JAKARTA - Indonesia resmi mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 setelah perekonomian kuartal ketiga tercatat minus dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Ini adalah resesi pertama setelah krisis moneter tahun 1998.
Secara teori, resesi akan terjadi jika suatu negara mencatatkan pertumbuhan minus dalam dua triwulan berturut-turut. Sebelumnya, pada kuartal kedua tahun ini, perekonomian Indonesia tercatat mengalami kontraksi sebesar 5,32%. Penurunan kuartal ketiga diumumkan Kepala BPS, Suhariyanto, dalam konferensi pers yang digelar virtual dirilis BBC News Indonesia, Kamis (05/11). "Secara tahunan (y-o-y), meski pertumbuhan ekonomi kita masih mengalami kontraksi sebesar 3,49% tapi kontraksinya tidak sedalam kuartal dua, yang sebesar 5,32%.
"Artinya terjadi perbaikan. Kita berharap triwulan keempat situasinya menjadi lebih baik apalagi dengan adanya pelonggaran PSBB," kata Suhariyanto.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi di kuartal ketiga, akan minus 2,9% hingga 1%. Suhariyanto menambahkan, dibandingkan kuartal sebelumnya (q-to-q), terjadi pertumbuhan sebesar 5,05%, tren yang disebut Suhariyanto menunjukkan "arah yang sangat positif". Pertumbuhan yang ada salah satunya dikerek pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah yang meningkat sebanyak 9,76% dibanding tahun 2019.
'Kuncinya penanganan pandemi'
Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan pengumuman yang secara resmi menempatkan Indonesia dalam posisi resesi itu tidak mengejutkan. "Menurut saya ini bukan sesuatu yang surprising karena kondisi ekonomi yang extraordinary (di luar biasanya) dan memang banyak negara yang sudah masuk kategori resesi. Kita nggak perlu terlalu khawatir tentang status ini dan harus fokus terhadap penanganan pandemi dan bagaimana proses pemulihan ekonomi ke depan karena resesi ini sulit dihindari," ujar Teuku Riefky.
Ia memprediksi perekonomian yang minus juga masih akan terjadi di kuartal empat juga kuartal pertama tahun 2021 karena pandemi yang belum selesai. Ia mengatakan sejauh ini pemerintah "tidak terlalu perform" dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Akibatnya, angka pandemi Covid-19 masih tinggi, hal yang mengakibatkan lesunya ekonomi karena pengusaha belum berani melakukan ekspansi bisnis, sementara masyarakat masih memilih menyimpan uang alih-alih berbelanja.
Di sisi lain, menurut data BPS, negara lain seperti China dan Vietnam sudah mengalami pemulihan ekonomi, yang tercermin dari pertumbuhan positif di kuartal ketiga. China mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,9% dan Vietnam di kisaran 2,6%, hal yang menurut Teuku Riefky dikarenakan penanganan pandemi virus corona yang efektif akibat lockdown ketat. Namun, Teuku Riefky mengatakan 'total lockdown' memang sulit dilakukan di Indonesia karena pengeluaran pemerintah akan sangat besar. "Jadi bagaimana jalan keluarnya? Baik pemerintah maupun masyarakat harus menentukan titik tengahnya. Kalau memang pemerintah tidak bisa melakukan total lockdown, maka masyarakat harus bisa melakukan aktivitas ekonomi yang terbatas, tapi tetap bisa menjaga protokol kesehatan. Memang growth (pertumbuhannya) tidak akan bisa setinggi China dan Vietnam setelah fase lockdown, tapi this is the best we could afford (yang terbaik yang bisa kita lakukan)," ujarnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani juga mengatakan kondisi ekonomi "sangat tergantung bagaimana perkembangan kasus Covid-19 dan bagaimana pandemi ini akan mempengaruhi aktivitas ekonomi. Pada 25 Agustus lalu, Sri Mulyani mengatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga berada di kisaran 0 persen hingga -2%. Adapun untuk keseluruhan tahun 2020, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada di kisaran -1,1 persen hingga 0,2 persen. Saat itu, Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan negatif pada kuartal III mungkin saja terjadi karena tingkat konsumsi masyarakat masih lemah, meski mendapat bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Sri Mulyani juga mengatakan, kunci utama untuk mengerek kinerja perekonomian pada kuartal III adalah investasi dan konsumsi domestik. "Kalau tetap negatif meski pemerintah sudah all out maka akan sulit untuk masuk ke zona netral tahun ini," ujar Sri Mulyani pada wartawan.
Dalam pengumuman pada Rabu (05/08), BPS menyatakan angka Produk Domestik Bruto pada triwulan II 2020 menyusut sebesar 5,32%. Penyusutan ini lebih besar dari prediksi pemerintah dan Bank Indonesia. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi PDB di kuartal II akan jatuh -3,8%, sementara Bank Indonesia memprediksi penurunan sebesar -4,8%. "Perekonomian Indonesia pada triwulan II 2020 secara y-o-y, dibandingkan triwulan II 2019 mengalami kontraksi sebesar 5,32%. Kalau kita bandingkan dengan triwulan I 2020, atau q-o-q, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II ini juga mengalami kontraksi -4,19%," ujar Suhariyanto, Kepala BPS.
Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa kontraksi PDB itu berarti "situasi resesi ekonomi sudah di depan mata."
"Di kuartal III kemungkinan besar kita akan resesi, kalau melihat kuartal II ini kita cukup dalam minusnya," kata Bhima pada September lalu.
"Yang perlu diperhatikan ini kan adanya penurunan tajam pada konsumsi rumah tangga, karena adanya pandemi membuat masyarakat tidak yakin untuk berbelanja, dan akhirnya berpengaruh juga pada industri manufaktur yang turun dan sektor perdagangan turun."
Ia mengatakan, ini adalah penurunan ekonomi tahunan Indonesia terburuk pertama sejak dihantam krisis moneter 1998—ketika itu, ekonomi Indonesia anjlok sampai minus 13,13%. "Resesi itu kan dua kuartal berturut-turut [pertumbuhan PDB] kita negatif, resesi yang sesungguhnya itu nanti ketika kita kuartal ketiga kita akan negatif," ujar Bhima.
"Tapi ini ketika penurunannya relatif tajam secara year-on-year, maka bisa dikatakan ini resesi technical, jadi secara data ini sudah menunjukkan adanya resesi karena penurunannya cukup tajam karena tidak mungkin di kuartal III bisa kembali positif."
Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan PDB pada kuartal I sebesar 2,97%. Indef memprediksi bahwa penurunan di kuartal III akan sebesar -1,7%. Jika ekonomi memasuki resesi, para pencari kerja di Indonesia bisa kesulitan mencari lowongan pekerjaan dalam beberapa bulan ke depan. Pendapatan korporasi dan pelaku usaha juga bisa menurun lantaran berkurangnya daya beli masyarakat, kata seorang pengamat. Menteri Keuangan Sri Mulyani telah dua kali membeberkan proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam kuartal berjalan dan beberapa kuartal ke depan, dan proyeksinya suram.
Pertumbuhan PDB di kuartal III, yang dimulai per Juli, diprediksi akan tumbuh di kisaran 1,4%, atau melemah sampai minus 1,6%. Untuk kuartal IV, pemerintah Indonesia berharap ekonomi mulai mencatatkan pertumbuhan 3,4%, atau paling sedikit 1%. "Kami harapkan di kuartal III dan kuartal IV (2020), pertumbuhannya bisa recover (pulih), dalam hal ini bisa 1,4 persen atau kalau seandainya kita dalam zona negatif, bisa saja minus 1,6 persen. Itu yang saya sebutkan technically kita bisa resesi kalau kuartal II negatif, kuartal III nya juga negatif, maka Indonesia secara teknis bisa resesi," kata Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (22/06).
Sulitnya mencari lapangan pekerjaan
Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, dampak dari resesi yang berpotensi paling dirasakan masyarakat adalah sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, disusul dengan jatuhnya daya beli masyarakat karena berkurangnya pendapatan. "Kenapa lapangan pekerjaan jadi susah [ditemukan]? Karena aktivitas-aktivitas ekonomi belum kembali normal. Kemarin dunia usaha mengatakan, begitu ada pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), karena masih harus memenuhi protokol Covid-19, maka pekerja-pekerja yang mereka rumahkan tidak full 100 persen mereka bisa pekerjakan kembali. Kemungkinan, untuk rata-rata industri, yang bisa mereka pekerjakan kembali tinggal 50 persen, artinya 50 persen sisanya ini, yang sudah terlanjur terdepak dari lapangan kerja ini, mereka harus mendapatkan pekerjaan dari mana?" kata Enny.
Hal itu tengah dirasakan oleh Dimas Aji Pratama, yang telah kehilangan pekerjaannya di sebuah ritel akibat pandemi Covid-19. Pria berusia 24 tahun asal Purwokerto, Jawa Tengah tersebut baru bekerja selama kurang lebih dua bulan ketika ia dipanggil staf personalia untuk diberi surat Pemutusan Hubungan Kerja. "Saya baru masuk dunia kerja, awal masuk Februari, terus dapat PHK akhir April," kata Dimas, yang baru lulus kuliah pada November tahun lalu tersebut.
Ia tidak sendiri. Rekan-rekannya sesama peserta pelatihan manajemen di sebuah gerai ritel di Jakarta tersebut, dengan jumlah 42 orang, juga di-PHK secara bergiliran. Setelah di-PHK, ia memutuskan kembali ke rumah orangtuanya di Purwokerto. Setelah Lebaran, Dimas menghabiskan waktu sehari-harinya untuk melamar pekerjaan, namun hingga kini belum mendapat panggilan. "[Saya sudah melamar ke] cukup banyak [perusahaan], lebih dari 20," kata Dimas.
"Sampai saat ini masih belum ada kabar, karena saya juga baru mulai mencari pekerjaan lagi setelah Lebaran kemarin. Kalau saya sendiri merasanya cukup sulit untuk mencari pekerjaan, apalagi saya berdomisili di luar Jabodetabek, karena kebanyakan perusahaan, kalau kita apply sekarang, pastinya harus ada proses interview, saya harus berangkat dari Purwokerto ke Jakarta dan dari sisi transportasi juga sulit."
Dimas kini harus mengetatkan ikat pinggang. Ia adalah tulang punggung keluarga, mengingat ia tinggal bersama ibunya yang berjualan jajanan pasar. Usaha sang ibu memberikan Dimas inspirasi usaha jika ia masih sulit mendapatkan pekerjaan dalam beberapa bulan ke depan. "Kalau misal dalam beberapa bulan ini, masih sulit untuk bekerja, kemungkinan saya mencoba buat buka usaha. Misalnya usaha makanan, atau mencoba mengembangkan usaha orang tua," kata Dimas.
Dalam resesi, para sarjana baru, atau fresh graduate, yang mencari pekerjaan untuk pertama kalinya mungkin akan sulit mendapatkannya. Ini telah diantisipasi oleh Putri Nurdivi Djamil, yang akan lulus kuliah September mendatang. "Ketika kemarin aku ngobrol di tempat magang aku, itu agency advertising sama public relation, dua-duanya sekarang sedang hiring freeze. Bahkan intern saja pun mereka tidak hire. Jadi yang seperti ini susah banget. Makanya aku juga struggling, aku belakangan ini, dalam empat tahun terakhir melakukan banyak hal, kita improve our skills ourselves, tapi ujung-ujungnya ini. Bukan karena kita tidak kompeten, tapi karena mungkin salah satu masalah yang paling kencang adalah bisnisnya juga semakin tidak jalan," kata mahasiswi yang tengah menyelesaikan kuliah di Jepang tersebut, tapi tidak bisa kembali ke sana karena wabah virus corona.
Putri menambahkan beban sarjana yang lulus tahun ini lebih berat karena mereka tidak hanya bersaing sesama angkatan 2020, namun juga mereka yang lulus tahun lalu, seperti Dimas, yang masih mencari pekerjaan atau terkena PHK saat ini.
Apa itu resesi?
Enny Sri Hartati, direktur Indef, mengatakan bahwa ekonomi sebuah negara bisa dikatakan mengalami resesi jika terjadi "penurunan ekonomi secara eksesif." Enny mengatakan bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia mencatatkan inflasi yang sangat rendah pada bulan Mei, hanya 0,07 persen, salah satu indikasi bahwa daya beli masyarakat sedang sangat jatuh. Inflasi merupakan kenaikan harga barang-barang dan jasa yang salah satunya disebabkan oleh melonjaknya permintaan. Oleh karenanya, daya beli masyarakat yang lemah bisa menurunkan tingkat inflasi.
Belanja rumah tangga jelang Hari Raya Idul Fitri dan sepanjang Ramadan, yang tahun ini jatuh pada bulan Mei, selama ini bisa diandalkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di kuartal yang mencakup bulan dan hari suci umat Islam tersebut. Rendahnya daya beli masyarakat saat Lebaran bisa menjadi indikasi bahwa ekonomi pada periode April-Juni tidak tumbuh dan justru melemah, atau minus. Resesi akan terjadi jika Indonesia mencatatkan pertumbuhan minus dalam dua triwulan berturut-turut. "Kalau di triwulan dua, otomatis karena ada pemberlakuan PSBB dan dampak pandemi yang telah berjalan lebih dari dua bulan terhadap daya beli dan konsumsi rumah tangga, yang dampaknya jauh lebih besar daripada di triwulan satu. Maka banyak yang memberikan simulasi bahwa [pertumbuhan ekonomi] untuk triwulan dua sudah pasti minus," jelas Enny.
"Cuma minusnya berapa, itu sangat tergantung dari bansos dari pemerintah, seberapa efektif, itu untuk menopang penurunan daya beli masyarakat. Tapi kalau kita lihat dari rilis Badan Pusat Statistik [BPS] di bulan Mei, inflasi sangat rendah hanya 0,07%, padahal ada hari raya, itu menunjukkan bahwa mitigasi dalam hal perlindungan sosial relatif tidak efektif. Daya beli masyarakat benar-benar drop. Yang kedua, adalah penjualan ritel yang juga minus untuk bulan April dan Mei, sehingga itu yang menyebabkan potensi kita menghadapi kontraksi ekonomi, kalau tidak disebut resesi atau pertumbuhan minus, itu sangat besar," tambahnya.
Apa upaya pemerintah mengatasinya?
Juru bicara Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari mengatakan bahwa pemerintah telah mencoba upaya terbaiknya agar penyaluran stimulus-stimulus dan anggaran, yang tercakup dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar 695,20 triliun rupiah, efektif di lapangan. "Stimulus fiskal yang sudah dikeluarkan pemerintah, satu per satu mulai diimplementasikan, tentunya dengan berbagai dinamika di lapangan, mengingat pertama, peristiwa [pandemi Covid-19] ini shocking, kepada kita semua, di mana kita harus cepat-cepat menyiapkan uang dan tata kelolanya juga. Jadi saya kira semua pihak mencoba at their best effort untuk melakukan hal ini," kata Rahayu.
Ia menambahkan, Kemenkeu telah menyiapkan tim yang khusus memonitor dan mengevaluasi penyaluran stimulus dalam program PEN tersebut. "Per tiga hari kita melakukan konsolidasi dan setiap minggu ini dibicarakan dengan Menkeu untuk dicarikan solusi-solusinya seperti apa. Ini supaya penyerapan terjadi lebih cepat dari anggaran yang sudah dialokasikan. Kedua supaya cepat sampai ke beneficiaries atau mereka yang menikmati manfaat [program] tersebut. Kita tidak punya luxury time berlama-lama dan ini butuh kolaborasi bersama," ujar Rahayu.
Berapa lama resesi akan terjadi?
Terakhir kali Indonesia mengalami krisis ekonomi masif adalah pada krisis moneter 1997-1998. Enny Sri Hartati mengatakan Indonesia membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk bangkit. "Berdasarkan pengalaman kita menghadapi krisis '97-'98 saja tidak cukup lima tahun untuk benar-benar pulih. Dampak pandemi itu jauh lebih berat daripada krisis '97-'98. Karena krisis '97-'98 itu hanya beberapa sektor yang berdampak, kali ini dampaknya seluruh sektor," kata Enny.
Meski demikian, Enny mengatakan pemerintah nampaknya telah mengantisipasi krisis ekonomi akibat pandemi akan berlangsung selama tiga tahun, jika melihat dari sikap pemerintah yang menerbitkan aturan soal relaksasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang membolehkan defisit APBN di atas 3% selama tiga tahun. Defisit APBN terjadi apabila pengeluaran negara lebih besar dari pendapatannya. Dalam krisis ekonomi, pemerintah mungkin menggontorkan pengeluaran yang lebih besar untuk merangsang daya beli masyarakat lewat program-program seperti bantuan sosial atau pengurangan bunga atas cicilan kredit masyarakat. "Artinya mereka memprediksi dalam tiga tahun minimal [ekonomi] bisa pulih, artinya 'pulih' itu adalah kegiatan ekonomi sudah mulai normal. Tapi kalau pulih yang benar-benar mampu untuk akselerasi [pertumbuhan] dan sebagainya, itu tergantung pada respon kebijakan pemulihan ekonomi selama 2-3 tahun [ke depan] ini," jelas Enny. (*)
Tags : Resesi, Indonesia Alami Resesi, Pandemi Covid-19,