BENGKALIS - Komunitas nelayan di Indonesia terus menurun akibat ekspansi industri ekstraktif ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal itu salah satunya terjadi di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau.
"Nelayan Pulau Rupat terus terdesak dan dililit kemiskinan yang berkepanjangan."
”Dahulu, mudah bagi nelayan untuk mendapat Rp 500.000 dalam sehari, karena ikan dan udang sangat banyak. Sekarang, sehari dapat Rp 200.000 pun sudah sangat beruntung,” kata Ketua Aliansi Tokoh Masyarakat Riau Peduli Pulau Rupat, Said Amir Hamzah dihubungi usai Jumat (11/10).
Menurutnya, kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut juga sudah mengancam kehidupan nelayan di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau ini.
"Pemerintah tak konsisten dan tak pula tegas menindak perusahaan yang melakukan pertambangan tanpa izin di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil."
"Ya tambang pasir laut itu menjadikan padang lamun dan terumbu karang rusak parah. Akibatnya, ratusan nelayan lokal sulit mendapat ikan dan terancam gantung jala [pensiun dini jadi nelayan]," ungkapnya.
Penambangan pasir laut tersebut dilakukan PT Logomas Utama di perairan utara Pulau Rupat.
Aktivitas tambang juga mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir di Pulau Babi dan Pulau Beting Aceh. Kerusakan itu berupa abrasi, laut keruh, hancurnya terumbu karang, dan kerusakan padang lamun.
”Sejak ada aktivitas tambang [PT Logomas Utama], penyu dan dugong menghilang. Padahal hewan laut itu salah satu potensi untuk mengembangkan pariwisata di Rupat,” ujar Said.
Pada 13 Februari lalu, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan [PSDKP], Kementerian Kelautan dan Perikanan, menghentikan operasi kapal petambang pasir milik PT Logamas Utama. Selain itu, KKP juga memanggil Direktur PT Logomas Utama, Indrawan Sukmana, untuk diperiksa.
Lewat pernyataan tertulis, Direktur Jenderal PSDKP Laksamana Muda Adin Nurawaluddin menyatakan, PT Logomas Utama tidak memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut [PKKPRL].
Dia menambahkan, hasil penelitian oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN] dan Universitas Halu Oleo di Kendari, Sulawesi Tenggara, juga membuktikan kerusakan pesisir di perairan utara Pulau Rupat akibat aktivitas tambang.
Terkait hal itu, Manajer Pengorganisasian dan Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Riau Eko Yunanda mengatakan, nelayan masih khawatir penghentian aktivitas tambang hanya bersifat sementara.
Hingga kini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] belum mencabut izin usaha pertambangan [IUP] PT Logomas Utama.
”Kementerian ESDM seharusnya meniru langkah tegas KKP. Itu bisa dimulai dengan segera mencabut IUP PT Logomas Utama. Kerugian nelayan, kerusakan ekosistem, dan proses malaadministrasi dalam penerbitan izin seharusnya cukup dijadikan alasan,” kata Eko.
Pada 6 April lalu, dalam rangka memperingati Hari Nelayan 2022, Walhi merangkum sejumlah masalah yang memicu nelayan di sejumlah daerah ”gantung jala”.
Salah satunya penurunan jumlah nelayan sangat erat kaitannya dengan ekspansi industri ekstraktif ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Rupat.
Walhi mencatat, ekspansi pertambangan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengakibatkan 35.000 keluarga nelayan kehilangan ruang hidup. Selain itu, ada 6.081 desa di pesisir yang kawasan perairannya tercemari limbah pertambangan. Adapun hingga tahun 2040, pemerintah merencanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12,98 juta hektar. (*)
Tags : pesisir, nelayan, walhi, riau, perikanan, bengkalis, regional, pulau rupat, berita, tambang pasir laut, aktual, pulau-pulau kecil, News Daerah,