JAKARTA - Berbagai indikator ekonomi menyatakan Indonesia bisa terlepas dari ancaman krisis ekonomi sebagaimana sejumlah negara di dunia. Namun, faktor-faktor itu disinyalir bisa berubah dalam waktu cepat.
Direktur Eksekutif Center of Economy and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang hal itu bisa terjadi kapanpun. Meskipun saat ini cadangan devisa negara dan kenaikan harga komoditas internasional masih menguntungkan Indonesia.
Beberapa indikator ketahanan ekonomi Indonesia dipandang jauh lebih baik dari krisis 2008 dan taper tantrum 2013. Misalnya cadangan devisa cukup gemuk yakni USD 136,4 miliar, kemudian ada windfall harga komoditas yang bantu jaga rupiah tidak terkoreksi sedalam negara peers.
"Tapi indikator ketahanan tadi bisa dalam waktu cepat berubah, contohnya ketergantungan terhadap harga komoditas tentu cukup berisiko," katanya kepada media, Kamis (21/7).
Artinya, ancaman krisis ekonomi akan mampir ke Indonesia tidak serta merta bisa dicegah dengan adanya penopang dari beberapa indikator di atas.
Ia menerangkan, saat ini harga Crude Palm Oil (CPO) dipasar internasional anjlok -7.5 persen dalam setahun terakhir menjadi 3.837 RM/ton (data per 18 Juli 2022). Kemudian nikel juga mulai alami koreksi dalam sebulan terakhir.
"Artinya, menggantungkan ketahanan eksternal dengan fluktuasi harga komoditas sama dengan naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Sekali harga komoditas anjlok, hilang pendapatan, devisa dan pertahanan ekonomi langsung melemah," terangnya.
Bhima menyebut, kondisi ini dicontohkan dengan adanya langkah petani kelapa sawit di perbatasan yang menjual tandan buah segar (TBS) ke Malaysia. Alasannya, karena harga di dalam negeri mengalami penurunan yang drastis.
Biaya Hidup Makin Mahal
Lebih lanjut, berbicara kemampuan ekonomi, Bhima menilai pekerja juga mendapatkan tekanan dengan biaya hidup yang semakin mahal. Sementara, kenaikan upah minimum hanya bertahan di rata-rata 1 persen.
"Mau cicilan motor dan rumah juga semakin mahal karena suku bunga otomatis naik. Banyak tekanan yang disebut sebagai cost of living crisis atau krisis biaya hidup," kata dia.
"Dalam jangka panjang, pekerja rentan bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan meskipun seolah tetap aktif bekerja," imbuhnya.
Di sektor pangan, ia menilai Indonesia berada pada posisi yang rapuh. Meski, beberapa lainnya memandang ketahanan pangan Indonesia dinilai cukup aman.
Mengacu data Global Food Security pada 2021, Indonesia berada di posisi 69. Dimana ini tertinggal dari negara Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
"Ada masalah serius soal keterjangkauan pangan bagi kelompok rentan," tukasnya.
IMF Jamin Indonesia Tak Masuk Krisis
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memberi keyakinan kepada Pemerintah bahwa Indonesia secara mandiri masih bisa bertahan dari ancaman situasi geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina. Sehingga Indonesia cenderung aman dari ancaman krisis ekonomi.
Hal itu dikatakan langsung Kristalina Georgieva di hadapan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, saat mengunjungi Gedung Sarinah, Jakarta, beberapa waktu lalu.
IMF memandang bahwa ekonomi Indonesia masih akan tetap positif di tengah tekanan geopolitik akibat perang Rusia dan Ukraina.
"Ada tiga hal yang disampaikan, pertama dia meyakinkan Indonesia tidak berada dalam jurang krisis seperti yang digembar-gemborkan," ujar Erick.
Kendati begitu, hal tersebut tidak menurunkan kewaspadaan Indonesia meski secara internal ekonomi Indonesia dalam posisi kuat. "Secara eksternal, yang namanya geopolitik, global ekonomi bisa saja berdampak," ucap Erick.
Georgieva, lanjut Erick, menilai Indonesia sudah menuju pada arah yang baik dengan memiliki fondasi ekonomi yang kuat dengan kemajuan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan kepada UMKM.
Penopang Ekonomi
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah optimistis Indonesia jauh dari jurang krisis ekonomi. Meski sejumlah negara di dunia saat ini tengah dihadapkan oleh ancaman krisis yang melanda akibat berbagai sebab.
Misalnya, Sri Lanka yang belakangan di label sebagai negara bangkrut. Bahkan, menyebabkan kerusuhan yang melanda negaranya tersebut.
“Ekonomi Indonesia didukung kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, kenaikan harga komoditas saat ini menjadi beban bagi banyak negara lain justru menjadi limpahan berkah bagi Indonesia,” ujar Piter, Rabu.
"Penerimaan pemerintah mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan selama periode booming harga komoditas. Hal ini tidak dialami oleh Sri Lanka," sambungnya.
Di sisi usaha, ekonomi Indonesia ditopang oleh sejumlah perusahaan pelat merah dan swasta yang sama-sama dinilai berkelas dunia. Sehingga ini jadi salah satu aspek penting dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional.
“Indonesia punya Pertamina, Inalum, Telkom, Bank Mandiri, Bank BCA, Medco, hingga Indofood, yang kiprahnya tidak hanya diakui di dalam negeri tetapi juga global. Semuanya aktif memutar perekonomian Indonesia menghasilkan output nasional sekaligus menjadikan Indonesia termasuk 20 besar ekonomi dunia,” paparnya.
Dari sisi kebijakan, Piter memandang Indonesia memiliki kebijakan moneter dan fiskal yang terencana dengan cukup baik. Sehingga utang pemerintah juga tidak pernah melewati 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Dengan kinerja perekonomian yang konsisten, didukung kedisiplinan pemerintah mengelola fiskal, investor asing dan domestik tidak pernah kehilangan keyakinannya untuk membeli surat utang Indonesia, fiskal terjaga dengan terus berputarnya utang pemerintah,” bebernya. (*)
Tags : cadangan devisa, ekonomi, Pertumbuhan Ekonomi, Harga Komoditas, Ekonomi Indonesia, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, pemulihan ekonomi, Krisis ekonomikrisis,