"Berbagai studi sejumlah lembaga riset menunjukkan perempuan lebih banyak mengalami tekanan mental akibat pandemi Covid-19 ketimbang laki-laki"
asil penelitian UN Women yang dirilis pada Oktober 2020 menunjukkan sebanyak 57% perempuan mengalami peningkatan stress dan kecemasan jika dibandingkan dengan laki-laki (48%). Beban perempuan, terutama ibu, juga bertambah seiring dengan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bagi anak sekolah. Bagi ibu pekerja, peran mereka tidak hanya ganda, tapi juga berlipat-lipat—sebagai ibu, pekerja, guru, dan pengurus rumah tangga.
Lalu, bagaimana dengan para ibu yang bekerja sebagai tenaga medis? Sejauh ini belum ada penelitian yang menelaah hal tersebut secara spesifik. Hanya saja, hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperlihatkan 83% tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome atau stress akibat kelelahan bekerja. Berikut kesaksian dua perempuan mengenai peran mereka sebagai dokter yang menangani para pasien, sekaligus sebagai ibu yang mengurus anak serta keluarga. Seperti dialami Limdawati: Menjadi dokter, dosen, pengurus rumah tangga, dan guru anak-anak selama pandemi Suatu malam.
Limdawati merasakan kesedihan yang sangat dalam. Lima pasien Covid 19 yang sedang ditangani timnya meninggal dalam satu malam. Kelima pasien itu memang dalam kondisi buruk, namun tetap saja kejadian tersebut membuat dokter spesialis penyakit dalam ini berduka. "Yang terberat itu, satu malam sampai lima pasien meninggal. Sedih banget," kenang Limdawati dirilis BBC News Indonesia.
"Pernah juga satu keluarga kena [Covid-19]. Ibunya kena, anaknya kena, dua-duanya [kondisinya] jelek. Si anak berhasil selamat, tapi si ibu meninggal. Jadi beban rasanya kalau nggak bisa menyelamatkan dua-duanya. Tapi apa boleh buat, kadang Tuhan punya rencana sendiri," imbuhnya.
Limdawati mengaku berusaha mengelola kesedihannya agar tidak terbawa ke rumah. Apalagi, sepulang bekerja, dia harus mengurus ketiga anaknya, terutama anak bungsunya yang masih berusia tiga tahun. Selama pandemi, ibu berusia 40 tahun ini mendapat tugas tambahan sebagai guru bagi anak-anaknya yang bersekolah secara daring. Ia cukup beruntung karena dua anak pertamanya sudah bisa belajar mandiri sehingga bisa fokus ke si bungsu.
Tidak hanya jadi guru bagi anak-anaknya, Limdawati juga berperan sebagai dosen dan pembimbing bagi mahasiswa dan dokter muda. Berbagai peran yang dijalaninya membuat Limdawati harus menghentikan sementara jadwal praktiknya di sebuah rumah sakit swasta. "Yang saya sulit itu membagi waktu antara mengurus yang kecil dengan tugas saya membimbing mahasiswa dan merawat pasien. Jadi siasatnya, saya bagi-bagi saja [waktunya]. Tapi yah itu, harus ada yang dikurangi waktunya. Makanya, saya kurangi jadwal praktik saya, supaya ada waktu buat yang lain," ujar dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha Bandung ini.
Limdawati mengaku sangat terbantu dengan adanya asisten rumah tangga. Namun, ia sempat kewalahan dan kelelahan saat asistennya mudik lebaran selama dua bulan. "Nah dua bulan itu repot setengah mati. Bangun lebih subuh, tidur lebih malam. Bagi-bagi kerjaan sama seisi rumah," ungkapnya.
Peran mengurus anak dan rumah, diakui Limdawati, lebih banyak ditangani dirinya. Sedangkan suaminya, yang juga seorang dokter, lebih fokus bekerja. "Suami juga dokter, dia juga harus kerja. Saya sih sudah bilang sama suami kalau keadaan seperti ini, mau nggak mau saya yang harus batasi. Saya yang mengurus anak-anak. Dia sih fokus kerja saja," kata warga Kota Bandung itu.
Beban fisik dan mental yang ditanggung Limdawati masih harus ditambah dengan kecemasan tertular Covid-19 dan membawa penyakit itu ke rumah. Sebagai seorang dokter spesialis penyakit dalam, Limdawati berada di barisan terdepan dalam menangani pasien Covid 19 di RS Immanuel Bandung, yang menjadi rumah sakit rujukan Covid 19. "Kalau dulu itu memang takut juga. Dulu itu kalau ke mana-mana, mobil itu sampai dilap setiap hari, disemprot sama disinfektan. Kalau sekarang sih seminggu sekali lah dibersihkannya karena kita tahu virus itu nempel di benda, nanti mati sendiri. Sekarang lebih sering cuci tangan karena memang takut bawa virus sampai ke rumah," tutur Limdawati.
Berada di tengah risiko pekerjaan dan peran yang berlipat-lipat saat pandemi, Limdawati menyadari adanya ancaman burnout syndrome, bahkan depresi. "Kalau sampai burnout, nggak. Lelah ada sih, pasti. Kadang-kadang kesal juga ada, karena kita kan sudah capek, lihat orang di jalan buka masker, kerumun-kerumun. Aduh sebal banget, karena mereka nggak berpikir kasus Covid makin banyak. Kita juga kelelahan. Untungnya ada tim yang cukup solid, saling menopang satu sama lain," pungkas Limdawati.
Sedangkan Almira Aliyannissa adalah Dokter sekaligus ibu menyusui bayi tiga bulan menjadi tantangan tersendiri bagi Almira Aliyannisa pada masa pandemi Covid 19. Ibu tiga anak ini harus mengelola persediaan ASIP (air susu ibu perah) agar kebutuhan ASI bagi bayinya terpenuhi saat dia bekerja sebagai seorang dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bandung.
Rutinitas keseharian dalam memberi nutrisi terbaik bagi anak ketiganya itu, tidak jauh berbeda dengan dua anaknya yang lain. Tapi, kegiatan memerah di sela-sela jam praktiknya, tentu lebih sulit dibanding masa sebelum pandemi. Apalagi, saat praktik atau menangani pasien Covid 19, Almira harus mengenakan APD lengkap. Perempuan 32 tahun itu tak ingin membawa virus ke rumah dan menulari keluarga tercintanya. "Kalau sekarang kan jadinya semuanya ekstra hati-hati. Mulai dari memastikan kelengkapan APD ketika praktik, harus memakai cap [penutup kepala], masker N95, gown (jubah kain). Kemudian mandi dulu di rumah sakit, baru pulang ke rumah. Terus setiap pulang ke rumah, kacamata, handphone, jam tangan, itu semua dilap dulu pakai kapas alkohol sebelum bisa dipakai lagi," tutur Almira.
Almira sempat mendapat saran dari keluarga besarnya agar cuti sebagai dokter dan tidak menangani pasien Covid-19 lantaran khawatir tertular dan menularkan Covid ke anak-anaknya. Namun, Almira berusaha meyakinkan keluarganya bahwa dia bisa menjaga diri. "Untung keluarga besar saya banyak yang dokter, jadi mereka bisa paham," kata dokter yang menangani pasien Covid-19 pada anak-anak di RS Edelweis Kota Bandung itu.
Almira mengaku tidak terlalu merasakan kelelahan atau stress menjalani tugasnya di masa pandemi ini. Terlebih lagi, pasien anak yang ditanganinya tidak banyak dan sebagian besar bergejala sangat ringan. Tugas dirasa berat bagi Almira justru ketika berperan sebagai guru bagi anak pertamanya, yang duduk di kelas 2 SD. Almira khawatir anaknya kurang optimal mendapatkan pendidikan. "Memang 'pressure' tambahan itu lebih ke anak pertama. Anak saya sekolah kan dan sudah setahun ini school from home. Nah itu yang sebenarnya agak berat yah karena jadinya kita orangtua yang harus betul-betul memastikan efektivitas pembelajarannya. Jadi sebenarnya yang lebih struggle itu di situ. Pulang ke rumah nggak bisa istirahat karena kita benar-benar mengulang lagi pelajaran yang di sekolah," papar ibu dari tiga anak masing-masing berumur 7 tahun, 2 tahun, dan bayi 3 bulan itu.
Almira tidak memungkiri mengalami lelah saat menjalankan dua peran, sebagai dokter dan guru bagi anaknya. Namun, ia memilih tidak memaksakan diri. Saat ini, Almira mengungkapkan, peran dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya memang belum banyak bisa dibagi dengan suaminya yang sedang menjalani pendidikan konsultan dan juga sibuk dengan tugasnya sebagai dokter yang menangani pasien Covid 19 di tiga rumah sakit yang berbeda. Tapi, Almira merasa sangat terbantu dengan dukungan suami di kala senggang, keluarga besar, dan keberadaan asisten rumah tangga di rumah. Anak pertamanya pun mulai bisa membantu menjaga adik saat diperlukan. "Kalau kondisi saya sekarang, memang agak sulit (berbagi tugas). Soalnya suami saya lagi pendidikan konsultan, pegang tiga rumah sakit, jadi sibuk sekali. Jadi dalam kondisi ini, saya lebih banyak handle semua," kata lulusan Fakultas Kedokteran Unpad ini.
Almira menyakini dia dan suami memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda. Sebagai seorang ibu, tugas utamanya mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan suami bertanggung jawab menafkahi keluarga. "Prioritas pertama tetap anak-anak di rumah. Kalau ada kesempatan, di antara waktu saya, saya ada kemampuan bisa bekerja juga, ini adalah bonus saja, bukan prioritas utama," ucapnya.
Dampak psikologis tenaga kesehatan saat pandemi Covid-19
Pandemi Covid 19 diketahui memberikan dampak psikologis pada tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dan merawat pasien positif Covid-19. Penelitian Kementerian Riset dan Teknologi - Badan Riset dan Inovasi Indonesia - memperlihatkan sebagian besar dari 644 reponden tenaga kesehatan mengalami kecemasan dan stress. Sementara sebagian kecil mengalami depresi.
Hasil penelitian yang dipublikasikan pada 2020 ini menunjukkan sekitar 65,8% responden tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kecemasan akibat wabah Covid-19. Dari angka itu, sebanyak 3,3% mengalami kecemasan sangat berat dan 33,1% mengalami kecemasan ringan. Sedangkan yang mengalami stress sebesar 55% dengan tingkat stres sangat berat 0,8% dan stres ringan 34,5%. Adapun tenaga kesehatan yang mengalami depresi sebesar 23,5%. Tingkat depresi sangat berat 0,5% dan ringan 11,2%.
Memang belum ada penelitian yang fokus pada dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mental tenaga kesehatan perempuan, namun hasil penelitian Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran bisa memberi gambaran. Penelitian tersebut menyoroti kesehatan mental ibu di masa pandemi Covid-19 dan melibatkan 1.534 ibu usia 21 hingga 65 tahun.
Sekolah di rumah atau PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) menjadi salah satu pemicu stress, apalagi ayah atau suami tidak terlibat dan hanya dibebankan ke ibu. Hasil penelitian Psikologi Unpad menunjukkan, hanya 45 % suami yang terlibat dalam proses PJJ dan 25,1% tidak terlibat sama sekali. Bagi tenaga kesehatan yang juga seorang ibu dan mendapat beban tambahan mengajar anak, kondisi tersebut berpeluang memicu kelelahan dan stress, menurut psikolog Rezki Ashriyana.
"Kalau dari penelitan yang saya lakukan bersama rekan, jangankan tenaga kesehatan, untuk kita sebagai pekerja normal yang tidak berkaitan langsung dengan virus tersebut itu juga sudah cukup berat. Artinya ketika masuk pandemi ini, tuntutan sebagai ibu, sebagai guru, kemudian pekerjaan, tenaga kesehatan ini nggak peran ganda lagi, tapi triple bahkan lebih. Itu juga sudah sangat membuat lelah secara emosional maupun fisik," papar Rezki.
Dalam kondisi tersebut, Rezki menyebutkan, peran suami atau ayah sangat penting untuk mengurangi tekanan mental para ibu, khususnya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan ini. Hal ini terbukti dalam penelitian Psikologi Unpad, dimana rendahnya stres, cemas, dan depresi berbanding lurus dengan tingginya dukungan dari lingkungan sekitar. "Paling penting adalah support system dari keluarga yang lain, entah dari suami, asisten rumah tangga, Itu penting. Karena kalau support systemnya nggak ada, itu capek banget, baik secara mental maupun fisik," kata Rezki.
Gangguan kesehatan mental yang dialami tenaga kesehatan sudah disadari oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat yang telah bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa. Ketua IDI Jabar, Eka Mulyana, mengatakan IDI telah mengeluarkan buku panduan bagi seluruh dokter di Indonesia yang disusun oleh tim mitigasi. Buku panduan tersebut, menurut Eka, sebagai langkah menurunkan tekanan mental bagi para tenaga kesehatan.
"Kami lihat selama ini di fasilitas kesehatan, di rumah sakit, dan sebagainya, bukan tidak mungkin masih banyak laporan tenaga medis yang bekerja melebihi waktu yang direkomendasikan untuk bekerja setiap harinya. Nah, itulah salah satu yang menjadi penyebab (tekanan mental) yang tadi disampaikan. Apakah itu (tenaga medisnya) seorang ibu atau juga seorang bapak. Tapi intinya, penyebab dari tekanan kejiwaan dari saat pandemi, ini yang harus diatasi," ujar Eka.
Seperti yang terlihat dalam penelitian UN Women, beban seorang ibu bertambah pada masa pandemi. Selain harus melakoni pekerjaan rumah tangga yang bertambah, para perempuan mesti merawat dan mengasuh keluarga. Kaum perempuan juga lebih banyak mengambil alih tugas mengajar anak-anak di rumah dibanding laki-laki. Sebanyak 39% perempuan menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengajar anak di rumah dibanding laki-laki yang hanya berjumlah 29% dari responden.
Survei ini melibatkan 1.266 responden terdiri dari 54% responden perempuan dan 46% laki-laki. Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika menyebutkan, kesulitan pembagian kerja di rumah tangga, antara isteri dan suami itu, nyata terjadi. Menurutnya, laki-laki cenderung tidak peka terhadap pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan perempuan dibuat menerima bahwa itu adalah kewajibannya sebagai perempuan.
Padahal pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu adalah pekerjaan yang membutuhkan banyak detil. Jam kerja yang dibutuhkan pun bisa jadi lebih panjang daripada jam kerja untuk pekerjaan publik. Kondisi itu dilanggengkan dengan ketidakmampuan perempuan untuk bernegosiasi dalam pembagian tugas. Solusinya, kata Ika, adalah pembagian jam kerja yang sama dan saling bergantian untuk ragam jenis pekerjaan rumah tangga. "Agar sensitivitas terhadap pekerjaan rumah tangga dan kesadaran bahwa pekerjaan rumah tangga itu perlu dibagi, baik bagi perempuan maupun laki-laki," kata Ika. (*)
Tags : Ibu Merangkap Profesi, Ditengah Pandemi, Beban Berat Ibu di Covid-19 ,