PADA umumnya mempunyai ketajaman melihat apa yang luput dari pandangan orang Indonesia sebagai orang dalam, karya dan pemikiran Indonesianis kerap menjadi rujukan, terlebih di masa Orde Baru ketika kebebasan dikekang, kata akademisi.
Buku-buku Herbert Feith dan Ben Anderson menjadi inspirasi bagi Achmad Munjid untuk mendalami ilmu politik di masa kuliahnya. Di bidang antroplogi, dia membaca buku-buku Clifford Geertz.
"Di zaman Soeharto dulu, ilmuwan kita di dalam negeri tidak selalu punya kemerdekaan untuk bicara secara jujur, secara blak-blakan. Tetap ada, cuma jumlahnya tidak terlalu banyak.
"Nah ketika Orde Baru masih berkuasa memang membaca karya-karya Indonesianis itu menjadi pelita tersendiri untuk melihat yang tidak boleh dilihat atau yang sulit dilihat ketika masa Orde Baru," kata dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Achmad Munjid.
Merujuk pada istilah umum, Indonesianis adalah orang non-Indonesia yang memiliki ketertarikan, mendedikasikan waktunya untuk meriset dan menulis di berbagai bidang tentang Indonesia. Minat diwujudkan dalam tindakan maupun karya sebagai bagian dari karier mereka.
Bagaimana kiprah mereka sesudah Orde Baru di bawah komando Presiden Suharto tumbang dan reformasi di Indonesia menggelinding selama lebih dari dua dasawarsa dan perhatian global diarahkan ke negara-negara yang bergolak?
Pada saat yang sama, semakin banyak Indonesianis kondang kini memasuki usia senja. Sebagian nama besar telah meninggal dunia. Ben Anderson dan Daniel Lev di antaranya. Anderson, ahli kajian Indonesia dari Universitas Cornell, tutup usia di Malang pada tahun 2015.
Tak ada data pasti berapa jumlah Indonesianis. Kementerian Luar Negeri Indonesia belakangan menggagas acara tahunan Kongres Indonesianis Sedunia. Pada acara tahun 2021, terdapat 250 peserta.
Masa kini bertepatan dengan usia RI mencapai 77 tahun seperti laporan yang dimuat BBC News Indonesia menampilkan beberapa sosok Indonesianis yang berkiprah di dunia akademik.
Profesor Robert Hefner: 'Silakan, monggo'
Profesor Robert Hefner bukan penutur asli Bahasa Indonesia dan bukan pula penutur asli Bahasa Jawa halus. Keduanya dia pelajari lebih dari 40 tahun silam di pegunungan Tengger, Jawa Timur.
Tinggal di pedesaan, dia meneliti hubungan masyarakat minoritas Hindu dan mayoritas Muslim untuk disertasi gelar master di Universitas Michigan, Amerika Serikat (AS).
Namanya tidak asing bagi Indonesia; Robert Hefner.
"Saya pada awal tidak tahu apa-apa sebagai orang Amerika yang awam dari midwest, Negara Bagian Ohio. Tidak pernah jalan ke luar negeri pada tahun-tahun itu dan tidak tahu apa-apa tentang Indonesia," kenang Hefner disertai pula dengan tawa renyah ketika mengisahkan masa kuliahnya.
Dalam mata kuliah sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara, terdapat topik negara Indonesia. Di situlah dia mengenal Indonesia untuk pertama kalinya.
"Dari saat itu seolah-olah saya jatuh cinta. Seolah-olah saya menemukan sebuah negara yang betul-betul menarik perhatian buat saya akibat dari apa yang saya pelajari," katanya.
Robert Hefner adalah profesor antropologi dan studi global di Universitas Boston. Berkat risetnya di Indonesia, dia telah menghasilkan banyak buku, sekitar 21 buku dengan pengarang tunggal.
Sejumlah bukunya telah diterjemahkah ke dalam bahasa Indonesia. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, sebagai contohnya.
Tema yang menjadi perhatian Profesor Hefner berkisar pada sejarah Islam, masyarakat Muslim, kerukunan dalam masyarakat pluralistik dan juga politik. Untuk itu, dia menghabiskan waktu lama di daerah-daerah basis pesantren.
Pada 1978-1980, dia melakukan penelitian di Pasuruan, kabupaten yang menjadi benteng Nahdlatul Ulama. Pada 1985, dia kembali tinggal di kabupaten itu.
Kajiannya mengikuti tren isu-isu dalam masyarakat, seperti tercermin dalam salah satu buku teranyarnya mengenai syariah dan etika Muslim modern. Untuk saat ini dia sedang mempersiapkan buku bertajuk Islam and Citizenship: Democracy and the Quest for Inclusive Ethics in Indonesia.
Bersama akademisi UGM, dia juga membuat film pendek tentang rekonsiliasi konflik Ambon.
Keragamaan keagamaan yang relatif stabil dan terjaga menjadi modal penting tumbuhnya Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Itulah penilaian Rob Hefner yang tak tergoyahkan sedari awal mengenal Indonesia hingga dewasa ini.
"Yang paling menarik buat saya dari awal adalah ini negara sangat majemuk. Tapi walaupun begitu ini adalah sebuah negara di mana sebagian besar dari masyarakat betul-betul cinta dengan negara mereka," kata Profesor Hefner.
Diakui aspek keistimewaan itulah yang tetap menjadi apresiasinya, meskipun sejumlah konflik telah meletup.
"Walaupun selalu ada tantangan, tapi salah satu keberhasilan yang betul-betul menonjol dalam sejarah politik Indonesia adalah bahwa sebagian besar masyarakat tidak sama sekali menolak gagasan Indonesia, proyek pendirian Indonesia tapi betul-betul cinta kepadanya. Itu sesuatu yang luar biasa dan mungkin orang Indonesia kadang-kadang tidak tahu banyak tentang keistimewaan Indonesia itu."
Sebagian besar karyanya adalah karangan akademis. Dia berharap tulisan-tulisannya dapat digunakan oleh kalangan Indonesianis lain dan orang Indonesia sendiri.
Dia mengaku senang ada komunitas intelektual seperti di negara-negara Eropa dan Timur Tengah yang telah belajar dari buku-bukunya dan turut mengibarkan nama Indonesia.
"Tiga puluh tahun lalu ketika saya memulai karier saya sebagai Indonesianis, sebagian besar orang Amerika, apalagi orang Timur Tengah pun tidak banyak tahu tentang Indonesia," katanya seraya menambahkan bahwa nama Indonesia semakin diketahui dunia setelah era Reformasi.
Mengapa demikian?
"Karena lihatlah Musim Semi Arab yang dilewati kurang lebih 2010-2011. Kalau kita bandingkan Arab Spring dengan era Reformasi Indonesia jauh beda. Jauh beda. Dan ini tragis menurut saya.
"Tidak ada satu pun negara, dengan perkecualian Tunisia, yang melewati Arab Spring itu dan kemudian mencapai sebuah pendirian, sebuah sistem politik yang demokratis, yang betul," Profesor Hefner.
Patricia Henry: Dosen bahasa Indonesia secara kebetulan
Masih di Amerika Serikat, saya juga menghubungi seorang perempuan yang bukan penutur asli Bahasa Indonesia tapi kemampuannya menggunakan bahasa itu di atas rata-rata.
Ini karena, dia adalah seorang mantan guru besar Bahasa Indonesia di salah satu perguruan tinggi ternama, Universitas Northern Illinois, AS.
Dia menyebut perkenalannya dengan Bahasa Indonesia terjadi secara "kebetulan" lewat Bahasa Melayu terlebih dahulu.
"Kebetulan saya dan suami mengajar di Malaysia sebagai relawan Peace Corps dari tahun 1968-1970," kata sosok yang bernama Patricia Henry tersebut.
Peace Corps adalah program sukarelawan yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat. Patricia dan suami kala itu bertugas mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar di Kampung Sungai Penchala, pinggiran Kuala Lumpur.
Sekembalinya dari Malaysia, pintu bagi Patricia terbuka lebar. Pemerintah Amerika Serikat gencar memberikan beasiswa kepada warganya untuk mendalami bahasa dan kebudayaan negara-negara asing - negara-negara yang mempunyai peran strategis bagi AS.
Sesudah Perang Dunia II, fokus AS ditujukan ke Asia antara lain berkaitan dengan isu komunisme, Perang Vietnam dan China.
Dengan beasiswa National Defense Foreign Language Fellowship, dia kuliah S2 jurusan bahasa dan sastra Asia Tenggara di Fakultas Linguistik, Universitas Michigan dari dari 1970 sampai 1973. Di lembaga itulah dia resmi mempelajari Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata kuliahnya.
"Waktu itu kebetulan saya sudah hampir bisa berbicara agak lancar. Belum bisa membaca ya. Jadi saya seperti buta huruf saja. Harus belajar semua; meng-, di-, -kan dan -i," tuturnya seraya tertawa. Sambil kuliah, ia juga menjadi asisten dosen.
Di Universitas yang sama, Patricia melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 di bidang Linguistik/Bahasa dan Sastra Asia Tenggara.
Secara "kebetulan" lagi, Patricia mendapat kesempatan menjadi dosen Bahasa Indonesia di Northern Illinois University pada tahun 1979. Padahal disertasinya tentang terjemahan anotasi dari sebagian Sastra Jawa Kuno, kakawin Arjuna Wiwaha, belum selesai.
"Itu sungguh kebetulan karena dosen Bahasa Indonesia yang dulu, sayang sekali, meninggal secara tiba-tiba. Jadi mereka harus secepat mungkin mendapat gantinya. Dan itulah saya," katanya.
Dua tahun kemudian dia menjadi dosen tetap di perguruan tinggi yang berkedudukan di Kota DeKalb.
Untuk tingkat Bahasa Indonesia pemula, dia mengajar antara 15 hingga 20 mahasiswa dalam satu kelas.
Dia merasa beruntung lagi, pasalnya ia dikirim ke IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang). Di sana Patricia mengajar mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia dalam program Ford Foundation, English Language Teacher Training Program dari tahun 1974 hingga 1976.
Selama kurun waktu itu, dia mendalami bahasa, kebudayaan dan masyarakat Indonesia secara langsung. Lebih dari itu, dia sempat sempat belajar Bahasa Jawa Kuno dan kerap menonton pertunjukan wayang kulit.
Di kota tersebut, dia juga melahirkan putrinya. "Arek Malang dia. Kala itu banyak orang gembira, datang ke rumah untuk membantu. Saya tidak kesepian."
Ketertarikan pada Indonesia, tetap ditunjukkan Patricia, meskipun sudah pensiun di Kota Chicago. Di usianya yang kini 77 tahun, dia aktif membantu Yayasan Lontar untuk menerjemahkan sejumlah karya sastra secara gratis.
Di masa pensiun, ia mendapat beberapa kesempatan untuk kembali menginjakkan kaki di Indonesia, termasuk menjadi pemantau pemilu tahun 1999 di Bengkulu dan pemantau pemilu 2004 di Pekanbaru. Kunjungan terakhir terjadi pada 2010 sesudah membantu mengurus kunjungan mahasiswa di Malaysia.
"Kalau tinggal di Indonesia, yang paling enak itu ada orang yang selalu bisa membantu dan selalu ramah, walau menurut orang lain, kadang hanya basa-basi," pungkasnya.
Greg Fealy: 'Orang bule ini kenapa masuk pesantren ini, masuk pesantren itu?'
Dia dimintai penilaiannya terkait pemilihan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden. Pendiri PKB dan ketua umum Nahdlatul Ulama (NU) tersebut dipilih oleh MPR sebagai presiden, bukan Megawati Soekarnoputri kendati PDI-P menang pemilu.
Sosok itu dianggap sebagai nara sumber yang tepat karena penelitiannya yang luas di lingkungan ormas Islam terbesar di Indonesia.
Dalam wawancara kali ini pun, profesor politik dari Australian National University, Canberra, Australia tersebut antusias menceritakan kenangannya.
"Saya mulai penelitian saya dengan NU. Setiap kali saya kembali ke kalangan NU saya merasa sangat betah dalam suasana itu. Orang menerima dengan baik, sangat kepingin tahu tentang situasi di Australia atau ingin tahu pendapat saya tentang isu-isu di Indonesia atau di dalam NU," katanya.
Di antara deretan buku karyanya terdapat Itjihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967 dan Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia.
Perkenalan langsung Greg Fealy dengan Indonesia terjada pada tahun 1988 ketika mengikuti rombongan LSM Australia dalam rangka pemberian bantuan luar negeri. Dia tinggal di Indonesia selama satu bulan.
Dia kemudian mengambil kursus Bahasa Indonesia di Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Ketika mulai melakukan penelitian politik Islam untuk jenjang S3 pada tahun 1991, dia tinggal di Indonesia selama lebih dari satu tahun.
"Semakin banyak kontak dengan Indonesia, semakin banyak keinginan saya untuk menjadi ahli di bidang ini. Dan walaupun sudah lebih dari 30 tahun, saya masih menganggap pengetahuan saya kurang. Saya masih berusaha belajar dan memahami Indonesia, Islam di Indonesia yang begitu kompleks dan sebagainya," ujar Profesor Fealy dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar.
Apa yang menjadi daya dorong mempelajari Indonesia?
Secara historis Australia dekat dengan Inggris dan Barat, tapi secara ketemporer tidak dekat dengan negara-negara di Asia walaupun secara geografis dekat, kata dia. Fakta ini, disebutnya sebagai "kejanggalan sejarah".
"Pada waktu itu saya ingin memperdalam pengetahuan saya tentang Indonesia karena saya menganggap, masa depan untuk Australia adalah punya hubungan yang lebih erat dengan Indonesia. Jadi pada waktu itu, pada akhir tahun 80-an, cukup banyak mahasiswa Australia yang sangat tertarik dengan Indonesia dengan wawasan seperti itu," Profesor Fealy menjelaskan.
Adapun minat risetnya tak hanya mencakup politik Indonesia dan sejarah politik Islam tapi turut bergeser sesuai dengan perkembangan zaman, yakni demokratisasi dan ideologi serta strategi jihad.
Profesor Fealy menceritakan, persyaratan dan proses untuk mendapatkan visa penelitian di zaman Orde Baru amat sulit dan rumit. Di samping itu, studi lapangan juga diawasi oleh aparat keamanan dan pemerintah di segala lini.
"Kalau penelitian, saya sering ke pesantren, misalnya di Jawa Timur, di Jawa Tengah. Sering sekali ada laporan yang diberikan kepada pak camat atau pak bupati. Kemudian akan ditanya, 'orang bule ini kenapa masuk pesantren ini, masuk pesantren itu?'," tuturnya.
Sebelum pandemi Covid, dia sering berkunjung kembali ke Indonesia dan mengaku tak mengalami kendala mengurus perizinan. Di sepanjang kariernya, Profesor Fealy sempat banting setir untuk menjadi ASN pemerintah Australia (1997-1999) dan melakukan kunjungan resmi ke Jakarta dalam kapasitasnya itu.
Namun dia kembali menjadi akademisi Universitas Nasional Australia dan sekarang sebagai profesor emeritus. Pandangannya terhadap pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua bahwa kualitas demokrasi mengalami kemerosotan menimbulkan kegerahan di kalangan para penyokong presiden. Mereka pun membantah mentah-mentah tulisan Profesor Greg Fealy pada 2020 itu.
Mantan dosen senior kajian Asia Tenggara di Flinders University, Adelaide, Australia, Dr Priyambudi Sulistiyanto, berpendapat peran Indonesianis masih relavan hingga dewasa ini. Tapi peran itu berkurang seiring dengan transformasi Indonesia.
"Kajian Indonesia atau Indonesianis sendiri pelan-pelan mulai tumbang atau menurun karena mungkin juga Indonesia sudah berubah. Dulu zaman otoritarian, zaman Suharto menarik. Eksotik didiskusikan, ditulis," katanya.
Adapun demokrasi transisi di era Reformasi sesudah rezim Suharto tumbang, menurutnya, dianggap menarik tapi hanya pada tahap awal.
"Itu juga yang mengurangi keinginan generasi muda di luar negeri untuk mengkaji Indonesia seperti kakak-kakak mereka di era Sukarno atau Suharto," jelas ahli kajian politik Asia Tenggara tersebut.
Di samping itu, dia juga menyoroti Indonesianis baru mempunyai kekurangan dari sisi humanisme dan solidaritas.
"Generasi belakangan Indonesianis itu sangat career-oriented karena memang tuntutan universitas begitu sekarang. Harus publikasi, cari dana riset, jadi sangat kurang rasa aktivisme, solidaritasnya," pungkasnya. (*)
Tags : HUT RI ke-77, Kiprah Indonesianis Meneliti Indonesia, Antropologi,