PEKANBARU - Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Indonesian Corruption Investigation [ICI] merasa penting melibatkan Pemerhati Lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat [LSM] dalam proses Analisa Dampak Lingkungan [Amdal] sebagai syarat pendirian usaha berisiko tinggi.
Menurut Darmawi Zalik Aris SE, Ketua Bakernas ICI dalam pandangannya, sejak masih berbentuk Rancangan Undang-Undang (UU) hingga sudah disahkan, UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja masih mengundang pro dan kontra. Salah satu pasal dalam UU ini yang disorot khususnya para pegiat lingkungan, pada pasal 26 ayat (2) yang terdapat dalam Paragraf 3 Persetujuan Lingkungan. “Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan,” demikian bunyi pasal itu yang merupakan perubahan dari Pasal 26 UU no. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau UU PPLH.
Pasal tersebut menghilangkan ketentuan penting dalam UU PPLH, yakni pelibatan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerhati lingkungan dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal). Namun dalam diskusi daring bertajuk “UU Cipta Kerja dan Pembangunan Berkelanjutan, Perspektif Lingkungan Hidup” yang digelar Institut Teknologi Indonesia (ITI) Tangerang Selatan beberapa waktu lalu sebut Darmawi, Profesor San Afri Awang, meluruskan kritik tersebut.
Selaku salah satu kalangan independen yang menjadi tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan UU Cipta Kerja bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), San Afri memaparkan bahwa dalam RPP tersebut diatur ketentuan pelibatan pihak LSM dan pemerhati lingkungan dalam proses Amdal sebagai syarat pendirian usaha berisiko tinggi. Penyusunan Amdal dilakukan oleh pemrakarsa. Dalam penyusunan ini, masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang terkena dampak langsung dan LSM Pembina langsung masyarakat,” sebut Darmawi menirukan penjelasan Guru Besar Fakultas kehutanan Universitas Gadjah Mada itu.
Adapun dalam penilaian Amdal, Tim Uji Kelayakan (TUK) yang terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan ahli bersertifikat melibatkan masyarakat terdampak langsung, LSM pembina masyarakat terdampak langsung dan pemerhati lingkungan termasuk pihak perguruan tinggi.
Namun Darmawi mencontohkan, dalam beberapa kasus, pengusaha saat ingin mendirikan usaha harus menghadapi LSM atau ormas tertentu yang berorientasi pada keuntungan kelompoknya, bukan kepentingan masyarakat. “Beberapa ormas di perkotaan merasa memiliki peran di suatu wilayah. Ketika pengusaha ingin bangun usaha di wilayah itu, mereka harus berhadapan dengan ormas,” kata Darmawi menilai.
Jadi merespon fenomena itu, Darmawi melihat dalam RPP turunan dari UU Cipta Kerja tersebut, masyarakat dan LSM penting dilibatkan dalam proses Amdal. "Tujuan dari pelibatan masyarakat yang terdampak langsung dalam penyusunan dan penilaian Amdal itu penting, agar prosesnya partisipatif. Amdal itu prosesnya wajib partisipatif. Oleh karena itu masyarakat harus terlibat,” urainya.
Darmawi menilai, memang dalam RPP Pelaksanaan UU Cipta Kerja bidang PPLH, tidak semua perizinan usaha mengharuskan persyaratan Amdal. Karena, pendekatan Persetujuan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja itu berbasis risiko.
"Hanya usaha berisiko tinggi yang wajib membutuhkan persetujuan lingkungan Amdal. Adapun untuk usaha berisiko rendah, itu cukup Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk memulai usaha. Untuk berisiko menengah, wajib mendapatkan sertifikat standar dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL)". (*)
Tags : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Amdal, UU Cipta Kerja,