LINGKUNGAN - Harimau pernah hidup di Bali yang kini menjadi surga wisata Indonesia, walau riset tentangnya begitu terbatas.
Mereka dianggap sebagai leluhur oleh masyarakat Bali, dan menghuni hutan-hutan pegunungan dari barat hingga timur di Pulau Dewata.
Dengan luas habitat yang terbatas, jumlah harimau Bali diperkiraan sekitar 110 ekor sebelum akhirnya punah tahun 1940-an.
Pembangunan jalan dan lahan pertanian di akhir abad ke-18 oleh penjajah mengikis habitat harimau di Bali.
Tragisnya, perburuan untuk olahraga yang bersemi di Bali pada zaman penjajahan Belanda menjadi alat pemusnahan sistematis dan massal harimau untuk selama-lamanya.
Setidaknya yang tercatat dalam sejarah, pemburu itu di antaranya adalah pembuat bom E. Munaut dari Surabaya yang membunuh 20 harimau bali pada 1913.
Lalu Ledeboer bersaudara dari Jawa Timur, yang menghabisi 11 harimau Bali sebelum tahun 1915.
Harimau Bali terakhir yang terdokumentasi tewas ditembak dengan sengaja tahun 1937 untuk koleksi, di Sumber Kima, Bali.
Kini harimau Bali hanya dikenal lewat lima kulit dan delapan tengkorak yang, salah satunya, tersimpan di museum.
Spesimen ini yang menjadi satu-satunya bukti bahwa harimau pernah hidup di Bali.
Hikayat harimau Jawa, upaya yang terlambat
Harimau juga terekam dalam beragam catatan sejarah kebudayaan masyarakat di Pulau Jawa dari ujung barat hingga timur, mulai dari wayang, relief candi, hingga lukisan.
Harimau dengan beragam bentuk penghormatan menemani perjalanan peradaban masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa menyebut harimau dengan beragam nama terhormat, dari 'simbah, kyai, loreng, gembong, maung, lodhaya'.
Di Jawa Barat, terdapat mitos harimau putih yang menjadi kekuatan supranatural Raja Siliwangi. Bahkan, harimau menjadi simbol bagi pasukan militer di Jawa Barat.
Komando Daerah Militer III/Siliwangi.
Di wilayah timur Jawa, terdapat tradisi memandikan gong Kyai Macan (harimau) di Lodoyo, Blitar.
Harimau Jawa tersebar di belantara hutan dari Banten hingga Jawa Timur.
Namun, situasi berubah ketika penjajah Belanda menaklukkan pulau Jawa dan merusak habitat harimau untuk lahan pertanian dan perkebunan.
Bagi penjajah, harimau dipandang sebagai "tijgerplaag", atau 'hama harimau' karena menyebar teror ke mereka.
Sejak tahun 1648, Belanda telah memberikan hadiah dalam jumlah besar bagi mereka yang bisa membunuh harimau, yang saat itu tidak sulit untuk dijumpai.
Sistem imbalan membuat harimau menjelma menjadi target buruan untuk ekonomi hingga olahraga.
Belanda juga membentuk pasukan khusus beranggotakan sekitar 50 orang yang dilengkapi dengan senjata untuk memburu harimau.
Bahkan, Belanda bersama Kerajaan Jawa mendorong penangkapan harimau besar-besaran melalui ritual istana, yang dikenal dengan nama Rampogan Macan sejak abad ke-17.
Blitar menjadi saksi terakhir ritual Rampogan Macan pada tahun 1906.
Ini adalah tradisi budaya di mana harimau dikepung di alun-alun lalu diadu melawan kerbau. Jika masih hidup, harimau kemudian dibunuh dengan cara ditombak.
Jumlah harimau Jawa akhirnya turun drastis dan sulit ditemukan hingga periode 1960-an.
Harimau Jawa disebut tersudut di dua kawasan konservasi di Ujung Kulon di barat, dan Meru Betiri di timur.
Di saat upaya pelestarian dilakukan pemerintah, harimau Jawa diperkirakan hanya tersisa lima ekor di Meru Betiri.
Namun, harimau Jawa sudah tidak lagi menunjukkan keagungannya. Mereka menghilang dan hanya muncul dalam laporan dari mulut ke mulut tanpa bukti ilmiah.
Akhirnya, harimau Jawa dinyatakan punah di dekade 1970-an.
Kepunahan harimau Sumatra 'di depan mata'
Berkaca dari perjalanan kepunahan dua saudaranya, apakah Indonesia juga akan kehilangan harimau di alam liar Sumatra?
Dokter hewan Patrick menjelaskan, ancaman kepunahan harimau Sumatra ada di depan mata.
"Semakin lama semakin merosot jumlah populasi harimau. Sedih melihat fakta itu. Dengan keadaan saat ini, potensi kepunahaan itu ada untuk harimau [Sumatra]," katanya.
Ancaman itu berasal dari beragam sisi.
Patrick mengatakan, pertama adalah perburuan dan perangkap jerat.
Dia menegaskan, semua jenis jerat di dalam hutan sangat berbahaya bagi harimau, baik jerat harimau maupun jerat mangsa seperti babi dan rusa, dan lainnya.
Ancaman terbesar lain bagi harimau adalah deforestasi hutan yang menyebabkan habitat mereka semakin sempit.
Data Global Forest Watch, menunjukkan sepanjang 2001-2009, deforestasi di Indonesia lebih dari 26 juta hektare.
Dari 10 provinsi dengan penurunan luas lahan tutupan pohon terbesar di Indonesia, empat ada di Pulau Sumatra.
Terbesar terjadi di Riau (3,8 juta hektare), Sumatra Selatan (2,8 juta), Jambi (1,6 juta), dan Sumatra Utara (1,3 juta).
Kemudian, kata Patrick, jumlah pakan yang semakin menurun juga dapat membawa harimau menuju kepunahan.
Salah satunya adalah penyakit menular African Swine Fever (ASF) yang membunuh banyak babi dengan cepat di hutan Sumatra.
'Rela mati demi harimau'
Di ujung perjumpaan kami, Mawi membisikkan kata-kata ke saya.
Ia bersumpah tidak akan lagi berburu harimau walau banyak rintangan yang dihadapi, dari tekanan ekonomi hingga ancaman pemburu lain.
"Sekali terucap berhenti, sampai mati saya berhenti. Kalau mati gara-gara melindungi harimau, saya siap dan ikhlas, karena harimau sudah banyak berkorban selama hidup saya," katanya.
Di sisa hidupnya dan beragam pengetahuan yang dimiliki, Mawi berharap dapat bekerja sama dengan beragam pihak untuk melindungi harimau.
"Setidaknya ada sedikit dosa saya yang bisa terampuni. Kalau semua tidak akan bisa dan tidak terhitung," tutupnya.
"Nasib harimau Sumatra kini ada di tangan kita semua, masyarakat Indonesia. Apakah kita ingin melestarikan mereka atau membiarkan mereka mati untuk selamanya," tegasnya. (*)
Tags : Harimau Pernah Hidup di Bali, 'Bekas Surga Perburuan Masa Kolonial',