JAKARTA - Sebanyak lima organisasi profesi, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menolak Rancangan Undang-Undang Kesehatan. IDI menilai substansi RUU tersebut, yang salah satunya bertujuan mengatasi krisis dokter spesialis di Indonesia, justru akan “menurunkan kualitas layanan kesehatan”.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berulang kali menyinggung soal ruwetnya proses penerbitan izin praktek yang diwarnai oleh “perundungan” hingga persaingan tidak sehat, ditambah terbatasnya lembaga pendidikan pencetak dokter spesialis yang juga berbiaya mahal, menyebabkan Indonesia kekurangan tenaga dokter spesialis.
Tetapi, upaya pemerintah yang diklaim bertujuan “menyederhanakan aturannya” justru dinilai “mengorbankan kualitas pelayanan kesehatan” serta “mengambil alih peran organisasi profesi”.
Itulah mengapa lima organisasi profesi yakni IDI, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menolak omnibus law tersebut.
Setidaknya ada 15 Undang-Undang terkait kesehatan dan profesi yang akan digabungkan menjadi omnibus law.
RUU yang disebut sebagai “inisiatif DPR” ini juga telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2023.
Kurangnya jumlah dokter merupakan masalah lama yang belum juga terurai hingga saat ini.
Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), hanya ada sekitar 54.000 dokter spesialis di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, itu berarti hanya ada dua dokter spesialis untuk setiap 10.000 warga Indonesia. Belum lagi sebarannya yang tidak merata dan terpusat di kota-kota besar.
Sebanyak 647 rumah sakit umum daerah di tingkat kabupaten/kota bahkan belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis, antara lain spesialis anak, obstetri dan genokologi, bedah, dan anestesi.
Salah satu kekhawatiran organisasi profesi dari draf RUU Kesehatan adalah wacana untuk menghilangkan kewajiban resertifikasi dokter setiap lima tahun.
Kewajiban resertifikasi itu, yang diterbitkan dalam bentuk Surat Tanda Registrasi (STR) merupakan wewenang KKI selaku otoritas profesi kedokteran di Indonesia.
Berdasarkan draf RUU Kesehatan yang sejauh ini beredar, STR hanya perlu diterbitkan satu kali dan akan berlaku seumur hidup.
IDI menilai rencana itu menggambarkan bagaimana pemerintah “lebih mengutamakan kuantitas dibanding kualitas” dalam mencetak dokter spesialis.
"Sangat berisiko bagi masyarakat kalau hanya memikirkan kuantitas produksi saja. Kami dukung kok pemerintah memproduksi layanan di daerah, namun kita harus pikirkan kualitasnya juga. Saya dan masyarakat nggak mau dong ditangani tenaga kesehatan nggak bermutu,” kata Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Mahesa Pranadipa Maikel dalam keterangan persnya, Selasa (13/12).
Sedangkan bagi Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), wacana itu “tidak masuk akal” di tengah ilmu kedokteran dan penyakit yang terus berkembang.
“STR tidak mungkin diterapkan seumur hidup. Di luar sana, pengetahuan, teknologi, begitu juga penyaki yang terus berkembang, jadi update ddengan registrasi ulang itu keharusan supaya [dokter] akan selalu bersemangat dan melakukan perbaikan mengatasi penyakit yang terus berkembang,” kata Ketua Umum IAKMI, Ede Surya Darmawan.
Isu krusial lain yang juga dikhawatirkan adalah “sentralisasi” kewenangan ke Kementerian Kesehatan, sehingga “meminggirkan” peran organisasi profesi.
STR yang tadinya diterbitkan oleh KKI, direncanakan juga bisa diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan.
Ada pula rencana untuk menempatkan KKI yang selama ini bertanggung jawab langsung kepada presiden, menjadi di bawah menteri kesehatan. Langkah ini dinilai berpotensi memengaruhi independensi KKI.
Selain itu, Surat Izin Praktik (SIP) yang selama ini diterbitkan oleh pemerintah daerah berdasarkan rekomendasi IDI, menjadi bisa diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan dalam draf RUU Kesehatan.
IDI membantah tudingan bahwa mereka "memonopoli" proses pendidikan dan praktik kedokteran sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia. IDI membantah itu.
Menurut IDI, krisis dokter spesialis adalah “persoalan sistemik” yang tidak hanya bergantung pada proses di organisasi profesi.
Meski mengakui bahwa masih ada praktik menyimpang dalam proses sertifikasi dan penerbitan izin praktik, Mahesa mengklaim hal itu “hanya dilakukan oleh beberapa oknum” dan tidak bisa digeneralisasi sebagai bentuk “memonopoli” praktik kedokteran di Indonesia.
“Kalau tidak merata harus dibebankan ke siapa persoalan ini? Kan nggak mungkin salah organisasi profesi, harus kita atasi bersama. Yang punya anggaran untuk memberikan insentif kan pemerintah, organisasi profesi nggak punya anggaran untuk insentif. Yang membujuk dokter itu kan pemerintah. Saya rasa bisa kok kita mencari solusinya bersama,” tutur Mahesa.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum PPNI, Harif Fadhilla, juga keberatan dengan potensi kewenangan tata kelola tenaga kesehatan yang dipusatkan pada Kemenkes.
Sebab selama ini, organisasi profesi lah yang banyak berperan mengawasi profesionalisme hingga meningkatkan kompetensi anggotanya.
“Pemerintah paling-paling baru berperan 10% tuh untuk meningkatkan kompetensi perawat-perawat. Jadi menurut saya, harus wise [bijak] juga dalam konteks ini kalau peran kami dimarjinalkan,” kata Harif.
Sedangkan di tengah kekhawatiran itu, mereka mengaku “tidak dilibatkan” dalam perumusan RUU Kesehatan.
Kepala Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Olivia Herlinda. pun mengingatkan pemerintah “untuk tidak terburu-buru” mengesahkan RUU Kesehatan.
CISDI berpendapat regulasi yang komprehensif untuk membenahi sistem kesehatan di Indonesia memang diperlukan, namun prosesnya harus dilakukan “sangat hati-hati” dan “partisipatif.
Menurut Olivia, pemerintah dan para organisasi profesi juga perlu duduk bersama untuk mengurai persoalan kurangnya dokter spesialis di Indonesia.
Baik pemerintah dan organisasi profesi diminta membagi kewenangannya secara proporsional dalam hal ini.
“Jangan sampai justru memunculkan sentralisme kewenangan, anggapan bahwa selama ini dimonopoli oleh organisasi profesi lalu diambil alih, itu kurang tepat. Kementerian Kesehatan kan regulator, keahlian utama di organisasi profesi. Jadi bagaimana pembagian kewenangan, itu yang dibutuhkan dari proses ini,” kata Olivia.
“Terlalu sulit bagi Kemenkes di tengah kompleksitas profesi kesehatan, bagaimana pun organisasi profesi memegang peranan penting,” lanjut dia.
Menurut CISDI, Indonesia kekurangan dokter spesialis karena jumlah lembaga pendidikan yang bisa mencetaknya masih sangat sedikit.
Hal serupa juga diungkap oleh Kementerian Kesehatan yang menyebutkan bahwa dari 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia, hanya 20 di antaranya yang memiliki prodi spesialis. Belum lagi biaya pendidikannya yang “mahal”.
“Akhirnya kursinya menjadi sangat sedikit. Kalau masalah biaya yang mahal, masih bisa ditanggung oleh APBD, APBN dan beasiswa, tapi masalahnya pusat pendidikannya yang masih terbatas,” jelas Olivia.
Ini menjadi salah satu landasan pemerintah untuk menambah program pendidikan dokter spesialis yang berbasis di rumah sakit. Mahasiswa spesialis yang menempuh pendidikan di rumah sakit pun akan digaji.
Faktor lainnya adalah distribusi dokter spesialis yang tidak merata dan cenderung berpusat di kota-kota besar.
“Ini masalah yang lebih pelik dan sistematis, karena menyangkut bagaimana bisa memberi insentif yang cukup untuk dokter spesialis untuk bisa bertahan secara berkelanjutan di daerah,” kata Olivia.
Senada, Juru bicara IDI Mahesa Paranadipa mengatakan persoalan insentif menjadi salah satu pemicu tidak meratanya sebaran dokter spesialis di banyak daerah.
“Ada daerah yang memberi insentif lebih baik, ada juga yang tidak. Ini masih menjadi isu,” kata Mahesa.
Selain itu, terbatasnya sarana dan prasarana di daerah juga menyebabkan penempatan dokter spesialis terkadang menjadi tidak maksimal.
“Ada kasus di mana dokter bedah saraf dikirim ke daerah, tapi ruang operasinya tidak dilengkapi, ya dia enggak bisa kerja lah,” kata Mahesa.
Menurut Olivia dari CISDI, kurangnya dokter spesialis berdampak langsung terhadap aspek keselamatan pasien.
“Di puskesmas-puskesmas yang kami dampingi, banyak isu di dokter spesialis kandungan, banyak keterlambatan untuk merujuk, di Rumah Sakit Daerah pun banyak yang kekurangan dokter spesialis untuk mengambil tindakan yang lebih rumit dibanding bidan dan dokter umum.”
“Itu beberapa kali kejadian, kebutuhan dokter spesialis utama, yang banyak kasusnya angka kematian ibu dan anak itu,” kata Olivia.
Tidak meratanya sebaran dokter spesialis juga membuat pasien yang membutuhkan harus dialihkan ke rumah sakit rujukan dengan antrean yang panjang.
Sementara itu, Menkes Budi mengatakan gentingnya isu kekurangan dokter juga tergambar dari tingginya angka kematian bayi baru lahir akibat penyakit jantung bawaan, yang mencapai 14.000 kasus per tahun.
Sebanyak 50.000 anak lahir dengan penyakit jantung bawaan, dan 20.000 kasus di antaranya memerlukan operasi.
Namun dengan kapasitas penanganan dokter spesialias jantung yang terbatas untuk menangani 6.000 kasus, sebanyak 14.000 anak tidak bisa diselamatkan.
"Kapasitas kita 6.000, loh terus sisanya gmn 14 ribu kan harus operasi, nih jawaban seorang profesor senior jantung, katanya itu seleksi alam," kata Budi.
CISDI menyebut omnibus law ini “berpotensi” bisa menjawab kebutuhan untuk mengatasi krisis dokter ini, karena membuka peluang lebih besar bagi banyak orang untuk menempuh pendidikan spesialis.
“Ini lumayan signifikan bisa mengubah sistem pendidikan kedokteran kita, asalkan pembahasannya dilakukan secara hati-hati bisa mengarah ke sana,” kata Olivia.
Namun IDI memberi catatan bahwa persoalan ini tidak akan rampung hanya dengan memperbanyak kuota mahasiswa spesialis.
“Ada banyak hal juga yang harus dipertimbangkan, misalnya berapa sih jumlah tenaga pendidik, berapa center pendidikan yang sarana prasarananya sudah cukup. Kalau kita tambah mahasiswanya, dia lulus sebagai dokter spesialis, ditempatkan dimana, kesejahteraannya juga harus diperhatikan,” kata Mahesa.
Sementara itu, mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, menilai aspek sarana dan prasarana yang mumpuni juga memengaruhi distribusi dokter spesialis.
“Mengirimkan dokter spesialis itu bukan hanya satu orang dokter, banyak buntutnya. Persoalannya tidak akan selesai tanpa ada alat dan tenaga ahli yang membantu,” kata Tjandra.
Terkait wacana pemerintah memperluas pendidikan spesialis berbasis rumah sakit, Tjandra juga mewanti-wanti agar program itu tidak memicu kesenjangan.
“Kalau salah satu program digaji, salah satunya lagi tidak, kan tidak baik kalau dua program menghasilkan program yang sama dengan cara berbeda. Itu dari awal harus diputuskan dulu, kalau tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” tutur Tjandra.
Pembuatan kurikulum pendidikan spesialis pun harus diterjemahkan khusus untuk pendidikan yang ditempuh di rumah sakit.
Termasuk pemberian gelar dokter spesialis. “Selama ini gelar diberikan oleh lembaga pendidikan, kalau rumah sakit bisa beri gelar itu harus disiapkan lagi aturannya,” kata Tjandra. (*)
Tags : Ikatan Dokter Indonesia, IDI dan Organisasi Profesi Kesehatan Tolak Rancangan Undang-Undang Kesehatan, RUU Kesehatan,