Sorotan   2022/09/20 8:40 WIB

Impor Pakaian Bekas Terus Meningkat, 'Hingga di Cap Sebagai Penampung Sampah yang Dianggap Tidak Punya Martabat’

Impor Pakaian Bekas Terus Meningkat, 'Hingga di Cap Sebagai Penampung Sampah yang Dianggap Tidak Punya Martabat’

"Impor pakaian bekas terus meningkat nilainya hingga miliaran rupiah, tapi di cap sebagai penampung sampah dan dianggap tidak punya martabat"

ksi impor pakaian bekas ini masih kalah cepat dengan peredaran produk ilegal itu di pasaran. Jual-beli pakaian bekas impor masih marak di sejumlah daerah di Indonesia. Kementerian Perdagangan pun gencar menyita pakaian bekas impor bernilai miliaran rupiah.

Bangunan lusuh serupa gudang tampak sesak. Bahkan diemperan jalan sepertidi Kota Pekanbaru banyak ditemukan pedagang pakaian bekas ini. Pengunjung dan pembeli berjubel, berbagi ruang dengan deretan pakaian beragam merek, dan hanya menyisakan lorong sempit untuk berlalu-lalang.  

Para pedagang penuh semangat menawarkan barangnya, berteriak saling bersahutan, ”Dipilih… dipilih… dipilih.” 

Di sebuah akhir pekan pada Agustus 2022 itu, suasana di Pasar Cimol tampak ramai, setelah hampir dua tahun ke belakang sepi akibat pandemi Covid-19.

Begitu pandemi mereda, roda ekonomi di kawasan perdagangan itu mulai berputar dan bisnis limbah pakaian pun kembali berdenyut. 

Mayoritas baju dan celana yang digantung di sana bermerek luar negeri, terutama dari Asia. 

“Dari China, Korea, Jepang. China, Korea, Jepang, itu saja,” kata Nia, bukan nama sebenarnya, seorang pedagang Pasar Cimol saat ditanya dari mana asal pakaian jualannya yang jadi buruan pembeli. 

Tren fesyen anak muda masa kini cenderung berkiblat ke gaya busana Korsel dan Jepang, apalagi ukuran baju asal Asia sesuai dengan postur kebanyakan orang Indonesia.  

Sementara jenama non-Asia, seperti Levi’s, Zara, dan Guess, dicari oleh konsumen yang mengejar gengsi.  

Walaupun, mencari jenama ternama di antara tumpukan atau deretan pakaian-pakaian bekas itu diibaratkan mencari ‘harta karun’ yang mengandalkan keberuntungan. 

Joni Setiawan, salah satu pemburu pakaian bekas bermerek, jauh-jauh datang dari Jakarta untuk mencari celana jin branded di Pasar Cimol.  

Disebut harta karun lantaran merek-merek yang diburunya sulit ditemukan, seperti True Religion, jenama dari Amerika Serikat, dan Evisu dari Jepang. 

Di toko resminya, harga jin merek-merek itu dibanderol jutaan rupiah, tapi di Pasar Cimol, kurang dari Rp300 ribu saja.

“Levi’s harga aslinya bisa sampai satu jutaan ke atas, kalau di sini paling Rp100 ribuan sampai Rp150 ribuan, tapi kan bekas. Anak-anak muda yang tahu brand, pasti cari ke sini,” ujar pemuda 30 tahun ini.

Situasi ini mendorong impor pakaian bekas ilegal semakin marak dan sulit diberantas. 

“Masih diminati oleh masyarakat karena harga yang murah,” ujar Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono, Senin (29/8).

Veri tidak menyebut barang bermerek sebagai daya tarik, tapi kenyataan di lapangan mengukuhkan anggapan itu.

Seperti yang diakui oleh Sentri, pedagang di pakaian bekas di bilangan Jalan Paus. 

“Karena kita itu gila branded dan gila akan barang luar negeri. Imej kita barang luar lebih bagus, jadi laku saja. Bahkan, kadang yang sudah sobek mau juga dibeli, asal mereknya bagus,” kata perempuan yang akrab dipanggil Tri ini.

Pakaian bekas yang kualitasnya hanya 35% dari versi barunya, ujar Yati, “Katakanlah merek Levi’s, tetap laku.”

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), volume dan nilai impor pakaian bekas ke Indonesia relatif meningkat setiap tahunnya dan memuncak pada 2019.

Di tahun tersebut, impor pakaian bekas mencapai volume 392 ton dengan nilai US $6,08 juta. 

Pada 2021, BPS mencatat impor pakaian bekas Indonesia hanya delapan ton dengan nilai US $44 ribu dengan pos tarif HS 6309 (worn clothing and other worn articles/pakaian bekas dan produk bekas lainnya).

Namun menurut situs Trade Map, seperti dilaporkan oleh Kompas, data ekspor baju bekas yang dicatat negara eksportir menunjukkan, sepanjang 2021, ada 27.420 ton baju bekas yang diimpor Indonesia dengan nilai total US $31,95 juta. 

Perbedaan angka ini menimbulkan kecurigaan banyaknya pakaian bekas yang masuk Indonesia melalui jalur ilegal.

‘Setiap hari buka bal-balan’ 

Pakaian bekas dengan pos tarif HS 6309 dilarang untuk diimpor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. 

Produk ini dikategorikan sebagai limbah mode dan dilarang untuk diimpor masuk karena terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan.

Namun meski aturan menyatakan ilegal, distribusi pakaian bekas impor tetap mengalir ke Pasar Pekanbaru. Pedagang mengaku bisa kapan pun mendapatkan barang yang diinginkan.  

“Kami hampir tiap hari buka bal-balan, mau booking juga ada setiap hari,” ujar Nia (bukan nama sebenarnya).

Ketika didatangi pada Agustus lalu, puluhan bal pakaian bekas terlihat bertumpuk di gudang-gudang yang berada di seputaran pasar.

Beberapa tahun lalu, saat dirinya masih berdagang, ia biasa membeli beberapa bal pakaian bekas impor dua kali sepekan.

“Kalau laku, ya, kami beli lagi. Di gudang-gudang itu, standby terus barangnya. Bahkan sekarang semakin menjamur gudangnya,” ungkapnya. 

Ia mengakui, bisnis pakaian bekas impor menggiurkan sebab keuntungannya yang relatif besar. Berdasarkan pengalamannya selama lima tahun, Nia bisa balik modal hanya dengan menjual 20% dari sekitar dua ratus helai pakaian bekas impor yang dibelinya.  

Nia, yang spesialis menjual jaket, mengeluarkan modal sekitar Rp6 juta untuk membeli satu bal jaket bekas. Dia bisa balik modal dengan menjual sebanyak 40 lembar jaket.

“Dalam satu bal jaket, isinya memang 10 persen sudah pasti bermerek. Ada yang baru, ada yang kondisi 80 persen. Rata-rata dalam satu bal itu, 20 persen terjual, sudah balik modal.”

Cerita Tri beda lagi. Ia mengaku membayar Rp14 juta untuk satu bal pakaian bekas impor, yang di dalamnya ada sekitar 350 lembar baju perempuan.

Tergantung kualitasnya, Nia dapat menjual pakaian yang kualitasnya masih bagus seharga Rp250.000, sedang kualitas rendah dan menengah dijual antara Rp15.000 hingga Rp150.000.

Pakaian dalam bekas pun laku dijual di Pasar, dan pedagang merogoh modal lebih besar untuk membelinya.

“Kenapa lebih mahal dari pakaian lain, karena dalam satu bal jumlahnya bisa ribuan pieces. Di dalamnya ada celana dalam pria dan wanita, bra, long torso, atau kemben. Harga jualnya bervariasi dari Rp5.000 sampai ratusan ribu per helai, tergantung kualitas dan merek,” kata Tri.

Dalam skala lebih besar, bisnis ini juga menggiurkan bagi para importir. Jika importir membeli satu pack yang isinya kurang lebih 250 bal dengan harga Rp800 juta hingga Rp900 juta per pack, lalu dijual kepada pedagang sekitar Rp10 juta per bal, keuntungannya bisa miliaran.

“Jadi kenapa mereka berani [melanggar aturan], karena memang menggiurkan bisnisnya,” ungkap Tri.

Diselundupkan melalui pelabuhan tikus 

Kemendag teru melakukan pemusnahan bal pakaian bekas impor.

"Ini sebagai bentuk respons kami atas semakin maraknya perdagangan pakaian bekas yang diduga asal impor melalui transaksi daring maupun luring,” kata Mendag Zulkifli Hasan, melalui siaran pers. 

Tiga tahun lalu, Kemendag juga menyita sebanyak 551 bal pakaian bekas impor yang akan dijual kepada konsumen di Kota Bandung, yang nilainya ditaksir mencapai Rp4-5 miliar. 

Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono menyebutkan, pakaian bekas yang berasal dari sejumlah negara dikumpulkan dan dikirim dari negara tetangga Indonesia.

“Walaupun kami lihat [barangnya] berasal dari negara lain, tapi masuknya dari negara tetangga terdekat. Masuk dari pintu-pintu pelabuhan-pelabuhan tikus dari negara tetangga kita,” ungkap Veri Anggrijono tanpa menyebutkan nama negara yang dimaksud. 

Sebelumnya Veri menyebutkan, pelabuhan-pelabuhan tikus tersebut berada di berbagai wilayah, antara lain Sumatra, Tembilahan, Riau, dan beredar sampai ke Pulau Jawa melalui jalur darat.

Sepengetahuan Tri, saat ia masih berjualan, pakaian bekas itu dikirim dari arah perbatasan Singapura dan Malaysia dengan kapal tongkang melalui Batam dan Kalimantan.

“Sekarang lebih canggih lagi. Istilahnya kucing-kucingan, di mana pelabuhan yang sepi di situlah mereka masuk. Jadi posnya tidak hanya satu,” kata Tri. 

Dulu, ungkap Tri, barang akan dikirim langsung ke Pasar Cimol, tapi seiring dengan banyaknya kasus impor pakaian bekas yang diungkap, diketahui bongkar muat juga dilakukan di luar wilayah Riau.

“Kami pedagang tinggal membeli di tempat,” sebut Tri.

Veri mengatakan, penyelundupan pakaian bekas ini disinyalir melibatkan sindikat yang terorganisir. 

“Karena ditangkap di daerah, muncul di daerah lain lagi. Saya tidak mengatakan sindikat besar, tapi terorganisir,” ujar Veri, menambahkan bahwa sumber daya Kemendag terbatas untuk mengawasi banyaknya pelabuhan tikus.

Karena itu, Veri berharap ada keterlibatan lembaga serta masyarakat dalam melakukan pengawasan proses importasi pakaian bekas ini. 

“Di Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada tiga komponen yang diberikan kewenangan pengawasan, yaitu pemerintah, masyarakat, maupun LPKSM [Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat]. Ini harusnya bersama-sama, terutama masyarakat dalam memberikan informasi,” ujarnya.

Di sisi lain, sejumlah pihak menilai Kemendag belum serius dalam memberantas penyelundupan pakaian bekas. Ini diungkap oleh Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan, Rachmat Gobel.  

Kendati beberapa waktu lalu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mendemonstrasikan pemusnahan ratusan bal pakaian bekas impor hasil sitaan. 

“Walaupun saya sangat mengapresiasi upaya menteri perdagangan yang ingin menunjukkan kepada publik bahwa beliau tak setuju impor pakaian bekas. Karena itu secara demonstratif ia membakar pakaian bekas."

“Namun saya belum mendengar pelakunya ditangkap atau pelakunya berkewajiban untuk mengembalikannya,” ujar Rachmat melalui aplikasi percakapan, seperti dirilis BBC News Indonesia, Sabtu (3/9).

Soal ‘menampung sampah’ dan ‘martabat’ 

Masalah impor pakaian bekas sudah menjadi perhatian Rachmat sejak menjabat sebagai menteri perdagangan, bahkan ketika aktif sebagai pengurus Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pada 2021.  

Saat menjabat menteri perdagangan, Rachmat menerbitkan Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

Dalam peraturan itu disebutkan pakaian bekas impor yang masuk ke wilayah Indonesia wajib dimusnahkan dan importir dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Dengan masuknya pakaian bekas yang di negara asalnya dianggap limbah, menurut Rachmat, menjadikan Indonesia sebagai negara penampung sampah.

“Jadi kita ketiban ketambahan sampah. Dan sampah tekstil itu tak mudah dimusnahkan. Karena ini sintetis dan mengandung bahan kimia,” kata Rachmat.

Kain butuh waktu lama untuk terurai. Tergantung dari bahannya, proses dekomposisi kain bisa membutuhkan bertahun-tahun - bahan sintetis seperti polyester atau lycra bahkan membutuhkan 20-200 tahun untuk terurai. 

Pernyataan Rachmat ini diamini Tri. Berdasarkan pengalamannya, tidak semua pakaian bekas impor dalam satu bal dalam kondisi baik sehingga gagal terjual.

“Pasti ada yang terbuang, tapi ada juga yang memungut. Artinya, ada yang jual ke kampung-kampung, atau ke mana saja,” kata Tri.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) juga telah mencatat timbulan sampah pakaian bekas atau kain dari total sampah berton ton.  

Sampah pakaian bekas atau kain terus berseleweran disetiap sudut kota berasal dari pusat perdagangan pakaian atau kain bekas.

Secara nasional, menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2021, prosentase sampah kain mencapai 2.633 ton atau 2,6% dari 29 juta ton sampah.  

Selain masalah sampah, Rachmat Gobel menekankan permasalahan impor pakaian bekas juga melukai martabat Indonesia.

 “Ya, ini soal dignity. Pertama, impor pakaian bekas itu di antaranya adalah pakaian dalam wanita. Saat saya masih menjadi menteri perdagangan, ada seorang ibu yang bercerita bahwa dirinya bangga bisa mengenakan pakaian dalam bermerek yang ia beli dari hasil impor pakaian bekas. Ini, kan, memprihatinkan. 

“Kedua, ini yang terpenting, bangsa kita bisa menjadi bangsa yang tidak memiliki dignity, martabat. Ini soal harkat dan martabat kita sebagai bangsa. Ini juga berarti kita menjadi bangsa yang merendahkan kreativitas sumber daya manusia,” tukas Rachmat.

Produk tekstil lokal paling dirugikan 

Di sisi lain, impor dan penjualan pakaian bekas yang terus hidup justru mematikan industri konveksi rumahan dan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah).  

Koordinator Hubungan Industri Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Andrew Purnama mengungkapkan, impor pakaian bekas menimbulkan efek berganda pada industri tekstil.

“Apabila industri hilirnya merugi, otomatis industri hulunya akan kehilangan daya beli,” sebut Andrew.

Menurut Andrew, ada sekitar 2.900 industri garmen, 500.000 industri kecil menengah, 1.500 industri tekstil, 43 industri fiber, dan 254 pemintalan benang secara nasional.

“Ini akan merugi semua,” ucapnya.

Pasalnya, jelas Andrew, dengan modal Rp15.000-Rp20.000, penjual pakaian bekas impor masih dapat untung besar meski dijual dengan harga Rp35.000. Sementara pakaian sejenis produksi IKM minimal harus dijual dengan harga Rp75-100 ribu.  

Pengusaha garmen dan tekstil lokal juga diwajibkan membayar PPN sebesar 11% yang tentunya akan mempengaruhi harga.   

“Ini kondisi yang sangat mengkhawatirkan untuk IKM dan industri dalam negeri,” kata Andrew.

Mirisnya lagi, sebut Andrew, pakaian bekas impor juga bebas dijual di berbagai aplikasi belanja online dengan harga terjangkau. Tidak hanya dijual per helai, pakaian bekas impor juga dijual per bal.

“Kami berharap setiap kebijakan pemerintah dapat mendorong semangat industri lokal dan IKM untuk lebih baik lagi dan mampu bersaing di pasar lokal maupun internasional,” harap Andrew.

Pada akhirnya, kata Rachmat Gobel, risiko terbesar adalah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh tekstil dan garmen lokal. Ini merupakan efek domino yang bisa menyebabkan industri konveksi rumahan dan UMKM gulung tikar, sebut dia.

“Impor pakaian bekas pada akhirnya membuat industri tekstil berkurang permintaan. Ini bisa mengganggu investasi dalam industri tekstil,” ujar Rachmat.

Hasil lab: Tak cukup cuci berkali-kali 

Bagi konsumen, bahaya kesehatan juga mengintai dari pakaian bekas impor, terutama bila langsung dipakai. 

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan Kemendag di Balai Pengujian Mutu Barang, sampel pakaian bekas impor yang telah disita terbukti mengandung jamur kapang.

Menurut Pakar Kesehatan Masyarakat, Ardini Raksanagara, jamur muncul akibat kondisi pakaian yang lembap. Sebelum diimpor, pakaian bekas biasanya dikumpulkan dalam karung dengan jangka waktu tertentu di gudang yang memicu kelembapan dan menumbuhkan jamur.

Cemaran jamur kapang berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, seperti gatal-gatal dan reaksi alergi pada kulit, efek beracun iritasi, dan infeksi karena pakaian tersebut melekat langsung pada kulit. 

Namun yang paling berbahaya, kata Ardini, bila spora jamur terhirup hingga masuk ke dalam paru-paru.

“Spora jamur bisa menimbulkan pneumokoniosis [kelainan akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu] atau menimbulkan rasa sesak,” kata dia.

Selain jamur dan bakteri, penyakit juga bisa disebabkan oleh zat kimia atau debu, lanjut Ardini, yang menjabat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Universitas Padjadjaran.

“Debu itu akan mempengaruhi paru-paru, terutama kalau bahan-bahannya katun. Jadi ada yang namanya bisinosis yaitu penyakit paru-paru yang disebabkan oleh debu-debu bahan katun (penyakit akibat menghirup partikel rami dan debu kapas), bisa memicu alergi,” papar Ardini.

Tak kalah berbahaya, ancaman penyakit leptospirosis yang ditularkan melalui kencing tikus. Pasalnya, besar kemungkinan karung-karung pakaian bekas impor dikencingi tikus saat berada di gudang.

Ardini mengatakan, pakaian bekas impor bisa saja aman dipakai dengan syarat dicuci bersih menggunakan deterjen antibakteri, dijemur di bawah sinar matahari, dan disetrika.  

Sinar matahari dan suhu panas dari setrika, sebut Ardini, akan mematikan kuman-kuman yang ada, termasuk tungau yang bisa menyebabkan penyakit scabies. 

Ini harus dilakukan konsumen sendiri, karena penjual - seperti Nia di Pasar Cimol - biasanya akan langsung memajang pakaian setelah membongkar bal.

Meski begitu, berdasarkan temuan Kemendag dari hasil pengujian, cemaran jamur kapang tidak bisa hilang bahkan setelah dicuci berkali-kali.

“Saya tanyakan, apakah setelah dicuci berkali-kali tetap mengandung kumannya.  [Ternyata] masih terdapat kumannya. Yang pasti dalam jangka sekian waktu dipakai akan berdampak ke kulit,” tegas Veri.

Meski penjualan dan peredaran pakaian bekas impor berdampak pada kesehatan masyarakat, terlebih lagi dengan munculnya tren thrift fashion yang berpeluang memperluas dampaknya, pemerintah mengaku tidak memiliki kewenangan melarang, kata Veri.  

Sejauh ini, lanjut Veri, pemerintah hanya bisa melarang praktik importasinya, bukan peredarannya. 

“Tidak bisa [dilarang]. Menjual barang bekas di pasar itu, kan, tidak dilarang. Yang dilarang, proses importasinya. Kita hanya [bisa] mengedukasi konsumen supaya menjadi konsumen yang cerdas dalam mengkonsumsi produk komoditinya,” sebut Veri.

Sejauh ini, kebijakan yang ada membatasi kewenangan pemerintah daerah untuk memberantas penyelundupan juga peredaran pakaian bekas impor di wilayahnya.  

“Kewenangannya mutlak ada di Kementerian Perdagangan.  Jadi kami tidak terlalu banyak terlibat,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Iendra Sofyan.

Dalam hal impor ilegal pakaian bekas, kata Iendra, pihaknya hanya sebatas membantu mengawasi dan melaporkan temuan. Sedangkan soal peredarannya di pasaran, kata Iendra, “tidak ada tugas khusus dari Kementerian Perdagangan.”

Iendra mengakui peredaran pakaian bekas impor saat ini sangat dinamis sehingga dibutuhkan penyesuaian aturan, termasuk mekanisme pengawasannya. (*)

Tags : Bisnis, Industri pakaian, Ekonomi, Indonesia, Perubahan iklim, Kesehatan,