"Hari pertama pembelajaran tatap muka tetap saja menimbulkan dilema dan optimisme orang tua yang bisa berpotensi klaster Covid-19 baru"
embelajaran tatap muka (PTM) menimbulkan semangat di kalangan orang tua dan pihak sekolah yang lelah dengan metode daring, tapi di sisi lain keputusan itu menimbulkan kekhawatiran epidemiolog khususnya dalam potensi menciptakan klaster Covid-19 di sekolah.
Beberapa daerah mengelar pembelajaran tatap muka (PTM) mulai Senin, (30/08) setelah mendapat izin dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Kemendikbud Ristek mengizinkan 63% satuan pendidikan yang berada di daerah PPKM level 1,2,3 memulai PTM secara terbatas. Orang tua dan pihak sekolah menyambut baik keputusan tersebut karena berdampak positif bagi tumbuh kembang anak.
Sebaliknya, epidemiolog dan relawan LaporCovid-19 menilai, PTM berpotensi akan kembali meningkatkan kasus virus corona yang kini tengah ditekan penyebarannya, bahkan berpotensi memunculkan klaster sekolah. Berdasarkan data Lapor Covid-19 tentang pembelajaran dan aktivitas tatap muka di sekolah dari Januari-Agustus 2021, terdapat 129 laporan warga.
Pada Juli lalu, terdapat 29 laporan yang mayoritas adalah pelanggaran protokol kesehatan, dan 17% dari laporan itu menciptakan klaster Covid-19 di sekolah.
Pelaksanaan PTM hari pertama, 'tidak mau divaksin hingga tidak taat prokes'. Puluhan siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, mengelar PTM Senin, (30/08).
Saat pulang sekolah, beberapa siswa terlihat sedang bermain di lingkungan sekolah, ada yang dijemput orang tua, dan ada juga yang pulang sendiri. Di antara mereka, ada yang terlihat menurunkan masker di dagu. Seorang siswa ditanya menyatakan senang karena dapat kembali ke sekolah. "Saya lebih memilih sekolah tatap muka dibanding daring, karena lebih bisa memahami pelajaran yang dijelaskan oleh guru," katanya dirilis BBC News Indonesia.
Senada, orang tua salah satu siswa, Ali Umar yang ditemui saat menjemput anaknya menyambut baik PTM. Ali mengatakan tidak khawatir dengan potensi anaknya dapat tertular Covid-19 ketika bersekolah. "Keuntungannya bisa belajar lagi bersama-sama, kalau di rumah kan tidak, tidak bagus. Covid berbahaya, cuma tidak mematikan karena banyak yang sembuh dari pada meninggalnya," tambahnya kalau ia dan anaknya hingga kini tidak divaksin. "Tidak (mau divaksin), saya melihat yang sudah-sudah, lebih banyak bahaya (vaksin) dari pada sehatnya," kata Ali.
Kepala Sekolah SMP N 3 Batang Anai, Hayatussaadah mengatakan, pelaksanaan PTM pertama berjalan lancar dan mematuhi protokol kesehatan mulai dari jumlah siswa 50%, ruangan disemprot disinfektan usai pembelajaran, hingga penggunaan masker. Hayatussaadah mengatakan, berdasarkan pendataan sekolah, terdapat sekitar 80 siswa yang bermasalah ketika melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) mulai dari tidak mengerjakan tugas hingga tidak menghadiri kelas daring.
Di sisi lain, data sekolah juga menunjukan, sekitar 60% anak dan orang tua di SMP Batang Anai itu tidak mau divaksin dengan alasan beragam, sementara 99% guru telah mendapatkan vaksin. Terkait dengan keengganan tersebut, Jubir Satgas Covid-19 Sumatera Barat, Jasman Rizal mengatakan, vaksinasi tidak bisa dipaksakan. "Tapi kami terus edukasi dan sosialisasi, semoga mereka mau (divaksin). Kami akan melibatkan semua pihak, dan tokoh masyarakat. Dengan vaksin, jika terpapar maka tidak terlalu berat," kata Jasman.
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemkes RI Siti Nadia Tarmizi menegaskan, vaksinasi memberikan perlindungan kepada diri sendiri dan orang sekitar dari bahaya Covid-19. "Kita terus meminta pemuka agama dan tokoh agama setempat untuk mendorong vaksinasi," kata Nadia.
Manfaat tatap muka dari psikologis hingga pendidikan murid
Pembelajaran tatap muka adalah pilihan terbaik dari opsi-opsi buruk lain yang tersedia, kata Ketua PGRI Jawa Tengah Muhdi. Terdapat beberapa manfaat di tengah adanya potensi paparan Covid-19 saat murid datang ke sekolah. Pertama, membangkitkan psikologis dan karakter anak yang telah jenuh karena satu setengah tahun melaksanakan PJJ. "Anak itu tidak hanya kompeten, cerdas, terampil, tapi juga harus memiliki karakter unggul yang dibentuk di sekolah," kata Muhdi.
Kedua, meningkatkan kemampuan pendidikan anak yang selama PJJ rata-rata hanya menyerap 50% dari materi pendidikan. "Bahkan ada anak yang sama sekali tidak memperoleh dan menyerap pelajaran dengan baik," katanya.
Kepala Sekolah SMA Negeri 4 Kota Semarang, Jawa Tengah, yang melaksanakan PTM Senin (30/08), Wiji Eny Ngudi Rahayu mengatakan, selama PJJ anak terlihat menjadi malas belajar, tidak disiplin, banyak bermain, dan kurang bersosialisasi. "Dengan PTM, kemampuan sosial jadi hidup, bertemu teman, bersosialisasi dengan guru. Sedangkan di rumah jadi bosan hingga akhirnya tergantung sama gadget," kata Eny.
"Selain itu, kalau PJJ banyak kendala, dari jaringan internet, kuota, dan kadang kamera dimatikan, kan kita tidak tahu apakah anak mendengarkan atau tidak. Kalau PTM kan semua terpantau," kata Eny.
Vaksinasi rendah dan potensi klaster sekolah
Namun, lembaga pemantau LaporCovid-19 memandang PTM belum tepat dilaksanakan saat ini. Salah satu alasannya karena tingkat vaksinasi anak sekolah masih rendah. "Kita baru 10%, data 29 Agustus kemarin, anak 12-17 tahun yang divaksin. Di tambah, PTM berbahaya karena berpotensi meningkatkan klaster Covid-19 yang sudah sekuat tenaga ditekan pemerintah, kita belum siap," kata relawan dari LaporCovid-19, Diah Dwi Putri.
Diah mencontohkan, sepanjang Januari hingga Agustus 2021, terdapat 129 laporan warga tentang pembelajaran dan aktivitas tatap muka di sekolah. Pada bulan Juli 2021, terdapat 29 laporan yang 52% adalah bentuk pelanggaran protokol kesehatan dan 17% dari laporan itu menimbulkan klaster Covid-19. Kemudian Agustus, terdapat 34 laporan di mana tiga menimbulkan klaster Covid-19.
Diah mengatakan, pemerintah dapat melakukan PTM ketika positivity rate berada di bawah 5% dan meningkatkan vaksinasi anak sekolah. "Sambil menunggu itu, sekolah mempersiapkan PJJ yang kreatif dan efektif. Banyak cara kok untuk itu. Ini cara yang lebih aman untuk pendidikan dan juga kesehatan," katanya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko menilai, cara pemerintah menentukan daerah yang bisa melaksanakan PTM berdasarkan level PPKM adalah tidak tepat. "Jadi salah jika indikator masuk sekolah itu karena level-level PPKM, itukan untuk mengukur transmisi. Yang benar itu harusnya positivity rate, di bawah 5%, yang tingkat penyebaran dan resikonya telah kecil," kata Yunis.
Level dalam PPKM ditentukan berdasarkan jumlah transmisi suatu wilayah yang dibagi dengan tingkat kapasitas respons yang dimiliki. Contoh, level 1 menunjukan angka kasus konfirmasi positif kurang dari 20 orang per 100 ribu penduduk. Level 2 yaitu 50 orang, level 3 adalah 50-100 orang dan level 4 lebih dari 150 orang per 100 ribu penduduk.
Sementara positivity rate adalah perbandingan jumlah kasus positif dengan jumlah tes yang dilakukan. Pada awal Agustus, positivity rate Indonesia sebesar 25% (dari 100 orang yang dites, 25 orang terinfeksi) yang menurun hingga 8% kemarin. "Jangan sembarangan masuk (sekolah) saja, dengan menggunakan indikator yang tidak tepat, demi kepuasan orang tua yang tidak bisa mendidik anaknya. Kalau terjadi peningkatan lagi, varian delta, siapa yang bertanggung jawab? Kalau berani lari, banyak, tapi berani tanggu jawab tidak ada," katanya.
Saat dikonfirmasi, Ketua Tim Pakar sekaligus Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, level PPKM telah memasukkan beragam unsur pertimbangan secara komperhensif dari aspek indikator epidemiologis hingga kapasitas respons daerah. "Khusus terkait indikator yang lebih detil layaknya potensi klaster kasus dan syarat vaksinasi di area sekolah telah dimasukkan ke dalam unsur teknis operasional PTM untuk dijadikan pedoman bagi sekolah juga Satgas yang dibentuk di dalamnya agar berhat-hati," kata Wiku.
Apa kata pemerintah?
Plt. Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Hendarman mengatakan, keputusan pembukaan PTM menjadi kewenangan daerah yang berkonsultasi dengan Satgas Covid di masing-masing daerah. "Karena mereka mengetahui kondisi kesiapan, dan daerah yang mendorong pelaksanaan vaksinasi baik kepada guru dan tenaga pendidik maupun siswa-siswanya," kata Hendarman.
"Apabila terjadi penularan maka sudah diatur juga dalam SKB 4 Menteri yang diikuti oleh daerah yaitu melakukan mitigasi baik testing maupun tracing, dan diikuti dengan penutupan sekolah sementara apabila ditemukan korban terpapar positif," katanya.
Hendarman menegaskan, orang tua mempunyai kewenangan untuk tidak mengirimkan anaknya ke sekolah. "Ke depan diharapkan PTM dapat lebih banyak lagi dibuka," katanya.Berdasarkan data Satgas Covid hingga 22 Agustus 2021, terdapat 31% dari 261.040 satuan pendidikan yang berada pada daerah dengan PPKM Level 1,2 dan 3 telah menyelenggarakan PTM secara terbatas. Mendikbud Ristek Nadiem Makarim dalam rapat kerja di Komisi X DPR, Senin (23/08) menyampaikan, 63% sekolah di Indonesia yang berada di PPKM level 1,2,3 bisa melaksanakan PTM.
Tags : Pembelajaran Tatap Muka, Dilema dan Optimisme Orang Tua, Sekolah Tatap Muka Bisa Berpotensi Klaster Covid-19,