
LINGKUNGAN - Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar dunia. Tak mengherankan, sawit menjadi komoditas unggulan ekonomi nasional.
"'Hutan jadi sawit banyak dikritik baik lokal maupun global."
"Kontribusi ekspor sawit Indonesia bagi devisa negara melebihi minyak, gas, dan batubara. Selain itu, budidaya sawit telah menjadi alternatif baru bagi pengentasan kemiskinan masyarakat pedesaan," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA).
Menurutnya, tingginya ekonomi sawit telah menyebabkan pergeseran budidaya karet dan tanaman-tanaman komersial konvensional lainnya di tingkat masyarakat.
Terlepas dari perannya bagi perekonomian bangsa, sebutnya, tetapi industri sawit menghadapi banyak kritik dan tantangan dari banyak pihak baik lokal maupun global.
"Praktik perkebunan sawit di Indonesia ditengarai sebagai salah satu pemicu berbagai permasalahan lingkungan dan sosial, seperti deforestasi, pembukaan lahan gambut, kebakaran hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik tenurial," kata dia.
"Dari total luasan kebun sawit Indonesia sekitar 16,8 juta hektar, sekitar 3,47 juta hektar di antaranya ada di kawasan hutan."
Angka ini cukup besar jika dilihat dari luasan hutan Indonesia yang terus berkurang, terang Ganda Mora, sebutan nama sehari-harinya ini.
Dia melihat, ada juga yang terjadi konversi terjadi secara sah karena pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.
Dari pengalaman SALAMBA dan mitra-mitranya mengidentifikasi, mendata, dan memetakan sawit di kawasan hutan seluas 3,47 juta hektar tersebut, tergambar jelas bahwa ekspansi kelapa sawit ke dalam kawasan hutan ini dilakukan oleh hampir semua jenis pelaku usaha sawit.
Perusahaan, masyarakat sekitar, kaum migran, dan “investor individual”, kini semua sudah berperan dalam ekspansi sawit di hutan ini. Kondisi itu lah menjadi perhatian khusus bagi Yayasan SALAMBA.
SALAMBA pernah mencoba melakukan identifikasi dan pengkajian terhadap perkebunan sawit rakyat dan opsi-opsi yang dapat dilaksanakan untuk penyelesaian masalah tersebut.
Bagaimana gagasan jalan keluar untuk membantu penyelesaian permasalahan sawit dan minyaknya?
Minyak sawit, diakui Ganda sebagai komoditas unggulan yang menjadi penopang ekonomi Indonesia.
"Fakta, sampai sekarang Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia yang dapat penyumbang devisa terbesar bagi negara, melampaui nilai kontribusi minyak, gas, dan batubara," kata dia.
Menurutnya, tanaman monokultur asli Afrika itu juga menjadi penopang sebagian mata pencaharian masyarakat di pedesaan, menggantikan komoditas lama seperti karet dan tanaman-tanaman komersial konvensional lainnya.
Meski demikian, sejauh ini, sayangnya keberadaan industri sawit berskala besar belum signifikan berdampak terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat lokal, terutama pekebun sawit rakyat.
Perkebunan-perkebunan perusahaan menguasai tanah yang sangat luas dan memiliki kuasa lebih dalam penentuan harga beli hasil panen perkebunan sawit rakyat.
Sementara itu, hal sebaliknya justru terjadi pada kebun-kebun sawit rakyat, yang umumnya berskala kecil dan tidak produktif.
"Sejak awal kemerdekaan, pembangunan industri dirancang untuk mendukung perkebunan sawit rakyat."
"Sejarah perkembangan industri sawit Indonesia setelah kemerdekaan dapat dibagi ke dalam dua fase utama, yaitu fase dominasi pemerintah (berkisar antara 1970an-1998) yang dikarakterisasi dengan munculnya perkebunan-perkebunan sawit rakyat (plasma) di Indonesia, dan fase dominasi pasar (1999-sekarang) yang dikarakterisasi dengan liberalisasi pasar industri sawit Indonesia dan merajainya perkebunan-perkebunan perusahaan."
"Tetapi pada kedua fase perkembangan industri sawit itu, pemerintah memainkan perannya melalui mekanisme berbeda," kata Ganda.
"Pada fase dominasi pemerintah, para birokrat menciptakan kebijakan-kebijakan subsidi bagi perkebunan nasional dan sawit rakyat. Akibatnya, investasi swasta sulit untuk berkompetisi," jelasnya.
Pada fase dominasi pasar, tambahnya, pemerintah telah menyadari pentingnya menciptakan pasar yang terbuka bagi investasi swasta.
Kesadaran ini dimulai oleh semakin berkurangnya kesanggupan pemerintah untuk terus membiayai kebijakan-kebijakan subsidi bagi industri yang semakin besar, sebutnya.
Menurutnya, pada akhirnya, liberalisasi pasar industri sawit nasional mampu mendorong pertumbuhan industri sawit secara signifikan. Sejak liberalisasi industri sawit pada tahun 1994, luasan perkebunan sawit telah meningkat hampir 700 persen, dari 1,8 juta hektare pada 1994 menjadi 14,3 juta hektare pada 2018 (Ditjenbun, 2017).
Apa yang muncul sebagai akibatnya?
Bergudang persoalan lingkungan hingga sosial tumbuh dan merebak di dalamnya. Sebagai dampaknya, sejak 2008, Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Tercatat pada 2017, produksi minyak sawit Indonesia berkontribusi sebesar 54% dalam konsumsi global. Bahkan, Indonesia telah menjadi penguasa dalam pasar minyak nabati dunia.
"Hal ini dikarenakan minyak sawit mendominasi konsumsi minyak nabati dunia dan cenderung terus meningkat," kata dia.
Dominasi kelapa sawit dalam pasar minyak nabati dunia tidak dapat dilepaskan dari kompetitifnya harga minyak sawit akibat produktivitas yang jauh melampaui minyak nabati lainnya.
Produktivitas perkebunan sawit mencapai 4,27 ton CPO per hektare, sementara produktivitas minyak bunga matahari, rapeseed, dan kedelai secara berturut-turut hanya mencapai 0,52 ton, 0,69 ton dan 0,45 ton per hektare.
Tak heran, sawit menjadi komoditas strategis bagi perekonomian negara. Sebab dari hasil produksi minyak sawit yang mencapai 32 juta ton pada 2016, Indonesia mampu mengekspornya sebesar 24,3 juta ton dengan nilai ekonomi mencapai USD 16,2 miliar (Ditjenbun, 2017 dan BPS, 2016). Dengan angka tersebut, menjadikan minyak sawit sebagai penyumbang devisa hasil ekspor terbesar.
Selain itu, pembangunan industri perkebunan sawit juga turut memegang andil dalam pertumbuhan ekonomi di desa. Diperkirakan luasan perkebunan sawit rakyat mencapai 40% dari total luas perkebunan sawit nasional, yaitu 14,3 juta hektare pada 2018 (Ditjenbun, 2018).
Versi Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, industri sawit mampu menyediakan 17 juta lapangan kerja langsung dan tak langsung bagi seluruh penduduk Indonesia (Kemenko Ekon, 2019).
Jadi menurut Ganda Mora, industri sawit juga menyediakan lapangan kerja bagi sekitar enam juta penduduk miskin di wilayah pedalaman Indonesia. Belum lagi menghitung penyerapan tenaga kerja untuk sektor hilir minyak sawit. Diperkirakan 3,6 juta tenaga kerja akan diserap dalam industri bahan bakar nabati berbasis minyak sawit dan sekaligus mengurangi 16% kemiskinan di pedesaan. Tak ayal, industri sawit menjadi pilihan solusi pemerintah bagi tingginya tingkat pengangguran nasional. (*)
Tags : hutan, riau, hutan jadi sawit, kebun sawit dikritik, sahabat alam rimba, salamba, kritik kebun sawit, lingkungan, alam,