PASIEN covid dijadikan 'kelinci percobaan', bagaimana layanan kesehatan di Brasil dituding lakukan eksperimen atas lansia?
Sebuah penyedia layanan kesehatan di Brasil dituduh memberikan obat-obatan yang belum teruji kepada pasien Covid-19 dan melakukan eksperimen terhadap lansia tanpa persetujuan keluarga. Tuduhan ini dikaitkan dengan kematian, yang menurut keluarga, seharusnya bisa dicegah.
Rasa duka Katia Castilho membuatnya tidak bisa tidur. Pada Maret lalu, Noberto, ayahnya, dilarikan ke rumah sakit umum di São Paulo karena Covid-19. Brasil, yang terpukul keras oleh pandemi, saat itu tengah berada di puncak gelombang kedua, dengan tingkat kematian per hari mencapai 4.000 kasus. Beberapa hari setelahnya, ibu Katia menampakkan gejala tertular Covid-19.
Irene, tak seperti Noberto, memiliki akses pada penyedia layanan kesehatan bernama Prevent Senior, salah satu yang terbesar di negara tersebut dan memiliki lebih dari setengah juta pelanggan. Keluarga Castilho menghubungi perusahaan tersebut dan dikirimi apa yang disebut sebagai "Covid Kit", sebuah paket perawatan Covid berisi hydroxychloroquine, azithromycin, dan ivermectin — meskipun tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan obat-obatan tersebut bermanfaat dalam menyembuhkan virus corona.
Keadaan Irene semakin memburuk, sehingga Katia dan kedua saudara perempuannya memutuskan membawa sang ibu ke rumah sakit yang dimiliki Prevent Senior. Namun, yang mengejutkan bagi tiga kakak-beradik itu, sang ibu dipulangkan tanpa diperiksa. Dalam semalam, keadaan Irene memburuk. Pagi harinya, Irene bahkan sulit bernafas meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.
Keluarga itu kembali ke rumah sakit, kali ini Irene dirawat inap. Di hari yang sama, Noberto meninggal dunia. Dia dimakamkan dengan terburu-buru, tanpa ritual, sementara mobil jenazah menunggu salah satu putrinya memberikan ucapan selamat tinggal sebelum mengantarkannya kembali ke rumah dan menjemput jenazah lain.
Sementara itu, di rumah sakit, Irene dirawat di bangsal kecil. Perawat jarang menengoknya, kata Katia. Ketiga putrinya bergantian menjaga dan memastikan masker oksigen terpasang. Suatu hari, Katia mendapati salah seorang perawat memberikan Irene cairan kental. Itu adalah flutamide, kata sang perawat, sejenis hormon yang dipakai untuk merawat pasien kanker prostat.
Flutamide dapat menyebabkan kegagalan fungsi liver pada pasien tertentu, dan Irene adalah penyintas kanker liver. Katia dan kedua kakaknya berkata, mereka telah meminta rumah sakit tidak memberikan obat itu kepada ibunya. "Saya sangat gundah dengan apa yang terjadi pada ayah saya, sehingga saya tidak mencari dokter untuk mendiskusikan ini," ujar Katia. "Lalu saya melihat keadaan ibu saya semakin buruk."
Irene dirawat di rumah sakit selama nyaris 10 hari, ketika dia kemudian dibawa ke ruang perawatan intensif. Organ-organnya mengalami kegagalan, dan dia mengalami thrombosis vena dalam. Setelah tiga minggu, dia juga terinfeksi dengan bakteri yang umum ditemukan di rumah sakit.
Irene meninggal dunia
Ketiga putrinya hanya punya 20 menit untuk mendampingi ibu mereka di saat terakhirnya. Irene dikremasi dan abunya ditaburkan di atas kuburan Noberto.
'Ibu saya mempercayai mereka'
Setelah intensitas kedua peristiwa itu mereda, Katia berkata dia "tiba-tiba menyadari" apa yang terjadi pada saat perawatan ibunya. "Saya mulai mengingat-ingat kembali. Saya tidak bisa tidur. Saya merasa seperti sedang memutar kaset kembali, dan menyadari apa yang salah."
Kelalaian itu, kata Katia, dimulai sejak Irene menerima paket "Covid Kit". Saat itu, para ilmuwan telah mulai berbicara tentang banyaknya penggunaan obat-obatan ini, dan banyak dokter meresepkannya ketimbang mengirim pasien ke perawatan intensif yang lebih mahal. "Ibu saya sangat percaya [Prevent Senior]. Dia sangat cemas dan meminta saya menelpon mereka untuk menanyakan kapan 'Covid Kit' miliknya sampai," ujarnya.
"Dia tidak akan pernah menyangka bahwa di tangan mereka, dia hanyalah kelinci percobaan, dan dia akan segera meninggal dunia."
Kini, lebih banyak kematian disalahkan atas praktik medis perusahaan tersebut. Senat yang tengah menyelidiki penanganan pandemi oleh pemerintah juga mendengar tuduhan bahwa perusahaan tersebut ingin mendukung pengobatan-pengobatan yang belum terbukti, yang pernah disebut oleh Presiden Jair Bolsonaro, yang berulang kali mengecilkan Covid-19.
Mantan pasien, Tadeu Frederico de Andrade yang berusia 65 tahun memberikan kesaksian bahwa dia juga diberikan "Covid Kit" dan dirawat dengan flutamide. Keluarganya berkata bahwa para dokter ingin mengalihkannya ke perawatan paliatif tanpa persetujuan mereka. "Saya adalah penyintas dari plot mengerikan ini," katanya seperti dirilis BBC.
Bruna Morato, seorang pengacara yang mewakili 12 orang whistleblower, mengatakan kepada senat bahwa para dokter diancam dan dipecat jika mereka tidak menyetujui pengobatan yang belum terbukti ini. Perusahaan tersebut juga dituduh sengaja tidak menyebutkan Covid-19 dalam catatan kematian para pasien untuk menyembunyikan skala permasalahan ini.
Prevent Senior berkata kepada BBC melalui pernyataan tertulis bahwa Irene dan Tadeu "menerima semua dukungan klinis dan medis" dan perusahaan tidak pernah melakukan tindakan perawatan yang bertentangan dengan etika medis demi mengurangi biaya.
Mereka juga berkata tuduhan terhadap perusahaan tersebut di muka Senat "tak berdasar" dan "merupakan hukuman publik". Perusahaan tersebut juga berkata tidak pernah memecat pegawainya karena pengakuan mereka.
Pedro Batista, CEO perusahaan tersebut, mengaku kepada para senator bahwa Covid-19 tak ditulis dalam laporan pasien setelah dua minggu, karena mereka dianggap tidak lagi menularkan virus.
Namun dia menyangkal menguji obat yang belum terbukti khasiatnya kepada pasien tanpa sepengetahuan mereka. Saat ini, Prevent Senior sedang diselidiki oleh jaksa penuntut federal, polisi, dan diinvestigasi secara terpisah oleh penegak hukum negara bagian São Paulo.
Kasus ini, yang telah menimbulkan kemarahan publik di negara tersebut, menimbulkan kontroversi politik. Pemerintah federal disalahkan karena longgarnya aturan mereka atas perawatan terkait Covid-19.
Senat juga telah mendengar bahwa pemerintahan Bolsonaro telah berulang kali tidak mengacuhkan tawaran dari perusahaan obat Pfizer yang menjual 70 juta dosis vaksin mereka.
Pekan depan, laporan final hasil investigasi ini akan dibuka untuk umum, dan kemungkinan akan menuduh Bolsonaro telah melakukan pelanggaran serius dalam respon terhadap pandemi, yang mengakibatkan lebih dari 600.000 kematian.
Katia Castilho berkata keluarganya merasa sangat "hancur". "Hari ketika ayah saya meninggal dunia, dia seharusnya menerima dosis pertama vaksin," ujarnya. "Saya kehilangan ayah dan ibu saya karena virus yang sudah ada vaksin [untuk melawannya]. Menyangkal sains bisa menyebabkan orang lain tewas, tapi ketika Anda memikirkan tentang uang dan kepentingan yang terlibat dalam semua ini… Saya tidak bisa terus. (*)
Tags : Brasil, Virus Corona, Kesehatan, Perempuan,