TINGGINYA harga tiket pesawat domestik di Indonesia tak lepas dari "pungutan cukup besar" yang disisipkan pemerintah kepada penumpang, kata pengamat.
Sejumlah pengamat penerbangan mengatakan, pungutan-pungutan itu antara lain pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%, iuran wajib asuransi Jasa Raharja, serta retribusi bandara atau PJP2U.
Termasuk biaya "titipan" dalam harga avtur seperti throughput fee atau pungutan tiap distribusi avtur oleh pengelola bandara, ungkap pengamat.
Belum lagi kalau di pangkalan udara militer seperti Halim Perdana Kusuma atau Juanda, dikenakan "biaya ganda" dari otoritas bandara dan Danlanud, ujar mereka.
Karena itulah, jika pemerintah Indonesia betul-betul ingin menciptakan harga tiket pesawat domestik lebih efisien, para pengamat menyarankan, harus membedah ulang komposisi harga tiket secara rinci dan menghapuskan pungutan-pungutan yang disebut terlalu besar.
Adapun beberapa pelancong asal Indonesia bercerita ada yang akhirnya memilih berlibur ke luar negeri karena dianggap lebih murah, sementara yang lain mengaku terpaksa mengeluarkan uang besar lantaran tak punya pilihan.
Keluh kesah soal harga tiket pesawat domestik yang dinilai mahal sudah berkali-kali diutarakan warganet di media sosial, salah satunya Raras, seorang karyawan swasta di Jakarta yang punya ambisi ingin menginjakkan kaki di 38 provinsi di Indonesia.
Penyuka selam bebas ini bercerita telah mendatangi 30 provinsi sejak mulai bekerja. Baginya, keindahan alam Indonesia tak tertandingi dari negara-negara lain.
"Saya dulu pernah ke Thailand ternyata enggak seindah itu, masih bagus Indonesia lautnya," kata Raras.
"Setelah itu jarang ke luar negeri, kalau enggak karena umrah atau penugasan kantor. Jadi jarang cari-cari tiket ke luar negeri."
Selama berlibur ke pulau-pulau yang ada di Indonesia, Raras bercerita harus menyiapkan bujet yang lumayan besar. Perkiraannya paling tidak Rp5 juta untuk membeli tiket pergi-pulang.
Meski terbilang mahal, tapi mulanya Raras mengira harga tiket pesawat domestik Indonesia takkan berbeda jauh dengan harga tiket pesawat ke luar negeri.
Sampai pada beberapa minggu lalu, dia kaget bukan main saat membeli tiket pesawat dari Jakarta ke Kuala Lumpur di Malaysia untuk keberangkatan Agustus mendatang hanya Rp500.000.
Sedangkan dia pernah membeli tiket pesawat Jakarta-Tarakan di Kalimantan Utara sebesar Rp2 juta untuk sekali keberangkatan.
"Jadi pergi-pulang Rp4 juta. Wah saya syok banget dong, padahal [waktu penerbangan] sama-sama dua jam," ungkap Raras.
"Kan berasa banget selisihnya, berapa kali lipat tuh?"
"Di situ saya baru sadar, ternyata tiket domestik kita mahal banget," sambung Raras yang mengutarakan kekagetannya itu di Instagram pribadinya.
Tapi Raras mengaku tak kapok jalan-jalan ke pulau-pulau di Indonesia.
Dia bilang tak ada pilihan lain selain pesawat untuk mencapai tujuannya. Karena bagaimanapun dia harus menuntaskan mimpinya menjelajahi semua provinsi di Indonesia.
"Tinggal delapan provinsi lagi, semuanya di Indonesia bagian timur. Cuma sekarang saya tidak berencana banget, kalau ada duit berangkat."
"Akhir tahun rencana ke Banda Neira, belum cek harga tiket sih tapi kurang lebih Rp5 juta lah pergi-pulang."
Safir, warga Jakarta yang juga penyuka jalan-jalan sejak duduk di bangku sekolah ini mengatakan lebih sering melancong ke luar negeri ketimbang di Indonesia.
Sebab kalau dibandingkan harga tiket ke luar negeri dengan harga tiket pesawat domestik "jauh banget", katanya.
"Misal Jakarta-Bali sudah Rp1 juta sampai Rp1,5 juta kalau hari libur sekali jalan. Kalau keluar negeri dengan harga segitu bisa ke Thailand atau Bangkok, atau Malaysia," ucap Safir.
"Terus di luar harga tiket, hotel atau makanan sama saja dengan di Bali. Artinya, lebih baik keluar negeri."
"Atau Jakarta ke Aceh sekarang hampir Rp2 juta sekali jalan, mending keluar negeri. Meskipun mahal sedikit. Karena harga tiket [domestik] sudah enggak masuk akal."
Pria penyuka fotografi ini mengaku sudah mengunjungi hampir semua negara di Asia.
Tapi tujuan wisatanya bukan lokasi favorit turis kebanyakan, namun ke wilayah-wilayah yang disebutnya "masih alami dan belum dijamah turis".
Ia juga bercerita keputusan berlibur ke luar negeri, tak cuma dialaminya sendiri tetapi juga teman-temannya yang lain.
Mereka menilai harga tiket domestik "ugal-ugalan". Belum lagi maskapai Indonesia kadang-kadang mengalami keterlambatan penerbangan atau tiba-tiba mengganti jadwal.
Makanya, menurut Safir, pemerintah Indonesia jangan cuma menyalahkan warganya yang lebih suka jalan-jalan keluar negeri ketimbang di dalam negeri.
"Kita cinta Indonesia tapi mau ke tempat yang diinginkan, harga [tiket pesawat] mahal. Pada akhirnya tidak menilai Indonesia bagus, tapi mahal... mending keluar [negeri] saja, pengalamannya lebih banyak dan menantang."
Meski begitu dia masih menyimpan angan bisa melancong ke Pulau Rote, Flores, Derawan, atau pulau-pulau di Indonesia bagian timur suatu hari nanti.
Jika harga tiket pesawat domestik sebutnya "sudah masuk akal".
Seingatnya, dia terakhir kali berlibur di dalam negeri Januari silam ke Yogyakarta. Itu pun dengan kereta api.
"Kalau dengan pesawat ke Bali waktu pandemi Covid. Selebihnya tahun 2022 ke Bangkok, tahun 2023 ke India dan Hong Kong, tahun ini ke Bangkok lagi."
Bagaimana dengan rencana jalan-jalan di Indonesia, Safir menjawab: "tidak ada selama harga tiket tak diturunkan."
Zakky, warga Surabaya, juga lebih memilih liburan ke luar negeri seperti keliling Asia Tenggara gara-gara harga tiket pesawat domestik mahal.
Sementara di Indonesia, cuma beberapa daerah yang pernah dikunjungi seperti Medan, Pontianak, Kupang, dan Bukittinggi. Itu pun memanfaatkan harga diskon.
"Lebih sering manfaatin promo dari maskapai."
"Kalau harga normal, akan mikir-mikir dan kadang kepikiran dengan harga segini mending keluar negeri. Karena aku bujetin duit kan."
Mahalnya harga tiket pesawat domestik diakui Menko Marves Luhut Panjaitan.
Di akun Instagram pribadinya, dia bilang harga tiket pesawat domestik di Indonesia tercatat paling mahal kedua di dunia.
Di tingkat global, tingginya harga tiket maskapai udara di Indonesia hanya kalah dari Brasil. Sedangkan di ASEAN, Indonesia adalah negara yang rata-rata harga tiket pesawatnya paling mahal.
"Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara berpenduduk tinggi, harga tiket penerbangan Indonesia jadi yang termahal kedua setelah Brasil," kata Luhut dikutip dari akun Instagram pribadinya.
Luhut berpandangan mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia disebabkan karena dampak melonjaknya aktivitas penerbangan pasca-meredanya pandemi.
Karenanya pemerintah menyiapkan beberapa langkah untuk efisiensi penerbangan dan penurunan harga tiket. Semisal bagaimana mengurangi Cost Per Block Hour (CBH) yang merupakan komponen biaya terbesar, lanjut Luhut.
Termasuk, katanya, mengkaji PPN menjadi ditanggung pemerintah untuk beberapa destinasi prioritas.
"Kami juga berencana untuk mengakselerasi kebijakan pembebasan bea masuk dan pembukaan lartas barang impor tertentu untuk kebutuhan penerbangan," sambungnya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Manparekraf) Sandiaga Uno mengatakan pemerintah telah membentuk satuan tugas (satgas) penurunan harga tiket pesawat domestik sebagai upaya menciptakan harga tiket yang lebih efisien di Indonesia.
Satgas yang dibentuk pada Minggu (14/07) ini terdiri dari beberapa lembaga serta kementerian seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko Marves, Kementerian Perhubungan, dan Kemenparekraf.
Sejumlah pengamat sepakat bahwa harga tiket pesawat domestik lebih mahal daripada harga tiket pesawat ke luar negeri atau internasional.
Jika membedah model bisnis penerbangan, harga tiket pesawat terdiri dari dua komponen, kata pengamat penerbangan Ruth Hana Simatupang dan Alvin Lie.
Pertama, beban biaya yang ditanggung pihak maskapai mulai dari sewa pesawat, pemeliharaan atau perawatan, asuransi, merekrut kru, pelatihan pilot, serta ongkos-ongkos pembelian suku cadang hingga bahan bakar.
Kedua, ada pungutan-pungutan yang disisipkan oleh pemerintah seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%, iuran wajib asuransi Jasa Raharja, retribusi bandara atau PJP2U, termasuk biaya "titipan" dalam harga avtur seperti throughput fee atau pungutan tiap distribusi avtur oleh pengelola bandara.
Belum lagi kalau di pangkalan udara militer seperti Halim Perdana Kusuma atau Juanda, dikenakan "biaya ganda" dari otoritas bandara dan Danlanud, kata Alvin Lie.
Tetapi, kata Ruth Hana, dari seluruh beban biaya yang ditanggung maskapai, pengeluaran terbesar adalah bahan bakar avtur sebesar 40% hingga 50%. Kemudian perawatan atau pemeliharaan, sewa pesawat, pelatihan pilot serta kru, dan lainnya.
Untuk pesawat terbang, klaimnya, hampir semua maskapai di Indonesia menyewa ke perusahaan seperti Boeing atau Airbus dengan perantara pihak ketiga atau broker yang berada di luar negeri.
Sejumlah pengunjung memotret panorama bukit Selong dengan kamera gawainya di Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, NTB.
Namun, kata dia, harga sewa pesawat untuk perusahaan maskapai di Indonesia "dibuat mahal" dibanding dengan maskapai negara lain karena penilaian mereka terhadap insiden kecelakaan penerbangan disebut cukup tinggi.
"Mereka enggak mau dong barangnya rusak, makanya harga leasing [sewa] untuk Indonesia selalu lebih mahal," ungkap Ruth.
"[Bedanya] cukup signifikan. Makanya maskapai kita enggak bisa bersaing dengan Air Asia yang tiketnya murah-murah."
Namun demikian Alvin Lie mengatakan seluruh beban biaya yang ditanggung maskapai itu sebetulnya hanya 60% atau 70% dari keseluruhan harga tiket yang dibayar penumpang.
Pungutan-pungutan yang disisipkan oleh pemerintah, menurutnya, tak kalah besar. Padahal semestinya bisa dipangkas.
"Contoh harga tiket pesawat ke Yogya Rp800.000 itu nanti akan dipotong Rp170.000 untuk bandara. Tinggal Rp630.000 dipotong PPN 11% dan iuran wajib Jasa Raharja."
"Jadi yang masuk ke maskapai cuma Rp540.000."
"Ini yang harus dilihat, mana yang membuat mahal? Harga tiket atau biaya-biaya di luar tiket?"
Belum lagi harga bahan bakar avtur yang disebut Alvin Lie berbeda.
Untuk penerbangan domestik harga avtur dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 11% dan 0,25% oleh BPH Migas. Sedangkan penerbangan internasional tidak dikenakan sama sekali.
Segala pungutan tersebut, menurut dia, harusnya bisa ditinjau kembali jika pemerintah ingin menurunkan harga tiket pesawat domestik.
"Banyak yang bisa dibenahi jadi lebih efisien, maka saya harap Pak Luhit benar-benar cermat dan konsisten jangan nanti beralih pikiran menambah beban biaya," ujar Alvin Lie.
Ruth Hana sependapat.
Biaya retribusi bandara yang selalu naik tiap dua tahun, klaim dia, tidak berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan.
Semisal fasilitas garbarata yang jarang digunakan penumpang ketika pesawat mendarat dan pelayanan bagasi yang disebutnya lambat.
Dia mencontohkan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang dinilai menyulitkan.
"Penumpang itu agak malas ke Terminal 3 kalau enggak terpaksa. Karena jalannya jauh banget. Kalau di Hong Kong bandaranya besar, tapi karena semua difasilitasi jadi memudahkan orang untuk bermanuver di bandara," ujar Ruth.
"Di Malaysia dan Singapura, kereta layang bandara ada di dalam bandara. Bukan di luar kayak Soekarno-Hatta, itu yang saya mikir enggak masuk akal."
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan masing-masing kementerian yang dilibatkan dalam satgas sedang diminta melakukan pembahasan dan kajian lebih detail terkait bidangnya masing-masing.
Adita mengakui selain komponen biaya operasional maskapai seperti avtur, pemeliharaan, sewa pesawat, dan suku cadang, ada pajak-pajak yang diberlakukan kementerian atau lembaga lain sehingga menambah besar harga tiket pesawat domestik.
"Sehingga kami melihat soal tarif ini mesti dibahas lintas sektoral," ujar Adita.
Namun dia tak bisa menjawab ketika ditanya apakah target kerja satgas bakal menurunkan harga tiket pesawat di dalam negeri.
Sebab Kemenhub masih melakukan evaluasi terkait ketentuan mengenai Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB).
Calon penumpang berjalan di selasar Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta.
Yang pasti, katanya, penurunan harga akan berbanding lurus dengan penurunan komponen tarif termasuk harga avtur, suplai pesawat yang lebih banyak, dan evaluasi terhadap pajak yang diterapkan.
Sekjen Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto, mengaku bakal mengikuti apa pun keputusan pemerintah. Jika hasilnya dianggap tidak sesuai, Bayu mengatakan pihaknya akan "memberikan masukan".
Tapi terlepas dari itu, Bayu mengatakan kondisi keuangan maskapai pasca-pandemi masih berdarah-darah alias belum pulih.
Sementara sejak tahun 2019 tidak ada perubahan aturan soal Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). Ditambah lagi harga avtur yang disebutnya "sudah lebih tinggi 20% ketimbang Malaysia".
"Kurs dollar juga terus naik, padahal pendapatan dalam rupiah tapi pengeluarannya 80% dalam USD," ujar Bayu kepada BBC News Indonesia.
Itu kenapa, menurut dia, harga tiket pesawat domestik dibilang mahal, sangat relatif tergantung segmen penumpangnya.
Dia menilai jika pemerintah peduli pada penerbangan domestik maka harus meninjau ulang pungutan-pungutan yang dibebankan dalam tiket pesawat penumpang.
Kemudian menghapuskan bea masuk impor suku cadang.
"Jadi intervensi pemerintah di sisi pembentuk harga tadi, misal impor suku cadang dibebaskan dari PPN dan PPH, harga avtur dan iuran, itu diintervensi. Sehingga otomatis harga produksi menjadi wajar". (*)
Tags : Media sosial, Minyak gas, Pesawat, Ekonomi, Masyarakat, Gaya hidup, Indonesia, Industri pariwisata dan hiburan,