HARI PERS NASIONAL [HPN] Tahun 2022 diperingati dengan khidmat secara Nasional. Walau pelaksanaannya menjadi berbeda karena harus menerapkan protokol kesehatan. Peringatan HPN juga dilakukan ditingkat kabupaten/kota di Indonesia mengikuti terlebih dahulu peringatan HPN tahun 2022 yang dipusatkan di Kendari, Sulawesi Tenggara secara virtual bersama jajaran insan pers.
Sebagaimana prosedur protokol kesehatan dilakukan pembatasan peserta dan sebelum memasuki area, semua yang hadir menjalani rapid test terlebih dahulu. Tetapi sejauh ini keberadaan pers tetap dianggap sangat berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat atas informasi dan mendorong akselerasi pembangunan.
Semangat insan pers harus terus ditingkatkan meski di tengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Beberapa himbauan segenap lapisan masyarakat bersama insan pers menyuarakan optimisme serta menjaga harapan agar bisa menuju Indonesia yang maju bersama-sama berjuang untuk memulihkan Indonesia dari pandemi Covid-19.
Ketua PWI pusat Atal Depare menyampaikan apresiasinya bahwa dirinya mengatakan perayaan HPN 2022 ini sangat luar biasa, meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19.
Perayaannya pun dilakukan secara daring seluruh Indonesia. Namun tetap meriah. Atal Depare berharap insan pers harus tetap semangat. Meskipun bertugas di tengah pandemi Covid-19. Pers harus aktif dan bersinergi dengan pemerintah. Pers berperan dalam menyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat, walaupun saat Covid- 19.
Hampir genap dua tahun pandemi Covid-19 menyerang tanah air. Kehadirannya mampu menumpahkan goresan tinta tebal dalam setiap lini tatanan kehidupan.
Musibah corona juga terjadi pada ranah jurnalistik yang harus beradaptasi dengan sebuah siklus yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di tengah gempuran virus dan momok bahwa siapa pun dapat terpapar, seorang jurnalis tetap dituntut untuk menjalankan tugasnya sebagai garda terdepan pembawa informasi.
Situasi pandemi ini memberikan sebuah pengecualian bagi para jurnalis. Tatkala segenap karyawan dialihkan untuk bekerja dari rumah, mayoritas jurnalis tak punya pilihan lain selain terjun ke lapangan. Tak hanya di Indonesia, pun mengglobal tanpa pandang bulu.
Laman United Nations mengungkapkan, setiap harinya, jurnalis bertugas melaporkan situasi terkini dari rumah sakit ataupun layanan pemakaman dengan protokol yang dianjurkan.
Risiko yang dihadapi jurnalis dari segi kesehatan semakin nyata dan tak bisa terelakkan. Tiap harinya, mereka dirundung kecemasan akan terpapar Covid-19. Terutama setelah pemerintah melakukan “pelonggaran” Pembatasan Sosial Berskala Besar [PSBB] hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat [PPKM] yang mengharuskan jurnalis untuk turut kembali bertugas ke lapangan.
Dilansir dari Suara, The Press Emblem Campaign [PEC] merilis data yang menunjukkan lebih dari 600 jurnalis di 59 negara meninggal dunia akibat terpapar virus Corona selama sepuluh bulan terakhir di tahun 2020. Sementara itu, Aliansi Jurnalis Indonesia [AJI] mencatat bahwa terdapat 294 jurnalis tanah air positif Covid-19 dalam periode yang sama.
Mobilitas tinggi yang dijalani para jurnalis dalam bertugas memang membuat sulit untuk terhindar dari risiko tertular. Belum lagi, eksistensi kasus orang tanpa gejala [OTG] Covid-19 yang tak kasat mata menjadikan penyebarannya semakin sulit dicegah. Kemungkinan inilah yang mengintai kegiatan para jurnalis dalam bertemu dengan narasumber ataupun pihak-pihak lainnya.
Akan tetapi, tak mungkin juga bila memaksa para jurnalis tersebut untuk bekerja dari rumah. Tentunya, lantaran garda terdepan media sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi ke publik.
Selain itu, para jurnalis juga bertugas sebagai watchdog untuk mengawal penanggulangan krisis ini dengan baik.
Sedari pertama pandemi menyerang, masyarakat mencerna banyak informasi baik yang tervalidasi maupun hoaks. Kondisi ini diperparah dengan masifnya penggunaan internet.
Hal ini menjadikan masyarakat dirundung kepanikan atas kabar burung yang menyesatkan. Alhasil, berpengaruh pula pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah atas informasi akurat yang disebar.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut, fenomena hoaks kesehatan ini sebagai infodemik.
Dikupas dari laman Theconversation, hasil riset Julii Bainard dan Paul Hunter dari University of East Anglia Inggris mendapati bahwa disinformasi kesehatan yang dalam hal ini dikatakan sebagai infodemik dapat membuat wabah suatu penyakit menjadi lebih parah.
Menurut Paul, orang-orang yang mempercayai informasi palsu tersebut cenderung abai sehingga mempersulit penanganan wabah. Salah satu contohnya ialah herd immunity yang sempat menjadi pembenaran masyarakat untuk bersikap “biasa saja” alih-alih waspada terhadap pandemi.
Biasanya, masyarakat mendapatkan informasi yang “bermasalah” tersebut dari siaran pesan berantai di ragam aplikasi messenger. Dalam hal ini, masyarakat cenderung turut menyebarkan informasi tersebut tanpa mengecek keabsahannya.
Tak bisa langsung menyalahkan masyarakat, karena faktanya terlalu menumpuk informasi yang beredar tersebut. Pada akhirnya, terjadilah bias konfirmasi yang membuat masyarakat memilah informasi sesuai dengan keyakinannya.
Merujuk pada hal tersebut, Yovantra Arief, Direktur Lembaga Studi dan Pemantauan Media Remotivi mengemukakan pendapatnya pada diskusi daring bertajuk Menakar Jurnalisme Pandemi di Media Kita yang digelar oleh AJI [disadur dari laman Balairungpress].
Menurutnya, konten media sosial dari orang-orang ‘awam’ berpotensi membawa masalah, lantaran tidak mempunyai latar belakang jurnalisme namun tampak menjalankan fungsi jurnalistik.
Untuk menangkis infodemik tersebut, peran jurnalis dibutuhkan untuk meluruskan kekeliruan informasi di masyarakat dengan mengulik data dan fakta yang akurat dari narasumber terkait. Tak hanya itu, jurnalis juga bertugas untuk bersikap konstruktif dalam pengolahan datanya sehingga mampu memberikan sebuah perspektif yang valid dan dapat dipercayai oleh masyarakat.
Apresiasi Pemerintah Kepada Jurnalis Tanah Air
Sudah sepatutnya, jurnalis sebagai salah satu garda terdepan diberi apresiasi atas kiprahnya menyelamatkan kebenaran informasi di tengah banjir hoaks yang menghadang masyarakat. Tentunya, apresiasi ini harus diangkat tanpa melupakan peran tenaga kesehatan yang bertugas.
Produktivitas para jurnalis di tengah keterbatasan pandemi ini sudah sepatutnya menjadi kebanggaan bagi masyarakat. Untuk itu, wajar jika Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyampaikan apresiasi dan rasa bangga atas dedikasi jurnalis di Tanah Air selama meliput pemberitaan di masa pandemi. Walaupun, rasanya Anugerah Jurnalistik Kominfo masih kurang cukup untuk menunjukkan rasa terima kasih bagi para punggawa pers.
Oleh karena itu, dalam perayaan Hari Pers Nasional ini, mari kita bersama mengangkat topi atas peran strategis para jurnalis menyelamatkan disinformasi pada masyarakat. Di tengah hiruk pikuk pandemi ini, semoga kesehatan selalu tercurah untuk para jurnalis di luar sana. (*)
Tags : Hari Pers Nasional, Redaksi, HPN 2022, Peringatan HPN di Tengah Pandemi, Pergerakan Jurnalisme, Fungsi Jurnalistik di Tenga Pandemi,