JAKARTA - Kesepakatan untuk membeli sejumlah pesawat jet tempur Rafale dari Prancis merupakan langkah terbaru Kementerian Pertahanan dalam meremajakan alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia.
Pembelian pertama jet tempur dari Prancis ini dilakukan Indonesia di tengah upaya merombak kekuatan alutsista udara yang menua - mencakup jet tempur F-16 buatan Amerika Serikat dan Su-27, Su-30 Sukhoi buatan Rusia.
Pembelian itu diumumkan di tengah pengumuman Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang telah menyepakati kemungkinan penjualan pesawat F-15ID dan perlengkapan terkait senilai US$13.9 miliar (Rp200 triliun), kata Pentagon Kamis (10/02).
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah berencana berbelanja alutsista dengan anggaran sekitar Rp1.760 triliun hingga 2024.
Menurut pengamat pertahanan, pembelian pesawat-pesawat itu dilakukan ketika Indonesia sedang berusaha memperkuat pertahanannya untuk meningkatkan posisi tawar di kawasan Asia Pasifik.
Menteri urusan angkaan bersenjata Prancis, Florence Parly mengatakan setelah bertemu Prabowo di Jakarta bahwa "kemitraan strategis akan meningkatkan hubungan pertahanan kedua negara".
Parly juga mengatakan Indonesia adalah negara kedua di kawasan Pasifik setelah India yang membeli jet dari Dassault Aviation.
Apa istimewanya pesawat tempur Rafale?
Rafale adalah jet tempur yang diproduksi oleh perusahaan Prancis Dassault Aviation. Pesawat yang memiliki mesin kembar ini dirancang sebagai pesawat serbaguna yang dapat menjalankan berbagai misi atau omnirole.
Rafale dibekali dengan beragam sistem persenjataan, antara lain:
Jet tempur ini juga mampu menampung senjata hingga sembilan ton. Kecepatan maksimalnya mencapai 1.384 kilometer per jam.
Dengan kemampuan untuk membawa banyak jenis senjata dan sistem misi yang canggih, Rafale disebut dapat melakukan serangan udara-ke-darat, serta serangan udara-ke-udara dan pencegatan pesawat musuh dalam satu misi.
Kehadiran Rafale akan memperkuat postur pertahanan Indonesia di tengah keterbatasan alutsista dan anggaran, kata Khairul Fahmi Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).
"Dalam kondisi keterbatasan kita ini, ini menjadi penting - bisa digunakan untuk patroli, serangan spesifik, serangan kapal, ke darat, kemudian menghadapi pertempuran udara jarak dekat. Jadi banyak hal yang bisa dilakukan dan ini layak untuk kita miliki karena kita nggak mungkin belanja satu-satu ... kondisi keuangan kita terbatas," katanya seperti dirilis BBC News Indonesia.
Rafale bawa tantangan baru?
Namun kedatangan Rafale juga membawa tantangan baru, menurut pengamat pertahanan dan alutsista, Chappy Hakim.
Karena sistem Rafale tidak sama dengan pesawat buatan Rusia atau Amerika, Indonesia harus "memulai dari nol" dalam hal pemeliharaannya, kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) itu.
"Kita musti mendidik dari awal lagi para pilot dan teknisi. Kita harus menyiapkan laboratorium pemeliharaan untuk kalibrasi peralatan-peralatan elektronik yang super canggih itu dan sebagainya," ujarnya.
Chappy juga mengatakan bahwa jet tempur hanyalah satu bagian dalam sistem pertahanan udara.
Meskipun ia memiliki teknologi yang canggih, kemampuannya tetap akan tergantung pada sistem pertahanan udara - radar, pangkalan, command and control, dan sebagainya.
"Fighter jet itu hanya salah satu saja dari sistem besar," katanya.
Apa lagi isi kesepakatan dengan Prancis?
Selain sepakat untuk membeli 42 unit jet tempur Rafale, Indonesia juga menandatangani berbagai kerja sama dengan Prancis dalam kesepakatan bernilai Rp8,1 miliar dolar atau setara Rp116,2 triliun.
Kerja sama itu termasuk pengembangan kapal selam sampai komunikasi, seperti dilaporkan kantor berita Reuters.
Secara rinci, kerja sama di bidang penelitian dan pengembangan kapal selam akan terjalin antara PT PAL dengan Naval Grup, MoU kerja sama Program Offset dan ToT antara Dassault dan PT DI, MoU kerjasama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group, dan kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition.
"Kami membahas secara mendalam beberapa hal, sebagaimana diketahui Indonesia dan Prancis telah menjalin kerjasama pertahanan cukup lama sejak 1950," kata Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam keterangan pers.
Dalam kunjungannya ke Indonesia 10 Februari 2022, Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly mencuit "Prancis bangga berkontribusi untuk memodernisasi angkatan bersenjata dari mitra, yang memainkan peran kunci di ASEAN dan kawasan Indo-Pasifik."
Mengapa kerja sama dengan Prancis?
Khairul Fahmi dari ISESS mengatakan berbagai kerja sama tersebut menjadi "poin plus" kesepakatan dengan Prancis karena Indonesia punya target mengembangkan industri pertahanan dalam negeri.
Menurut Fahmi, target itu juga berarti Indonesia harus memperbanyak kemitraan dengan berbagai negara agar punya peluang untuk meningkatkan kemampuan dengan berbagai teknologi.
Diharapkan dengan sistem pertahanan yang kuat, Indonesia bisa meningkatkan posisi tawarnya dalam menghadapi berbagai tantangan keamanan di kawasan, termasuk di Laut Natuna Utara yang secara sepihak diklaim China sebagai bagian dari Laut China Selatan.
"Kalau dalam konteks politik kawasan, kehadiran alutsista baru ini akan membuat Indonesia mungkin lebih diperhitungkan dan mungkin juga mampu memberikan tekanan-tekanan terhadap negara lain di kawasan," kata Fahmi.
Apa latar belakang kesepakatan ini?
Kesepakatan dengan Indonesia diteken saat Prancis berusaha mempererat hubungannya dengan negara-negara di Indo-Pasifik, setelah AS, Inggris, dan Australia membentuk aliansi strategis baru bernama AUKUS tahun lalu untuk mengonter pengaruh China yang semakin besar.
Pakta itu, yang mencakup pembangunan kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia, membuat Prancis geram. Sebelumnya, Paris sudah meneken kontrak pembelian kapal selam bernilai miliaran dolar dengan Canberra.
Ketika ditanya oleh wartawan apakah perkembangan seputar AUKUS dan batalnya kesepakatan kapal selam dengan Australia memengaruhi negosiasi dengan Indonesia, seorang juru bicara kementerian pertahanan Prancis menjawab: "Saya rasa tidak, dalam satu hal atau lainnya."
"Kami punya strategi Indo-Pasifik, kami telah bertekad untuk menjaga industri pertahanan kami dan dengan demikian, mengekspor," ujarnya, seperti dikutip Reuters.
Indonesia juga telah mengungkapkan kekhawatiran soal AUKUS.
Dalam pernyataan pers, September lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memperingatkan bahwa penggunaan kapal selam bertenaga nuklir dapat memicu perlombaan senjata nuklir di kawasan.
Alutsista apa lagi yang akan dibeli Indonesia?
Indonesia juga berencana membeli 36 unit jet tempur F-15 serta peralatan militer lainnya dari AS senilai US$14 miliar atau sekitar Rp200 triliun. Departemen Luar Negeri AS sudah menyetujui rencana tersebut.
Penjualan yang diusulkan akan meningkatkan "keamanan mitra regional penting yang merupakan kekuatan untuk kestabilan politik, dan kemajuan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik," dalam sebuah pernyataan dari Pentagon.
Kesepakatan ini disebut "tidak akan mengubah keseimbangan dasar militer di kawasan tersebut."
Boeing menjadi kontraktor utama untuk jet tempur F-15, menurut rilis dari Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon, seperti dilansir Reuters.
Paket tersebut termasuk 36 jet tempur, mesin cadangan, radar, pelatihan untuk kacamata mode malam, dan dukungan teknis, kata Pentagon.
Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon telah memberi tahu Kongres mengenai kemungkinan penjualan ini, Kamis waktu setempat.
Meskipun sejauh ini sudah mendapat persetujuan dari Departemen Luar Negeri, pemberitahuan ini tidak mengindikasikan bahwa kontrak telah ditandatangani atau negosiasi telah selesai. (*)
Tags : Prancis, Pesawat, Amerika Serikat, Teknologi, Militer, Indonesia,