"Puluhan ribu kilogram pohon bakau telah dibakar menjadi arang di wilayah hutan mangrove terbesar di Kabupaten Lingga yang tengah berupaya menjadi pusat mangrove dunia"
ktivitas tungku arang di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepuluan Riau [Kepri] ini diperkirakan telah ada sebelum 1945 itu akan 'menghilangkan' hutan yang menjadi rumah bagi spesies langka. Hutan dan hewan-hewan yang berada di dalamnya terancam punah dalam puluhan tahun mendatang, jika tidak ada intervensi dari pemerintah, kata beberapa aktivis lingkungan.
Bisnis kayu bakau yang diolah menjadi kayu arang sebagai bahan bakar untuk ekspor maupun lokal masih terus beroperasi oleh koperasi usaha dan bergejolak dalam aktivitas pengelolaan kayu arang sehari-harinya.
“Didaerah kita ini saja ada lebih dari 5 lokasi panglong produksi dapur arang, belum lagi yang di Daik, sungai Pinang, Lingga Utara bahkan sampai Senayang dan Pulau-pulau lainnya,” kata salah seorang Aktifis Muda Kecamatan Singkep dalam pantauannya belakangan ini.
"Tetapi dilokasi ada 10 titik wilayah di Kabupaten Lingga tempat pengolahan kayu bakau yang di jadikan arang."
Aktivis Muda menaruh prihatin karena pemanfaatan hutan bakau untuk produksi arang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi itu sepertinya tidak mengacu pada aturan.
"Hutan bakau alami yang memang hampir memenuhi seluruh wilayah kepulauan di Kabupaten Lingga, pelan-pelan mulai menyusut. Dikhawatirkan suatu hari nanti tidak ada lagi hutan mangrove di kabupaten termuda [Daik Lingga] yang dikenal dengan julukan 'Bunda Tanah Melayu' ini," katanya.
“Hutan mangrove itu adalah habitat alami untuk berkembang biaknya berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan menjadi sumber makanan bagi habitat dikawasan pantai dan lautan. Jika tidak ada bakau, maka rusaklah ekosistem diwilayah tersebut.” ungkapnya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kabupaten Lingga, Junaidi Adjam, mengaku sangat prihatin dengan kondisi hutan bakau di Lingga saat ini.
Foto udara hutan mangrove yang rusak akibat penebangan untuk tungku arang.
Pihaknya (BLH-red) sudah melakukan pengecekkan secara menyeluruh terkait aktifitas panglong dapur arang diseluruh Kabupaten Lingga.
“Saya sudah cek kelapangan, saat ini setidaknya ada 27 atau 28 panglong arang yang menebang hutan bakau di Lingga. Ini sangat banyak, berapa hektar hutan bakau di Lingga dibabat setiap hari. Kita khawatirkan tidak ada lagi bakau di Lingga.” katanya.
Junaidi mengaku, Pemkab memiliki kewenangan yang terbatas, "sebab kewenangan penanganan perizinan panglong arang dan penebangan kawasan hutan bakau ini ada pada pihak Provinsi Kepri," sebutnya.
“Kita sifatnya hanya memberikan laporan saja, sudah kita data, kalau legalitas yang saya tahu, mereka ini masuk kedalam koperasi mangrove yang dikelola Kementerian," sambungnya.
Tetapi fakta dilapangan, mereka tidak mengantongi dokumen UKL/RPL untuk usaha kelestarian lingkungan dan rencana pengendalian lingkungan, jelas Junaidi.
Menurutnya, keharusan penanaman kembali atau pelestarian mangrove dilokasi pasca penebangan hutan bakau ini tidak dilakukan, "kita sudah laporkan ke Bupati Lingga, dan juga pihak Provinsi untuk ditertibkan," ungkapnya.
Pihak BLH juga merasa khawatir dengan rusak dan punahnya hutan bakau di Kabupaten Lingga, akibat penebangan dan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya Lingga yang satu ini.
"Seharusnya, pihak pengusaha dapur arang juga turut menjaga kelestarian hutan bakau dengan menanam kembali lokasi yang sudah ditebang sesuai aturannya. Tapi selama ini tidak dijalani, dari puluhan bahkan ratusan hektar hutan bakau sudah ditebang,” tambahnya.
'Aktivitas arang mayoritas diekspor'
Aktivitas arang yang mayoritas disebut diekspor ke China, Korea Selatan, Jepang, dan Eropa itu menimbulkan laju deforestasi sekitar 486 hektare per tahun dalam belasan tahun terakhir, dengan total kerusakan mencapai lebih dari 7.000 hektare.
Padahal, setiap hektare ekosistem karbon biru seperti mangrove, disebut memiliki nilai ekonomi lebih dari Rp1,35 miliar (US$90.000) - atas jasanya kepada lingkungan, industri hingga ekowisata.
Hutan mangrove seperti di Kabupaten Lingga adalah yang terluas dan menyimpan potensi dari perdagangan karbon. Namun, dalam 20 tahun terakhir, sudah ribuan hektare mangrove hilang setiap tahunnya.
Hasil pantauan riaupagi.com di Pulau Senayang belum lama ini misalnya terlihat kehidupan masyarakat tungku arang yang mengaku berada di persimpangan dilema antara lingkungan, 'kebutuhan perut dan minimnya lapangan pekerjaan'.
Barisan tungku arang yang 'membara' sejak Daik Lingga belum dibentuk menjadi Kabupaten.
Pulau Senayang masih masuk wilayah Kabupaten Lingga, untuk menuju desa ini, satu-satunya alat transportasi adalah kapal.
Di sepanjang perjalanan menyusuri laut yang dulu pernah menjadi salah satu pusat pintu keluar bongkahan kayu dari pedalaman hutan, pohon-pohon nipah menjadi pagar pembatas antara daratan dan perairan.
Satu jam terlewati, hamparan pohon mangrove di Pulau Senayang.
Barisan tungku arang dari tanah liat di antara rumah penduduk dan bau asap pembakaran yang menyengat hidung menemani perjalanan menuju rumah seorang pemilik tungku arang.
Beberapa orang terlihat tengah memasukkan arang ke dalam karung, dan yang lain melempar kayu ke perapian untuk menjaga api tungku tetap membara.
Ribuan batang mangrove tampak tersusun di perusahaan Dapur Arang di wilayah Desa Mamut, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (Kepri).
Hal itu ditemukan langsung oleh Aparat Pemerintah Desa Mamut, saat melihat rusaknya mangrove yang ada wilayah itu.
Kepala Desa (Kades) Mamut, Marjono menilai instansi terkait diduga terkesan tutup mata.
Sehingga mengakibatkan sejumlah pengusaha panglong atau dapur arang beroperasi dengan leluasa.
Dia mengungkapkan, kayu bakau yang gundul tersebut berasal dari hutan lindung.
“Kami dari pihak Desa sangat menyesalkan kinerja pihak perusahaan dan koperasi yang terkesan tidak pernah koordinasi dengan pihak desa, terbukti pengusaha dapur arang yang sudah jelas merusak hutan negara secara bebas di wilayah kabupaten Lingga,” ujar Marjono kepada wartawan.
Menurutnya, pemilik dapur arang di Desa Mamut berlokasi di Pulau Petai itu bukan hanya merusak hutan lindung.
Bahkan lanjutnya, pihak pengusaha Dapur Arang tersebut telah merugikan pihak desa , karena hasil olahan bahan baku arang bakau di ekspor ke beberapa negara tentangga pihak desa tidak pernah mengetahuinya.
“Mereka pun kerja tidak pernah melapor ke RT terdekat setiap anggota yang masuk kerja ke lokasi dapur arang tersebut, apa lagi disaat bongkar arang untuk di ekspor.
Kami pihak desa tidak pernah tau berapa jumlah nakhoda yang berada di kapal, berapa ton yang dimuat arang dalam kapal, seandainya ada sesuatu hal pasti larinye ke desa, sementara pihak desa tak pernah tau kinerja mereka seperti apa,” ungkap Marjono terlihat kecewa.
Di pinggir sungai yang mengering, puluhan batang kayu bakau tergeletak berantakan di antara deretan rumah panggung warga.
Sampai saat ini, lanjut Marjono dari pihak desa tidak pernah melihat selembar surat pun dari pihak pengusaha.
Menurutnya, pihak desa wajib memegang arsip.
"Bila mana suatu hari kami pihak desa bisa menjelaskan apa bila ada pertanyaan dari pihak manapun," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dusun II Desa Mamut, Iwan yang ikut merasa sangat kecewa dengan keberadaan usaha dapur arang di desanya itu.
Dia menilai, pihak perusahaan tidak lagi menghargai pihak desa, dengan membabat bahan baku kayu bakau di lahan hutan bakau wilayah Desa Mamut.
"Semua lokasi yang kami telusuri hampir punah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Bahkan mereka membabatnya tidak pilih ukuran seperti yang kami lihat di lokasi,” ungkap Iwan.
Iwan menyebutkan, pemilik Panglong (Dapur Arang) di Desa Mamut, Kecamatan Senayang adalah milik Koperasi Mangrove Lestari Lingga, Badan Hukum : 10/BH/V. 6/IX/IX/518/2009 tanggal 7September 2009 Atas Nama Bakar, No. Anggota : 001-A-09-MLL. SK.IUIPHHK : 333/KPTS/VI/2012, tanggal : 26 juni 2012 .Lokasi Pulau Petai-Desa Mamut, Kecamatan Senayang.
Dari hasil penelusurannya di lapangan, pihak Desa sudah menyurati pihak Pengusaha/Pemilik Panglong/Arang, untuk dapat hadir untuk berdiskusi terkait hal ini.
Peneliti khawatirkan mangrove
Menurut penelitian proyek Governor Climate and Forest Task Force (GCF TF) Window B Project yang melakukan kerjasama dengan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) dan tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor mengkhawatirkan tumbuhan mangrove.
Arang mangrove kini menjadi penghidupan utama masyarakat di pesisir, yang disebut warga lokal sebagai petani arang.
Penelitian itu mencatat, aktivitas arang telah berlangsung sejak tahun 1909, sebelum Indonesia merdeka. Jejak usaha arang juga telah tercatat sejak 1949 dengan keluarnya izin produksi arang mangrove.
Di masyarakat, ada beragam cerita tentang asal muasal tungku arang. Dimana orang-orang terdahulu mengkisahkan belajar dari orang China cara pembakaran arang, mereka datang lewat jalur rempah.
Tetapi kembali seperti disebutkan Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kabupaten Lingga, Junaidi Adjam mengatakan, usaha arang tidak menjadi pilihan utama masyarakat pada awalnya.
Junaidi Adjam menyebut, keberadaan Lingga yang dikelilingi laut menyebabkan banyak warga pesisir memilih bekerja di industri kayu pada era 1980-an.
"Namun kenikmatan itu mengalami kejatuhan pada awal 2000-an."
"Masyarakat eks buruh itu hanya memiliki keahlian menebang dan mengelola kayu. Mereka tidak punya pilihan lain hingga akhirnya banyak beralih profesi menjadi penebang kayu mangrove untuk arang hingga saat ini," katanya.
Beberapa pekerja memotong kayu bakau di depan tungku arang.
'Rumah' spesies langka dan terancam punah
Di balik aktivitas tungku arang itu, hutan mangrove di Kabupaten Lingga memiliki luas12.195,0 ha yang tersebar di 5 kecamatan [Lingga, Lingga Utara, Senayang, Singkep, Singkep Barat]. Sebaran hutan mangrove dari hasil analisis citra dapat diketahui sebaran mangrove di wilayah Kabupaten Lingga menurut laporan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Lingga tahun 2011.
Hutan mangrove terluas dan terlengkap di Lingga disebut berada di Senayang.
Di tengah keanekaragaman itu, terdapat satu spesies mangrove langka dan terancam punah (critically endangered), seperti jenis Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus granatum, Avicennia officinalis, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Acrostichum aureum, Scyphiphora hydraphyllacea, Excoecaria agallocha, Sonneratia caseolaris, Rhizophora stylosa, Avicennia eucalyptifolia, Avicennia marina dan Nypa fruticans.
Selain itu, hutan mangrove itu juga menjadi habitat bagi fauna langka, seperti bekantan yang statusnya kini terancam punah (endangered) dalam daftar merah IUCN, pesut air payau.
Di antara 'tebang pilih' dan kerusakan hutan mangrove
Berjarak 20 meter dari depan rumah panggungnya, pemilik tungku arang, Acai, salah satu pengusaha dapur arang di Desa Kerandin Kecamatan Lingga Timur, Kabupaten Linggamengajak untuk melihat tungku arang miliknya yang dapat "berapi" selama tujuh kali dalam setahun.
Dia bercerita, untuk menghasilkan tiga ton arang dibutuhkan sekitar 12 ton kayu (sembilan ton untuk arang dan tiga ton sebagai bahan bakar) dengan proses 40 hari.
Setiap bongkah kayu bakau yang dibakar, acai mengaku membeli dari para penebang Rp450.000 per kapal yang memuat sekitar dua ton kayu.
Dia juga mengupah beberapa pekerja lain untuk menyusun kayu dalam tungku, menjaga proses pembakaran hingga pengemasan dalam karung.
"Kalau hasil arangnya di bawah tiga ton, kami pasti tekor. Tungku ini rugi Rp1 juta," ujar Acai yang menyebut satu tungku arang mampu menyerap sekitar 20 pekerja lokal.
Berapa wilayah di kabupaten Lingga, tepatnya di Desa Kerandin Kecamatan Lingga Timur, Kabupaten Lingga, terdapat sebuah lokasi panglong/dapur atau tempat membakar kayu bakau [Mangrove].
Pengolahan arang bisanya digunakan untuk bahan bakar ini butuh proses yang cukup lama, tetapi tidak semua kayu yang bisa di jadikan arang. Karena pembuatan arang tersebut harus menggunakan kayu khusus, yaitu kayu mangrove [kayu bakau].
Pohon bakau yang ditebang untuk dijadikan arang.
Usaha pembakaran kayu bakau /mangrove disebutkan memperoleh manfaat dengan tersedianya peluang mata pencaharian bagi masyarakat sekitar.
Acai mengaku membeli kayu kayu magrove dari masyarakat dengan menggunakan izin koperasi
“Bahan baku kayu bakau, saya beli dari masyarakat sekitar, karena menurut masyarakat, pohon tersebut tumbuh di areal tanah milik mereka,” kata Acai diberanda rumahnya.
"Saya beli dengan harga Rp120.000 setiap ton, untuk memenuhi pengolahan dapur pembakaran kayu bakau sebelum menjadi arang. Semula ada ada enam, tapi yang aktif tinggal empat dapur saja,” jelasnya.
“Setiap kali pembakaran, dibutuhkan pohon bakau sebanyak seratus Ton per satu dapur,” tambah Acai.
Dia mengakui haya memiliki izin yang bernaung dibawah bendera sebuah koperasi Serba Usaha.
Ketika ditanya, apakah di sepanjang pulau jalan menuju ke Desa Kerandin Anda melihat hutan mangrove yang rusak? Itu karena, jawabnya, setiap penebang tidak menerapkan kearifan lokal, yaitu tebang pilih (selective cutting).
Tetapi sepengetahuan Acai, pohon mangrove yang ditebang, katanya, hanyalah berjenis Rhizophora apiculate yang berdiameter 15-30 sentimeter, dan berjarak 20 meter masuk ke dalam hutan dari pinggir laut.
"Tungku arang ini sudah lama saya dirikan. Kalau hutan habis [karena arang] pasti sudah habis sekarang, tapi ini masih ada. Hutan yang ditebang sejak tahun 2010, sekarang sudah tumbuh dan besar-besar," kata dia balik menjawab.
Menurutnya, mangrove akan hidup secara alami tanpa bantuan manusia jika diambil secara tebang pilih, bukan dengan pembersihan lahan (land clearing) seperti yang dilakukan perusahaan.
"Kalau ada program penanaman dari pemerintah itu sebenarnya hanya menghabiskan uang negara saja, karena bakau dapat tumbuh secara alami dengan proses dari alam," katanya.
Untuk melihat klaim tebang pilih itu, hasil oantauan dilapangan terlihat aktivitas beberapa warga lokal yang sedang menebang kayu bakau di tengah hutan mangrove.
Sepanjang Desa Kerandin saat disusuri menuju area hutan mangrove dan di sepanjang pinggir laut Senayang, pohon nipah dan mangrove tidak terlihat ada bekas-bekas area penebangan.
Saat menjelajah lebih dalam ke hutan, terdengar suara gergaji mesin (chainsaw).
Beberapa perahu berisi potongan kayu bakau yang tengah bersandar dan beberapa pekerja sedang menebang.
Di tengah hutan mangrove itu, terlihat puluhan hingga ratusan pohon bakau yang telah ditebang menyisakan akar-akar yang perlahan membusuk.
"Kalau di sini pohonnya sudah tidak ada yang sesuai kriteria, maka kami pindah. Pohon-pohon mangrove yang besar-besar ini tidak kami potong, hanya yang sedang-sedang saja," kata seorang penebang yang menolak disebutkan namanya karena dia beroperasi di area hutan bakau.
Di tengah aktivitasnya, pekerja itu mengaku ingin berhenti dari pekerjaannya, namun dia tidak bisa.
"Ada [penebang] yang meninggal karena tertimpa kayu dan terluka karena chainsaw, belum lagi kalau ditangkap aparat. Resikonya besar sekali, tapi anak-anak saya butuh makan, apa boleh buat," ujarnya.
Selain itu, dia juga menyadari apa yang dilakukan merupakan tindakan ilegal karena mengambil kayu dari hutan.
Ancaman 'hilangnya' hutan mangrove di masa depan
Apa yang diungkap masyarakat itu berbeda dengan hasil Penelitian Window B Project yang menyebut hutan mangrove di Lingga berpotensi akan habis dalam puluhan tahun ke depan akibat aktivitas tungku arang, jika tidak ada intervensi dari pemerintah.
Laju deforestasi hutan mangrove di Lingga kembali menurun menjadi 53.157 hektare di mana sekitar 13,72 juta kilogram (13.720 ton) arang dari kayu bakau dihasilkan pada tahun 2022.
Untuk menghasilkan satu ton arang dibutuhkan empat ton kayu bakau. Artinya, dari total produksi arang tahun lalu itu maka terdapat lebih dari 54,8 juta kilogram (kg) pohon bakau yang ditebang.
Berdasarkan hasil perhitungan ekologi penelitian itu, laju ekstraksi mangrove - mencapai sekitar 1,4 ton per hektare per tahun - lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan yang hanya sebesar 0,9 ton per hektare per tahun di mana membutuhkan waktu 15 tahun untuk pulih.
Ketua tim penelitian arang bakau Window B Project dari IPB, M. Arsyad Al Amin, mengatakan, terdapat beberapa skenario hutan mangrove berpotensi hilang akibat aktivitas tungku arang.
Skenario pertama adalah dengan kondisi tungku saat ini 490 unit dan jumlah produksi arang bakau sebesar 13.720 ton per tahun.
"Dengan kondisi existing produksi dan mangrove tumbuh alami, maka hutan mangrove akan habis dalam waktu 74 tahun mendatang, yaitu tahun 2096," kata Arsyad mengutip hasil kajian yang telah dipaparkan dalam Rapat Pokja REDD+ Kalbar Februari 2023 lalu.
Skenario kedua adalah terjadi penambahan lima tungku setiap tahun sehingga pada tahun 2084 menjadi 800 unit, namun jumlah produksi masing-masing tungku tetap.
"Maka kemampuan hutan mangrove untuk menyediakan bahan baku hanya akan bertahan selama 62 tahun," tambah Arsyad.
Skenario selanjutnya adalah peningkatan produksi satu ton per tungku setiap 10 tahun, dari rata-rata empat ton pada tahun 2022 menjadi tujuh ton pada tahun 2064, "Ini akan lebih cepat lagi habis hutan mangrove, hanya akan bertahan 42 tahun," kata Arsyad.
Skenario terburuk adalah kombinasi penambahan tungku dan peningkatan produksi, "Maka hutan mangrove habis dalam 34 tahun, yaitu tahun 2056," ujar Arsyad.
"Lalu apabila asumsi kebutuhan kayu untuk produksi arang setiap tahunnya tetap dan di angka 38.400 ton kayu per tahun. Maka, kayu jenis R. apiculata ini diperkirakan habis pada 28 tahun ke depan," tambahnya.
"Jadi, apabila tidak dilakukan upaya percepatan dengan rehabilitasi dan intervensi maka akan berbahaya. Jadi perlu ada intervensi dengan kondisi sekarang," kata Arsyad.
Berangkat dari temuan itu, Arsyad mengatakan, perlu dilakukan upaya mencari mata pencaharian alternatif bagi masyarakat agar mereka tidak lagi menjadikan arang mangrove sebagai satu-satunya gantungan hidup.
"Pengembangan seperti arang batok kelapa, budidaya kepiting bakau, madu mangrove, virgin coconut oil (VCO), budidaya ikan tirus dan kakap putih, dan lainnya, yang disertai dengan pelatihan, pembukaan pasar, pendampingan teknis, manajemen, dan pasar," kata Arsyad.
Kemudian, jika belum terciptanya mata pencaharian alternatif, tambah Arsyad, maka perlu dilakukan pembatasan produksi arang dengan sistem kuota dan kontrol harga sehingga ekstraksi mangrove dapat dibatasi.
"Lalu dilakukan legalisasi izin usaha sehingga menjadi instrumen kontrol di mana arang mangrove menjadi komoditas eksklusif, bukan komoditas bebas," katanya.
"Mana ada orang naik haji karena arang?"
Di balik potensi ancaman hilangnya hutan mangrove itu, Nurhadi yang telah menekuni pekerjaan arang sejak kecil mengatakan, hasil dari tungku ternyata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bahkan katanya, terdapat beberapa pemilik arang terlilit utang karena gagal panen arang.
Dia menjelaskan, biaya produksi tungku tiga ton arang mencapai Rp10,6 juta, sementara penjualan maksimal hanya sekitar Rp13-14 juta, dalam waktu 40 hari produksi.
"Usaha tungku arang ini tidak bisa memperkaya diri. Mana ada orang naik haji karena arang, tidak ada. Kami hanya untuk makan sehari-hari dan bertahan hidup. Kami ini tidak punya pilihan," kata Nurhadi.
Nurhadi mengatakan, petani arang berada di persimpangan dilema antara kebutuhan perut sehari-hari dan minimnya lapangan kerja.
Dia bercerita, pernah ada pejabat daerah yang bertanya ke dirinya, "Apakah siap untuk berhenti dari usaha arang?"
Nurhadi menjawab, "Kalau ada lahan tani, atau lapangan pekerjaan lain, besok lusa saya siap berhenti tebang bakau. Untuk apa tebang bakau, tidak ada untung, habis buat makan saja," katanya.
Menurut penelitian Window B Project, biaya produksi arang kayu mencapai Rp2.860,25 per kg.
Jika harga jual arang kayu rata-rata Rp3.200 per kg maka keuntungannya hanyalah Rp339,75 per kg.
"Berdasarkan analisis ekonomi kami, bisnis ini sebenarnya sangat memprihatinkan buat masyarakat secara ekonomi karena nilai manfaatnya sangat kecil," ujar Arsyad dari IPB.
Rumah tungku pembakaran kayu arang.
Siapa yang diuntungkan?
Kembali disebutkan Arsyad yang merupakan ahli manajemen pesisir itu menambahkan, pihak yang paling diuntungkan ada di level distribusi, yaitu tengkulak dan eksportir yang menjual dengan harga tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara, Arsyad menemukan bahwa arang itu mayoritas diekspor ke Jepang, China, Korea Selatan, Hong Kong, hingga Eropa.
Sayangnya, katanya, saat ditelusuri lebih lanjut timnya tidak dapat 'menembus' jalur distribusi ekspor arang bakau itu, ujar Arsyad.
Direktur Yayasan Hutan Biru (YHB), Rio Ahmad mengatakan, arang bakau tidak ditemukan dalam komoditi ekspor karena diduga digabungkan dengan kelompok produk arang lain.
"Ini bahaya karena ketika pemanfaatnya belum ada izin legal dan pemasarannya dihilangkan asal usul, jadi ada bias kontrol dan potensi penyelewengan di situ," ujar Rio.
Lanskap Manajer Yayasan IDH, Lorens, mengatakan ketidakjelasan aturan tersebut membuat pendapatan negara dari arang mangrove menjadi 'abu-abu'.
"Jadi kalau dalam nomenklatur perdagangannya, arang bukan dianggap produk hutan. Penerimaan negara terhadap ini [arang bakau] menjadi tidak ada," kata Lorens.
Untuk itu Lorens mengatakan, harus ada penertiban dan penataan rantai pasok arang bakau, "Seperti siapa yang berwenang, masuk dalam komoditas hutan atau non-hutan, dan bagaimana mekanisme perdagangannya," tambah Lorens.
'Pendidikan rendah, generasi terperangkap'
Seorang pekerja arang, Rahmat terlihat tengah mengayunkan gergaji mesin untuk membersihkan ranting-ranting kayu bakau yang menumpuk di depan tungku milik Nurhadi.
Pria berusia 22 tahun yang menyelesaikan pendidikan terakhirnya di sekolah dasar (SD) itu mengaku telah bekerja di tungku arang selama lima tahun.
"Tidak ada kerja lain selain arang bakau ini. Pendidikan saya juga tidak tinggi, jadi hanya kerja ini yang saya mampu, seperti terperangkap lah di sini, mau bagaimana lagi," keluh Rahmat yang berpenghasilan sekitar Rp1,3 juta per bulan dari arang.
Senada dengan yang diungkapkan Nurhadi dan penebang lain yang kami temui, Rahmat berharap ada lapangan pekerjaan lain di desanya sehingga bisa beralih dari tungku arang yang dia sebut memiliki risiko kecelakaan kerja tinggi dan melanggar hukum karena mengambil kayu dari hutan lindung.
Rio Ahmad dari Yayasan Hutan Biru melihat, tungku arang merupakan tumpuan hidup paling mudah bagi masyarakat dan wilayah pesisir lain karena "mereka dapat langsung pekerjaan cepat, murah, dan tanpa modal sama sekali" di tengah tingkat pendidikan dan kemampuan yang terbatas.
Di sisi lain, terdapat juga petani arang yang kini mengaku bertobat. Suheri, 39 tahun, berhenti dari aktivitas itu sekitar 10 tahun lalu.
Suheri mengatakan, dia kini fokus menggali potensi hasil hutan non-kayu, seperti madu.
Hanya menggunakan pelindung muka dan tongkat asap, dia memanjat pohon yang disambut dengan sengatan lebah yang beterbangan.
"Resiko ambil madu itu banyak, seperti lumpur, binatang-binatang berbisa ular, buaya. Resiko kecil paling ya disengat lebah itu," katanya.
Namun, penghasilan tersebut kata Suheri tidak bisa menjadi 'pegangan hidup' karena musim panen yang tak tentu.
Suheri juga pernah mencoba untuk mengembangkan usaha kepiting bakau Batu Ampar dengan rekan petani arang lain, namun usaha itu harus gulung tikar karena dihantam pandemi Covid-19.
Walau menghadapi beragam kendala, Suheri mengaku tetap menjauh dari tungku arang.
"Kalau saya mau mengajak orang berubah, saya harus terbukti berhasil sehingga bisa memotivasi petani arang yang lain," katanya.
Petani arang 'hidup dalam kesendirian'
Di tengah upayanya mengembangkan potensi non-kayu hutan mangrove, Suheri mengaku tidak ada sentuhan dari pemerintah merangkul petani arang.
Padahal, katanya, terdapat hampir 200 orang masyarakat di Daik Linga yang mengantungkan hidup kepada tungku arang di tengah minimnya lapangan pekerjaan.
Dia mengatakan, para petani arang yang dia sebut bekerja 'untuk sekedar cari makan' hidup dalam kesendirian, tanpa ada perhatian dari pemerintah.
"Kalau pemerintah sudah sempat sosialisasi, mungkin ke pemerintah atau petinggi desa, tapi tidak sampai ke masyarakat dan petani-petani arang," katanya.
Hal senada juga diungkapkan Zainudin, 49 tahun, mantan pekerja arang yang kini menjadi nelayan pembubuh kepiting.
"Kerja seharian dapat maksimal dua kilo, dan harganya jauh menurun. Buat bahan bakar saja sudah setengahnya, belum lagi umpan dan lain. Jadi buat makan saja hasilnya kurang," katanya.
Zainudin pun berharap agar pemerintah mengembangkan potensi kepiting yang menjadi keunggulan desanya, seperti bantuan pemodalan, kontrol harga, hingga akses pemasaran yang mudah.
Sejak Februari 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan hak kelola hutan di mana adalah area mangrove.
Namun hingga kini, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Batu Ampar, Hermansyah mengatakan, kekayaan hutan non-kayu masih minim memberikan manfaat ke masyarakat.
"Dampak ekonomi dari hutan desa belum begitu signifikan karena masih banyak kendala di lapangan, seperti budidaya perlu pelatihan, pemodalan, dan pemasaran yang baik," kata Hermansyah.
Pemkab Lingga, 'kami terus berupaya'
Terkait keluhan masyarakat tersebut, seperti disebutkan Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kabupaten Lingga, Junaidi Adjam mengatakan, pemerintah daerah telah dan terus menginkubasi usaha-usaha mikro masyarakat Daik Lingga.
Junaidi Adjam mengatakan, upaya-upaya yang dilakukan, berupa pengelolaan madu, gula aren, dan produk lain, serta budidaya perikanan seperti ikan [sumber daya alam laut].
"Memang belum tampak keberhasilan karena kami yakin isu keberlanjutan itu proses panjang, mengubah mindset masyarakat dan kami perlu melakukan terus walau masih trial and error."
"Tapi, saya yakin dalam jangka panjang inkubasi ini akan lebih menciptakan komoditas-komoditas baru, atau mengintensifkan sumber daya lokal," kata Junaidi Adjam.
Di sisi lain, Junaidi Adjam juga mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa langsung melarang berhentinya aktivitas arang karena ada area hutan mangrove yang boleh dimanfaatkan.
"Selain itu, kami juga memperhatikan dari sisi turun-temurun. Jadi tidak bisa langsung diberhentikan, tapi dengan upaya mencari alternatif mata pencaharian baru," katanya.
Permasalahan petani arang adalah mengambil bahan baku di area yang dilarang, seperti hutan lindung.
Terkait permasalahan itu, Junaidi Adjam mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan KLHK untuk mencarikan solusi.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2021, total luas mangrove Indonesia saat ini sebesar 3.364.076 hektare.
Tanam mangrove untuk lindungi pantai
Luasan itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia.
Hutan mangrove Indonesia juga memiliki 40 dari 54 spesies mangrove sejati (true mangroves) yang menjadikannya sebagai keanekaragaman terkaya di dunia, dikutip dari Bank Dunia.
Walaupun demikian, di luar jumlah itu, Badan Restorasi Mangrove dan Gambut (BRGM) menyebut ada sekitar 700.000 hektare hutan mangrove yang mengalami deforestasi.
Presiden Joko Widodo dalam pidato di forum One Ocean Summit 2022 menegaskan bahwa pemerintah telah dan sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai dengan tahun 2024.
Pada 15 Mei lalu, Jokowi bersama para pembantunya melakukan penanaman mangrove bersama di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta.
Dalam kesempatan itu, Jokowi mengatakan, "Kita tahu, kita memiliki mangrove terluas di dunia, 3,3 juta hektare hutan mangrove kita terbesar di dunia. Itu yang harus kita rawat, kita pelihara, kalau di tempat-tempat yang kritis kita tanami kembali sehingga jangan sampai ada hutan mangrove yang rusak."
Upaya rehabilitasi pemerintah itu salah satunya tidak lepas dari potensi pendapatan yang bisa diperoleh dari perdagangan karbon mangrove.
Menurut perhitungan KLHK, ekosistem mangrove dapat menyimpan karbon tiga hingga lima kali lebih banyak dari hutan daratan biasa.
"Karbon yang tersimpan di ekosistem mangrove Indonesia diperkirakan mencapai 3,0 Gton CO2e. Kemudian karbon yang tersimpan di mangrove dan padang lamun di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 3,4 Gton CO2e, sekitar 17% dari simpanan blue carbon di dunia," dikutip dari KLHK.
BRGM memprediksi jumlahnya lebih besar di mana penyimpanan karbon mangrove Indonesia mencapai 1.083 megaton CO2.
Bahkan penelitian lain menyebut, mangrove di Indonesia menyimpan sekitar 3,1 miliar ton karbon - setara dengan emisi gas rumah kaca dari pemakaian sekitar 2,5 miliar kendaraan bermotor selama satu tahun.
Dilansir dari situs Sekretariat Negara, harga jual karbon dunia berkisar Rp75.000 sampai Rp150.000 per ton CO2.
Dengan luas hutan mangrove maka pemerintah mengaku bisa mendapat uang hampir Rp2.400 triliun dari perdagangan karbon.
Jumlah itu akan 'lebih tebal' lagi jika menghitung 125,9 juta hektare hutan tropis yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton dan juga 7,5 juta hektare lahan gambut yang mampu menyerap sekitar 55 miliar ton.
"Mengakumulasi tiga hal tersebut, maka Indonesia bisa menyerap setidaknya 113 gigaton emisi karbon. Jika dijual dengan perhitungan terendah US$5, maka pemerintah berpotensi menambah pendapat negara mencapai US$565 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun," dikutip dari Setneg.
Dilansir dari situs KLHK, profesor dari IPB dan peneliti CIFOR, Daniel Murdiyarso mengatakan, nilai ekonomi ekosistem karbon biru, seperti mangrove dapat mencapai lebih dari Rp1,35 miliar (US$90.000) per hektare, mulai dari kemampuan menyerap lingkungan, pencegah abrasi hingga industri perikanan dan ekowisata.
Menurut penelitian Bank Dunia, mangrove di Indonesia memiliki nilai total tahunan sekitar Rp751 juta per hektare.
Namun, menurut WALHI yang mengutip data BRGM hanya sekitar 33.000 hektare mangrove yang direhabilitasi pada tahun 2021, atau 5,5% dari target nasional.
Degradasi mangrove yang terjadi seperti di Daik Lingga, dan wilayah lainnya di Indonesia menunjukkan fakta yang kontradiktif dengan program rehabilitasi pemerintah itu, kata Rio Ahmad, Direktur dari Yayasan Hutan Biru.
"Jika kita lihat di seluruh Indonesia, tren pemanfaatan lahan di wilayah mangrove kini tidak kalah masifnya," katanya.
Mangrove jadi menghilang
Dalam 20 tahun terakhir, Indonesia kehilangan hampir 13.000 hektare mangrove setiap tahunnya.
Aktivitas tungku arang di Daik Lingga hanyalah satu dari banyak penyebab kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia, tambah Rio Ahmad, di mana kontribusi terbesar berasal dari akuakultur seperti tambak ikan, dan pembangunan wilayah pesisir.
Rio juga mengkritisi langkah pemerintah yang dia sebut hanya fokus 'menanam', tanpa mencari alternatif lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir untuk mengurangi tekanan pada mangrove.
"Kami melihat belum dihadirkan aspek-aspek selain upaya rehabilitasi. Bagaimana menghadirkan solusi-solusi nilai pemanfaatan mangrove yang ke jangka menengah dan panjang bagi masyarakat," kata Rio.
Diperkirakan terdapat 120 juta orang yang tinggal di ekosistem mangrove di Indonesia, di mana sebagai besar menggantungkan mata pencaharian pada mangrove.
Tetapi di tengah potensi triliunan rupiah yang dimiliki hutan mangrove di Indonesia, masyarakat pesisir yang mengantungkan hidup pada tungku mengaku masih akan terus menebang hingga membakar kayu bakau demi Rp300 di setiap kilogram arang sampai muncul alternatif pekerjaan. (*)
Tags : hutan, ekonomi, deforestasi, hewan-hewan, perubahan iklim, lingkungan, alam, hutan mangrove, kayu arang dari hutan mangrove, hutan mangrove di daik lingga, kepri, hutan mangrove jadi dilema antara lingkungan dan minimnya lapangan kerja, sorotan, riaupagi.com,