereka bergantung pada kawasan pegunungan Kendeng itu yang berfungsi sebagai penyerap alamiah,” ujar Satrio.
Pakar Lingkungan TPN Ganjar-Mahfud, Alexander Sonny Keraf, mengatakan Wadas merupakan proyek pemerintah pusat, bukan pemerintah provinsi. Meski begitu, Ganjar berani mengambil tanggung jawab dan membantu warga yang terdampak.
Sonny mengeklaim Ganjar “dihajar” oleh publik dan media karena upaya tersebut.
“Dia justru menyelesaikan itu dengan penyelesaian yang diterima masyarakat yaitu diperlakukan porsi saham perusahaan semen bagi enam BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) di sekitar lokasi itu. Itu akan jadi model kami dalam pengelolaan sumber daya alam,” ujar Sonny.
Kemudian, Satrio Manggala dari Walhi mengatakan program Prabowo selaku Menteri Pertahanan, yakni lumbung pangan alias food estate, adalah program yang "gagal" namun sudah terlanjur menelan anggaran.
Presiden Joko Widodo menggagas program lumbung pangan di berbagai wilayah untuk menangani krisis pangan, termasuk di Kalimantan Tengah.
Namun setelah dua tahun, perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.
Berdasarkan temuan studi lapangan Pantau Gambut, ekosistem di wilayah lumbung pangan memiliki tingkat keasaman yang tinggi, sehingga benih-benih yang ditanam pun akhirnya gagal panen.
“Food estate itu sendiri memangkas atau menggunduli hutan alam yang sudah mulai terbangun secara alamiah dan dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sekitar karena lama tidak terpakai lahan itu, kemudian dibongkar lagi untuk food estate,“ kata Satrio, yang mengatakan “lapisan dosa” food estate sangat banyak terhadap lingkungan.
Anggota Dewan Pakar, TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo mengatakan bahwa program food estate masih berada di tahap-tahap awal, sehingga tidak bisa disebut gagal.
Ia juga mengeklaim bahwa anggaran yang digunakan untuk Food Estate masih sangat kecil.
“Memang tidak bagus irigasinya, tetapi mau tidak mau harus dimulai, jadi pilihannya apa? Food estate bukan solusi paling ideal, tetapi itu merupakan solusi sub-optimal. Mau enggak mau, harus kita jalankan,“ kata Drajad.
Dalam konteks Anies-Muhaimin, Satrio menyoroti pembangunan tanggul yang ia sebut sebagai “maladaptasi” dan kegagalan Anies menangani banjir di Jakarta saat ia masih menjabat sebagai gubernur Jakarta.
“Pembangunan tanggul laut sebetulnya dalam diskursus global itu disebut sebagai langkah maladaptasi,“ kata Satrio.
Tanggul laut merupakan corak pertahanan pesisir yang dibangun untuk melindungi daerah konservasi dan tempat tinggal manusia dengan menahan pasang surut gelombang laut.
Tanggul tersebut dibuat dari konstruksi padat seperti beton sehingga memiliki kemampuan memantulkan kembali gelombang laut. Strukturnya yang bersifat statis dan kokoh membuat seawall dapat menghambat pertukaran sedimen antara darat dan laut.
Saat ini, rencana pembangunan tanggul pantai yang dikerjakan mencapai 33 kilometer, yang terdiri dari porsi Kementerian PUPR mencapai 11 kilometer dan Pemprov DKI Jakarta 22 kilometer. Proyek ini ditargetkan rampung pada 2024 mendatang.
Juru Bicara Krisis Iklim Timnas Anies-Muhaimin, Irvan Pulungan, mengeklaim bahwa Anies membangun tanggul laut pantai bukan tanggul laut raksasa. Bahkan, ia sempat meminta agar pembangunan tanggul laut raksasa dibatalkan.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Anies memastikan tanggul laut memiliki bukaan dermaga yang bisa disandari supaya nelayan bisa melaut serta dibarengi penurunan air tanah.
“Jakarta itu 40% dibawah permukaan laut. Kalau tidak kita tanggul, mau dilakukan apa? Karena ada peningkatan permukaan air laut, ada abrasi, dan land subsidence, makanya ditanggul,” kata Irvan.
Terkait banjir yang melanda Jakarta, Irvan mengatakan Anies telah membangun tiga wilayah lintas air dengan taman-taman yang berfungsi menyerap air sebelum masuk ke tanah dan laut, di antaranya di Lebak Bulus dan Jakarta Timur.
Tepat di pusat kota DKI Jakarta, sejumlah aktivis berpacu bersama menelusuri jalanan sambil mengenakan kostum-kostum beragam dan membawa sejumlah banner besar sebagai upaya memprotes kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang terjadi saat ini.
Ratna Hayati, Kukuh dan ketiga anak mereka ikut bergabung dalam barisan sambil mengangkat papan-papan mereka tinggi hingga mereka sampai di Tugu Proklamasi.
Ratna mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan presiden yang peduli isu lingkungan. Karena jika tidak, krisis iklim akan semakin dekat, terbukti dengan kenaikan suhu permukaan bumi.
“Kalian harus ingat bahwa kalian juga punya anak cucu yang akan diwariskan bumi yang kondisinya rusak atau bagus, itu tergantung kalian. Jadi pilihlah yang bijak, jangan pilih yang janji-janji manis saja,” tegas Ratna. (*)
Tags : capres nomor urut 1, anies baswedan-muhaimin iskandar, amin angkat topik lingkungan, pemilu 2024, pilpres 2024, perubahan iklim,