Headline Sorotan   2024/04/30 11:18 WIB

Indonesia-China Siapkan Proyek Satu Juta Hektare Sawah di Kalteng, 'Pro Kontra Terjadi yang Dikhawatirkan akan Ulangi Kegagalan'

Indonesia-China Siapkan Proyek Satu Juta Hektare Sawah di Kalteng, 'Pro Kontra Terjadi yang Dikhawatirkan akan Ulangi Kegagalan'

"Pro kontra rencana Pemerintah ingin membuka lahan sejuta hektar di Kalimantan untuk padi Cina dikhawatirkan akan mengulangi kegagalan food estate yang pernah terjadi masa rezim Suharto"

encana Indonesia menggandeng China untuk mengembangkan lahan sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah dinilai tak realistis dan hanya akan mengulang kegagalan yang terus terjadi selama tiga dekade terakhir sejak era Presiden Soeharto.

Pemerintah Indonesia mengklaim telah mencapai kesepakatan dengan China untuk bekerja sama mengembangkan lahan sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah.

Lembaga Ketahanan Ekonomi Desa Nasional [LKED Nas] H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak, menyatakan tak mempermasalahkan rencana pemerintah yang ingin menggunakan lahan di Kalimantan Tengah untuk pengembangan sawah padi Cina ini.

"Kalau dari sisi varietas sebenarnya tidak masalah karena sebelum dikembangkan pasti ada tahapan pelepasan melalui Menteri Pertanian," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 30 April 2024.

Ini disebut akan mengatasi masalah beras nasional, apalagi mengingat Indonesia kerap bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Namun, bila pengembangan sawah yang dimaksud adalah bagian dari proyek food estate pemerintah, para pakar meragukan keberhasilannya.

Apalagi, selama tiga dekade terakhir, berbagai proyek lumbung pangan telah diluncurkan di Indonesia oleh beberapa presiden berbeda dan berujung kegagalan.

Bagaimana detail kerja sama Indonesia-China?

Pemerintah Indonesia dan China membahas kerja sama ekonomi kedua negara dalam Dialog Tingkat Tinggi dan Mekanisme Kerja Sama (HDCM) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat 19 April 2024.

Pertemuan itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang mewakili Indonesia, serta Menteri Luar Negeri China, Wang Yi.

Luhut lantas membagikan hasil pertemuan itu melalui dua unggahan berbeda di akun Instagram resminya, masing-masing pada 19 dan 22 April.

Di unggahan pertama, Luhut bilang ia dan Yi sempat membahas "rencana proyek penanaman padi di kawasan food estate Kalimantan Tengah".

Di unggahan kedua, Luhut mengeklaim China bersedia "memberikan teknologi padi" yang membuat mereka sukses mencapai swasembada beras untuk diterapkan di lahan seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah.

"Mereka bersedia, dan kita tinggal sekarang mencari local partner-nya untuk membuat di Kalteng. Karena tanahnya itu dari zaman dulu sudah ada, itu sampai 1 juta hektare," kata Luhut, sebelum menambahkan bahwa Bulog akan membeli hasil produksi beras dari proyek ini.

Menurut Luhut, pengembangan sawah di Kalimantan Tengah bisa dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dengan lahan 100.000-200.000 hektare terlebih dahulu.

Kerja sama dengan China ini diharapkan dapat berjalan "enam bulan dari sekarang" dan menyelesaikan masalah beras nasional. Ini penting, kata Luhut, karena Indonesia rutin mengimpor beras antara 1,5 juta dan 2 juta ton per tahun.

Bila proyek ini berjalan, kata Luhut, "Sudah selesai masalah ketahanan pangan kita untuk beras."

"Kita menjadi lumbung pangan nanti, yang harusnya demikian."

Meski begitu, Luhut tak menjelaskan secara mendetail teknologi apa yang akan dibawa dari China serta lokasi pasti lahan satu juta hektare yang akan ditanami padi di Kalimantan Tengah.

Lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Unggahan di Instagram-nya mengindikasikan proyek ini akan berlangsung di kawasan food estate yang telah ditetapkan pemerintah di Kalimantan Tengah.

Soal teknologi China dan lokasi proyek ini ke dua pejabat Kementerian Luar Negeri, tiga pejabat Kementerian Pertanian, dan dua pejabat Badan Pangan Nasional (Bapanas) tentu mengetahuinya.

Namun, mereka tidak merespons, menolak berkomentar, atau menyarankan agar meminta penjelasan langsung dari Luhut.

Abdul Kadir Jailani, Direktur Jenderal Asia, Pasifik, dan Afrika Kementerian Luar Negeri, mengatakan, "Sebaiknya ditanyakan langsung ke Menkomarves [Luhut]."

Kuntoro Boga Andri, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, bilang, "Konfirmasi ke beliau [Luhut]."

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi pun mengatakan, "Sebaiknya dengan Pak Luhut supaya informasinya benar."

Sementara komentar tiga pejabat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, tidak ada satu pun yang merespons.

'Konsep food estate pasti gagal'

Food estate atau lumbung pangan secara sederhana adalah proyek pengelolaan lahan pangan berskala besar.

Menurut Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, ada empat pilar pengembangan lumbung pangan.

Pilar pertama adalah kecocokan tanah dan iklim dengan komoditas yang ditanam.

"Di banyak proyek food estate, [pilar pertama] ini pun sudah dilanggar. Tanah tidak cocok, dipaksakan untuk padi, sawah," kata Andreas.

"Hasilnya apa? Ya pasti gagal."

Pilar kedua adalah infrastruktur pertanian, termasuk pengairan atau irigasi.

"Air kalau enggak bisa dikelola, selesai," ujar Andreas.

"Ketika musim penghujan, banjir. Lalu ketika musim kemarau, kering."

Infrastruktur lainnya adalah jalan usaha tani, yang dibutuhkan untuk mobilitas alat dan mesin pertanian serta pengangkutan hasil produksi menuju tempat pengumpulan.

Pilar ketiga adalah budaya budi daya dan teknologi.

Ini mencakup budaya bertani masyarakat setempat serta ketersediaan varietas atau kelompok tanaman yang cocok untuk ditanam di lahan bersangkutan, kata Andreas.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah teknologi untuk pengendalian hama, pemupukan, dan pengelolaan lahan gambut atau lahan sulfat masam – lahan dengan tingkat keasaman rendah yang mengganggu pertumbuhan tanaman.

Pilar keempat adalah pilar sosial dan ekonomi, termasuk yang menyangkut tenaga kerja dan perhitungan keuntungan badan usaha.

Satu petani di Indonesia biasanya mampu menggarap lahan 2.000 meter persegi, kata Andreas.

Katakanlah para petani dibantu sejumlah teknologi modern sehingga masing-masing bisa mengelola lahan hingga 2 hektare. Berarti, butuh setidaknya 500.000 petani untuk menggarap sawah 1 juta hektare.

"Dari mana bisa dapat 500.000 petani?" kata Andreas.

Ah Maftuchan, direktur eksekutif lembaga riset The Prakarsa, mengatakan hal senada.

Ilustrasi lahan sawah di Indonesia.

Menurutnya, selama ini pemerintah kerap meluncurkan proyek-proyek food estate ambisius dengan luas lahan besar, tapi kebingungan mencari orang-orang untuk mengerjakannya.

"Yang akan mengerjakan siapa?" kata Maftuchan.

"Apa yang dilakukan dengan proyek [food estate] selama ini kan akhirnya melibatkan tentara. Tentara disuruh nanem. Apa itu? Enggak masuk akal."

Selain itu, Andreas bilang sawah yang ada mesti bisa menghasilkan setidaknya 4 ton gabah kering per hektare tiap kali panen. Bila tidak, biaya produksinya akan lebih besar daripada keuntungannya sehingga badan usaha yang terlibat akan merugi.

"Siapa yang mau bertani untuk rugi?" kata Andreas.

"Kalau badan usaha berusaha untuk rugi, enggak ada yang mau."

Bila satu saja dari empat pilar tersebut tak terpenuhi, maka proyek lumbung pangan hanya akan berujung kegagalan, kata Andreas.

Dan, tambahnya, itulah yang terjadi pada berbagai proyek lumbung pangan di Indonesia dalam setidaknya tiga dekade terakhir sejak era Presiden Soeharto.

Karena itu, bila pemerintah masih bersikeras mendorong pengembangan food estate melalui kerja sama dengan China, Andreas menilai itu akan sia-sia.

"Apakah kali ini kemudian berhasil?" kata Andreas. "Ya jawabannya pasti gagal."

Maftuchan pun pesimistis melihat proyek 1 juta hektare lahan sawah di Kalimantan Tengah, meski pemerintah mengatakan akan mengembangkannya secara bertahap, dimulai dengan 100.000-200.000 hektare.

"Pemerintah jangan mengulang kegagalan yang sudah pernah terjadi terkait dengan megaproyek food estate," kata Maftuchan.

"Meskipun bertahap, tapi 100.000-200.000 hektare itu tetap huge number untuk lahan pertanian."

Alih-alih mengembangkan food estate seluas 1 juta hektare, lebih baik pemerintah memilih lahan di lokasi-lokasi tertentu dalam area itu yang memenuhi segala persyaratan, sejalan dengan empat pilar pembangunan lumbung pangan, kata Andreas.

Lalu, pemerintah diusulkan membuka program transmigrasi untuk mendatangkan petani dari berbagai daerah untuk menggarap lahan-lahan pilihan tersebut.

"Dikembangkan mungkin hanya beberapa ratus hektare atau beberapa ribu hektare dulu di lokasi-lokasi yang betul-betul dipilih dengan saksama," kata Andreas.

"Jadi, konsepnya pembangunan lahan pertanian yang berbasis petani kecil, bukan food estate."

Opsi lainnya, menurut Maftuchan, pemerintah bisa fokus meningkatkan produktivitas lahan sawah yang sudah ada dibanding membuka lahan baru dengan luas "fantastis".

"Tinggal bagaimana pemerintah menemukan atau mencari teknologi dari berbagai negara, kemudian didorong produktivitasnya naik, pupuk diberesin, bibit diberesin, teknologi tepat guna diberesin, skill petani dinaikkan, dan seterusnya," kata Maftuchan.

"Itu justru akan lebih menjanjikan bagi saya dibanding mencetak lahan yang jumlahnya fantastis seperti itu. Karena siapa yang mengerjakan itu enggak jelas kan."

Pro kontra rencana pemerintah untuk padi cina

Rencana pemerintah membuka lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk proyek penanaman padi Cina, menimbulkan pro dan kontra. 

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Cina bersedia mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah dengan memberikan teknologi padi mereka. Proyek kerja sama ini akan dimulai Oktober 2024.

Ilustrasi petani menggarap sawah.

“Kita (Indonesia) minta mereka (Cina) memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sangat sukses menjadi swasembada. Mereka bersedia,” ujar Luhut dalam akun Instagram resminya @luhut.pandjaitan, Minggu, 21 April 2024.

Sementara Lembaga Ketahanan Ekonomi Desa Nasional [LKED Nas] H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Ak tak mempermasalahkan rencana pemerintah yang ingin menggunakan lahan di Kalimantan Tengah untuk pengembangan sawah padi Cina.

"Kalau dari sisi varietas sebenarnya tidak masalah karena sebelum dikembangkan pasti ada tahapan pelepasan melalui Menteri Pertanian," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 25 April 2024.

Darmawi Wardhana mengatakan varietas padi itu juga akan diverifikasi oleh Tim Penilaian Pelepasan Varietas Tanaman Pangan yang independen melalui pengujian adaptasi dan kesesuaian lingkungan Indonesia apakah cocok atau tidak.

"Kita lihat saja kalau memang ada varietas yang cocok dikembangkan di Kalimantan Tengah," ucap Darmawi Wardhana.

Namun dia mengatakan, sebenarnya sudah ada tanaman padi yang dikelola petani setempat yang sesuai dengan kondisi kemasaman tinggi karena lahan sulfat masam.

Tanah sulfat masam atau sulfaquept soils adalah salah satu jenis tanah atau tipologi lahan yang dijumpai di lahan rawa pasang surut.

Jenis tanah itu mengandung mineral sulfida besi atau pirit yang familiar disebut emas palsu.

Orang awam menyebut itu lahan gambut, tetapi sebenarnya lahan tersebut merupakan lahan yang ada campuran tanah mineral karena jika gambut murni tidak mungkin tanaman padi bisa hidup. 

Pada kondisi lahan sulfat asam itu, kata Darmawi Wardhana, petani biasanya hanya menanam varietas lokal. Penduduk asli Suku Banjar menanam padi lokal Siam.

Beberapa varietas padi juga sudah dilepas ke petani, seperti Inpari dan Inpara.

Bahkan, sejumlah petani juga menanam padi hibrida.

"Setahu saya di Cina tidak ada lahan pasang surut dengan sifat sulfat masam, seperti di Indonesia. Tapi kita belum tahu, seperti apa padinya," katanya.

Darmawi Wardhana mengharapkan pemerintah meningkatkan indeks pertanaman meningkatkan produksi padi dan kesejahteraan petani dibandingkan membuka lahan sejuta hektar untuk padi Cina.

"Sebenarnya kalau pemerintah serius ingin membangun kebijakan kedaulatan pangan, kita masih punya potensi di aspek peningkatan indeks pertanaman," kata dia.

Ia mengatakan jika usia tanaman padi rata-rata 3,5 bulan dan ditanam pada lahan sawah beririgasi di Indonesia yang luasnya mencapai 7,1 juta hektare, ada peluang membuat pertanaman padi sebanyak tiga kali dalam setahun.

Saat ini, kata dia, rerata indeks pertanaman padi di Indonesia baru mencapai 1,55 yang berarti masih ada sisa waktu pada lahan sawah beririgasi sebanyak 1,45 kali penanaman.

"Dengan kata lain, 1,55 itu menggambarkan bahwa hanya separuh dari luas lahan sawah 7,1 juta hektare itu yang ditanami padi dua kali dalam setahun, sisanya satu kali," sebutnya.

"Berarti ada lahan yang tersedia di sawah irigasi kita seluas 3,5 juta hektare yang ditanami padi satu kali dalam setahun, padahal itu adalah sawah," sambungnya.

Menurut dia, yang menjadi persoalan hingga saat ini belum ada data valid terkait di mana dan kapan lahan-lahan sawah itu hanya ditanami padi satu kali dalam setahun.

Ia mengatakan jika ada data valid, maka sisa lahan sawah yang belum ditanami padi itu 3 kali setahun itu bisa ditingkatkan indeks pertanamannya.

"Ini akan membutuhkan investasi yang jauh lebih rendah daripada mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan," katanya.

Darmawi Wardhana menilai kebijakan untuk mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan untuk food estate dengan menggunakan investasi dari Cina saat ini sebetulnya belum menjadi prioritas.

"Disebabkan bahwa kita itu sebetulnya memiliki kemampuan dari segi SDM (sumber daya manusia), teknologi, maupun budaya yang mendukung untuk terpenuhinya kebutuhan pangan. Hanya persoalannya di tingkat kebijakan yang menurut hemat saya, belum berpihak kepada kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan di Indonesia," katanya.

Apabila kebijakan mencetak 1 juta hektare sawah baru di Kalimantan dengan menggunakan investasi dari luar negeri itu dilakukan, kata dia, setidaknya akan terjadi pengambilalihan hak kepemilikan lahan dari masyarakat lokal dan hal itu akan berpotensi menimbulkan konflik.

Selain itu, kata dia lagi, di Kalimantan akan ada masalah lagi terkait dengan kesuburan lahan maupun ketersediaan air untuk irigasi selama satu tahun, sehingga setidaknya ditanam di pulau tersebut hanya bisa dilakukan satu tahun.

"Atau kalau mau menjadi dua kali setahun, perlu investasi lebih banyak untuk penyediaan air," katanya.

Menurut dia, food estate di Kalimantan tidak terkait dengan kesejahteraan petani, karena ketika produksi padinya banyak akan semakin lemah harga tawar produk panen petani seperti halnya harga gabah jatuh saat panen raya.

Selain itu, kata dia, pengembangan padi 1 juta hektare dengan investasi dan tenaga asing itu menggambarkan seolah-olah pemerintah kurang percaya dengan kepakaran dan penguasaan teknologi oleh petani maupun ahli pertanian di Indonesia.

"Oleh karena itu, saran saya kalaupun mau mengembangkan sawah 1 juta hektare itu perlu kajian yang saksama dan detail, terkait dengan aspek politik, ekonomi, budaya, dan juga keberlanjutan daya dukung lahan," katanya.

Sejarah kegagalan food estate di Indonesia

Ide untuk membangun lumbung pangan seluas lebih dari 1 juta hektare di Kalimantan Tengah telah muncul sejak era Orde Baru.

Pada 1985-1986, Indonesia di bawah pimpinan presiden otoriter Soeharto berhasil mencapai swasembada sehingga sama sekali tidak mengimpor beras.

Ilustrasi petani memanen padi.

Setelahnya hingga 1993, impor beras relatif minim. Hanya pada 1987, 1991, dan 1992 angkanya sempat menyentuh ratusan ribu ton per tahun.

Namun, kemarau panjang pada 1994 dan menyusutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras turun drastis.

Karena itu, Soeharto melempar ide pada jajaran menterinya pada Juni 1995 untuk membuka lahan pertanian raksasa di lahan rawa seluas 5,8 juta hektare di Kalimantan Tengah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah, merujuk catatan Tempo.

Saat itu, ia meminta agar panen pertama dari proyek itu bisa terjadi dalam dua tahun.

Lalu, terbitlah Keputusan Presiden No. 82/1995 tentang pengembangan lahan gambut (PLG) pada Desember 1995. Dikebut, proyek ini mulai berjalan pada 1996.

Dalam prosesnya, luas area PLG menciut jadi "hanya" 1,46 juta hektare.

Berdasarkan laporan Tempo, proyek ini kental dengan kolusi dan korupsi, entah terkait pembukaan lahan, pembangunan perumahan transmigran, pencetakan sawah, ataupun pengembangan saluran irigasi.

Saluran primer induk sepanjang ratusan kilometer yang dibangun saat itu pun justru memotong lahan gambut tebal dan memicu berbagai kerusakan ekologis, termasuk punahnya puluhan satwa liar, meningkatnya potensi banjir dan kebakaran, serta pencemaran tanah dan air.

Pada Maret 1997, Soleh Solahuddin yang saat itu menjabat rektor Institut Pertanian Bogor pun mengatakan hanya 586.700 hektare dari total 1,46 juta hektare lahan proyek PLG yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan, seperti dilaporkan Kompas.

Alhasil, produksi beras dari proyek PLG jauh dari harapan. Pada 1999, banyak lahan sawah telantar dan wilayah permukiman transmigran pun mulai ditinggalkan.

Akhirnya, Presiden BJ Habibie membatalkan proyek PLG melalui Keputusan Presiden No. 80/1999 yang terbit pada Juli 1999.

Namun, kegagalan ini tak menghentikan presiden-presiden selanjutnya untuk mendorong pengembangan lumbung-lumbung pangan baru.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] sempat punya program Merauke Integrated Food and Energy Estate [MIFEE], yang diluncurkan pada Agustus 2010 dan membutuhkan lahan seluas 2,5 juta hektare di Merauke, Papua [kini di Papua Selatan].

Pemerintahan SBY pun sempat meluncurkan proyek food estate di Bulungan, Kalimantan Utara, pada 2011 dan di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2013.

Dua proyek ini ditargetkan mencetak sawah masing-masing seluas 30.000 dan 100.000 hektare.

Di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, food estate pun sempat masuk dalam daftar proyek strategis nasional [PSN] yang dirilis pada Januari 2016.

Rencananya, food estate akan dibangun di Papua, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, dengan total luas lahan mencapai 1,7 juta hektare.

Proyek di Papua rencananya akan jadi kelanjutan MIFEE dari era SBY, meski dengan alokasi lahan lebih kecil, yaitu 1,2 juta hektare.

Ilustrasi petani menggarap sawah.

Namun, seluruh proyek food estate itu keluar dari daftar PSN sejak 2017, karena dianggap "tidak strategis lagi" dan tidak mendapat dukungan dari daerah.

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, mengatakan, dapat disimpulkan bahwa pengembangan food estate di Indonesia selama ini "konsisten gagal".

"Bisa dibayangkan setiap presiden ganti lokasi. Uang dihambur-hamburkan," kata Andreas.

"Puluhan triliun dihambur-hamburkan untuk proyek itu. Untuk apa? Untuk gagal."

Namun, ide lumbung pangan kembali hidup pada 2020 setelah pandemi Covid-19 merebak. Saat itu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bahkan menyatakan bahwa pandemi berisiko memicu krisis pangan global.

Karena itu, Jokowi meminta jajaran menterinya untuk menyiapkan program food estate di lima provinsi: Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, fokus utama ada di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara, berdasarkan catatan Sekretariat Kabinet.

Dari sana, muncul kembali ide untuk memanfaatkan lahan bekas proyek PLG era Orde Baru.

Dalam rencana induk pengembangan food estate di Kalimantan Tengah yang terbit pada Maret 2023 pun disebutkan bahwa wilayah bekas PLG menjadi prioritas.

Rinciannya, 885.517,18 hektare dari wilayah bekas PLG merupakan kawasan dengan fungsi lindung ekosistem gambut, 497.133,23 hektare dengan fungsi budi daya ekosistem gambut, dan 87.618,95 hektare adalah lahan di luar kawasan hidrologi gambut.

"Pengembangan food estate atau kawasan sentra produksi pangan di wilayah ini berfokus pada wilayah yang berada di luar fungsi lindung ekosistem gambut," seperti tertulis di rencana induk itu.

Total luas lumbung pangan di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,3 juta hektare, dengan 743.793 hektare di antaranya merupakan wilayah eks proyek PLG.

Lumbung pangan itu bakal melintasi empat wilayah: Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan, dan Kota Palangkaraya.

"Kebijakan di area bekas PLG itu kita nilainya tidak cermat. Dia bertentangan dengan asas kecermatan, karena potensinya itu akan bikin bencana ekologis kembali bertambah," kata Lola Abas, koordinator nasional Pantau Gambut.

"Bencana ekologisnya yang kemarin masih belum selesai sekarang akan ditambah lagi."

Seberapa hebat teknologi dari China?

Sejauh ini, pemerintah belum menjelaskan secara mendetail teknologi pertanian macam apa yang akan dibawa China untuk mengembangkan lahan sawah di Kalimantan Tengah.

Namun, sejumlah pengamat menduga teknologi yang dimaksud terkait pengembangan benih hibrida.

China memang terkenal dengan padi hibridanya, yang berhasil mencegah kelaparan di negara itu pada 1970-an, dan kini sudah menyebar ke sejumlah negara di Afrika dan Asia.

Ilustrasi petani memanen padi di China.

Meski begitu, Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia [AEPI], menilai tak semudah itu untuk menanam benih hibrida dari China di Indonesia.

"China itu negara dengan empat musim, sementara Indonesia negara dengan dua musim. Perbedaan ini bakal memengaruhi karakter budi daya, karakter tanah. Perilaku iklim atau cuaca juga berbeda," kata Khudori.

"Ahli di China bisa saja jagoan dalam penanaman padi di sana, tapi ketika teknologi serupa diterapkan di Indonesia belum tentu berhasil."

Khudori mencatat, Indonesia pernah mengimpor dan membagikan benih hibrida dari China kepada petani lokal di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, hasilnya disebut tak menggembirakan, salah satunya karena padi hibrida itu justru terserang penyakit di sejumlah lokasi.

"Ini menandakan, tidak mudah mengintroduksi sistem usaha tani, benih salah satunya. Pasti butuh inovasi tambahan. Inovasi ketahanan penyakit misalnya," kata Khudori.

Teknologi padi dari China pun diragukan dapat mengatasi sejumlah masalah yang dihadapi Indonesia, seperti tingginya ongkos sewa lahan dan tenaga kerja.

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, juga berpandangan sama.

"Saya tidak percaya varietas dari China bisa cocok di sini," katanya.

"Apalagi berhadapan dengan lahan gambut. Tidak akan mungkin-lah varietas mereka akan cocok. Karena apa? Hibrida mereka sudah diuji coba di Indonesia sebelumnya dan gagal."

Di luar benih hibrida, Andreas pun merasa Indonesia justru lebih unggul untuk teknologi pengendalian hama serta pengelolaan lahan gambut atau lahan sulfat masam, sementara teknologi pemupukan yang ada dirasa tak jauh berbeda dengan China.

"Enggak ngerti lah aku China mau bawa apa," katanya. (*)

Tags : pangan, ekonomi, cina, indonesia, keamanan pangan, padi cina, kalimantan tengah, luhut, padi, Sorotan, riaupagi.com,