PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terbaru tentang kondisi ekonomi Indonesia dan mayoritas masyarakat menganggap buruk.
"Kali ini masyarakat yang menilai ekonomi buruk itu lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang menilai ekonomi baik atau positif," kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam pemaparan Rilis Temuan Survei Nasional LSI: Persepsi Publik Tentang Pelaksanaan Pemilu 2024, Minggu (25/2).
"Jadi penilaian masyarakat umum terhadap ekonomi saat ini masih berada pada posisi negatif," kata dia.
Tetapi Indonesian Corruption Investigation [ICI] lebih mengemukakan kalau pemerintah dinilai menyadari adanya kenaikan beban yang harus dipikul oleh masyarakat saat ini. "Sayangnya, fakta yang diketahui itu hanya dianggap angin lalu oleh pengambil kebijakan," sebut H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak, Koordinator ICI dalam bincang-bincannya, Senin malam (26/2).
"Pemerintah sebenarnya memahami (kondisi sulit masyarakat) itu, tapi tak mau mengakui. Buktinya anggaran bansos terus naik, dan malah bertambah di era Prabowo-Gibran. Artinya, pemerintah secara tidak langsung memahami bahwa beban hidup masyarakat bertambah," ujarnya lagi.
Menurut Ketum Lembaga Melayu Riau [LMR] Jakarta Pusat ini, beban hidup masyarakat saat ini terbilang berat.
Selain sengkarut harga pangan yang terus melambung, rakyat juga dihadapkan situasi sulitnya mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan.
"Penyerapan tenaga kerja di Indonesia disebut masih jauh dari titik optimum," kata dia.
Kembali disebutkan Djayadi Hanan yang mengungkapkan berdasarkan hasil survei yang digelar pada 19-21 Februari 2024, masyarakat yang menilai ekonomi lebih buruk lebih banyak dibanding yang positif.
LSI mencatat masyarakat yang menilai ekonomi buruk sebesar 41,4 persen dengan rincian yang menyatakan buruk 30,8 persen dan sangat buruk 10,3 persen.
"Jadi, penilaian masyarakat secara umum terhadap ekonomi masih sekarang ini berada pada posisi negatif. Ekonomi dipandang kurang positif," tambah Djayadi.
Sementara, responden yang menilai kondisi ekonomi Indonesia adalah baik sebanyak 34,1 persen dengan rincian 29,1 persen menilai baik dan 5,1 persen sangat baik.
Djayadi mengungkapkan persepsi negatif ini terjadi karena kenaikan sejumlah kebutuhan pokok.
"Mungkin kita banyak mendengar isu-isu berita-berita misalnya tentang harga beras yang naik dan sebagainya, mungkin ini terkait juga dengan itu," ungkap Djayadi.
Tren yang menilai ekonomi Indonesia buruk ini, kata Jayadi, telah terjadi sejak Januari 2024.
Sementara, dari segi penegakan hukum, masyarakat yang menilai baik dan buruk hampir sama persentasenya.
"Kemudian dari segi penegakan hukum, ini sama kuat yang menyatakan penegakan hukum baik dengan penegakan hukumnya buruk," tuturnya.
Masyarakat yang menilai penegakan hukum di Indonesia baik sebesar 30,9 persen. Sementara yang menilai penegakan hukum di Indonesia buruk sebesar 31,4 persen.
Meski begitu, Djayadi mengungkapkan masyarakat yang menilai penegakan hukum adalah positif mengalami penurunan dibandingkan akhir Januari serta awal Februari 2024.
"Yang menilai buruk tidak mengalami peningkatan atau mengalami penurunan. Jadi ada semacam makin negatifnya tren pemburukan penilaian terhadap kondisi penegakan hukum," kata Djayadi.
Seperti diketahui, survei LSI ini dilakukan pada 19 hingga 21 Februari 2024. Survei menggunakan teknik random digit dialing dengan jumlah responden sebanyak 1.211 orang. Selain itu, survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error di kisaran 2,9 persen.
Dalam temuan LSI, responden yang menganggap situasi ekonomi di Indonesia sangat baik dan baik hanya 34,1 persen. Sementara itu, responden yang menilai buruk dan sangat buruk sudah 41,1 persen.
Tren ini, ujar Djayadi, tak berubah sejak Januari lalu.
"Banyak kita mendengar isu dan berita soal harga beras naik, mungkin terkait dengan itu," ujar Djayadi.
Pada aspek hukum, LSI menemukan, penilaian positif responden cenderung semakin turun, termasuk jika dibandingkan antara sebelum dan setelah pemungutan suara.
"Misalnya pada awal Februari sebelum pemilu 35 persen masyarakat menyatakan positif penegakan hukum. Sekarang 31 persen," ujar Djayadi.
Kini, jumlah responden LSI yang menganggap buruk aspek hukum di Indonesia sudah lebih banyak dibandingkan yang menganggap positif, yakni 31,4 persen berbanding 30,9 persen.
"Ada semacam makin negatifnya, pemburukan, tren pemburukan penilaian terhadap kondisi penegakan hukum," kata Djayadi.
LSI menyebutkan, target populasi survei ini adalah warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon/ponsel.
Jumlahnya sekitar 83 persen dari total populasi nasional. Pemilihan sampel dilakukan melalui metode random digit dialing (RDD) atau teknik memilih sampel melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.
Dengan teknik RDD, sampel sebanyak 1.211 responden dipilih melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak, validasi, dan screening.
Margin of error survei diperkirakan ± 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, asumsi simple random sampling.
LSI mengeklaim wawancara dengan responden dilakukan lewat telepon oleh pewawancara yang dilatih.
Seperti disebutkan Darmawi Wardhana Zalik Aris menyikapi, pemerintah dinilai menyadari adanya kenaikan beban yang harus dipikul oleh masyarakat saat ini. Sayangnya, fakta yang diketahui itu hanya dianggap angin lalu oleh pengambil kebijakan.
Ia berpendapat, angka incremental labour out ratio (ILOR) Indonesia saat ini masih cukup rendah. Akibatnya, angka pengangguran di Tanah Air tak bisa ditekan signifikan. Kondisi itu berujung pada angka kemiskinan yang relatif tinggi.
Secara keseluruhan, hal yang paling baik dari ekonomi Indonesia ialah angka inflasi umum yang masih rendah dan terkendali meski inflasi pangan cenderung tinggi. Lain dari itu, kata Darmawi Wardhana, tak ada yang begitu memukau.
Angka pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 5% juga dinilai hanya menunjukkan stagnansi ekonomi.
Selain itu, pengambil kebijakan turut dianggap menutup mata terhadap kondisi industri manufaktur di Tanah Air. Padahal sektor itu memberikan dampak berganda pada perekonomian.
"Sejak tahun lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga terpantau di bawah pertumbuhan ekonomi. Dan pertumbuhan investasi masih tidak terlalu tinggi, masih di bawah enam persen, karena itu daya serap tenaga kerjanya juga tidak terlalu tinggi," jelasnya.
"Jadi wajar bagi masyarakat menengah ke bawah kehidupan terasa makin sulit. Satu lagi, angka ketimpangan kita naik dari 0,381 ke 0,388. Artinya, yang kaya memang bertambah kaya, sementara yang miskin justru semakin sulit," pungkasnya. (*)
Tags : ekonomi, perekonomian, bansos, daya beli masyarakat, ekonomi makin buruk, News,