News   21-06-2025 17:36 WIB

Industri Rokok di Tanah Air Tengah Hadapi Tantangan Berat, 'Buat Bisnis Sigaret jadi Redup karena Dihantam Rokok Murah'

Industri Rokok di Tanah Air Tengah Hadapi Tantangan Berat, 'Buat Bisnis Sigaret jadi Redup karena Dihantam Rokok Murah'
Pengamat menduga penurunan kinerja industri rokok juga dipicu kenaikan tarif cukai. Kenaikan membuat perokok lari ke tingwe dan rokok ilegal.

JAKARTA - Industri rokok di Tanah Air tengah menghadapi tantangan. Jumlah penjualan turun drastis sehingga berdampak pada keberlangsungan hidup para petani tembakau.

"Industri rokok di tanah air tengah menghadapi tantangan berat."

"Jadi memang tidak lagi kondusif untuk membeli bahan baku khususnya dari Temanggung," kata Bupati Temanggung Agus Setyawan usai bersama perwakilan anggota DPRD Temanggung dan Komite Pertembakauan Tembakau Temanggung berkunjung ke PT Gudang Garam Kediri, Minggu (15/6).

Contoh teranyar menimpa perusahaan rokok ternama PT Gudang Garam. Mereka tercatat hanya menorehkan laba Rp980,80 miliar pada 2024 kemarin.

Laba itu anjlok parah bila dibandingkan 2023 yang masih bisa mencapai Rp5,32 triliun.

Penurunan tajam laba itu tak terlepas dari seretnya pendapatan kode emiten GGRM. Tercatat pendapatan Gudang Garam memang turun dari Rp118,95 triliun menjadi Rp98,65 triliun pada 2024 kemarin.

Penurunan pendapatan itu terjadi tak hanya untuk penjualan/pendapatan di dalam negeri.

Tercatat pendapatan atau penjualan perusahaan dari ekspor turun dari Rp1,49 triliun menjadi Rp1,31 triliun, lalu penjualan lokal turun dari Rp117,45 triliun menjadi Rp97,338 triliun per akhir 2024.

Penjualan yang turun paling banyak adalah sigaret kretek mesin dari Rp96,02 triliun pada 2023 menjadi Rp86,62 triliun hingga akhir tahun lalu.

Selain Gudang Garam, kinerja jeblok juga terjadi pada Wismilak Inti Makmur. Mengutip laporan keuangan perusahaan, pada 2024 kemarin mereka juga hanya mampu menorehkan laba Rp298,7 miliar, turun 39,58 persen jika dibandingkan 2023 yang Rp494,7 miliar.

Perusahaan hanya mampu membukukan penjualan neto Rp4,7 triliun pada 2024, turun jika dibandingkan 2023 yang masih bisa mencapai Rp4,8 triliun.

Di tengah penurunan penjualan itu, beban usaha Wismilak justru naik dari Rp676 miliar pada 2023 menjadi Rp696 miliar pada 2024 kemarin.

Penurunan kinerja itu menular. Untuk Gudang Garam misalnya, penurunan kinerja membuat mereka memutuskan untuk menghentikan sementara pembelian tembakau dari petani di Temanggung, Jawa Tengah.

Tetapi menurut Agus Setyawan, penghentian dilakukan karena penurunan penjualan rokok yang luar biasa di Indonesia.

Lalu apa sebetulnya yang menjadi penyebab memblenya kinerja itu?

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan ada empat faktor yang mendorong anjloknya penjualan rokok di Tanah Air.

Namun yang pasti; penurunan itu bukan karena keberhasilan pemerintah dalam membasmi rokok ilegal.

"Dalam hemat saya, beberapa faktor ikut mempengaruhi penjualan rokok, terutama merek-merek yang sudah established di satu sisi dengan harga yang sudah terlanjur sangat mahal di sisi lain," kata Ronny P Sasmita pada media.

Pertama, daya beli kelas menengah dan bawah yang memang masih lesu dan belum membaik dalam beberapa tahun terakhir.

Hal ini menyebabkan para perokok beralih membeli produk yang harganya lebih murah. Bahkan tak sedikit pula beralih ke rokok ilegal demi memuaskan lidahnya.

Alhasil, rokok merek-merek terkenal dari perusahaan besar mulai ditinggalkan.

"Turunnya daya beli mengakibatkan mayoritas konsumen berpindah kepada merek-merek yang lebih murah, termasuk rokok ilegal yang semakin banyak beredar," jelasnya.

Kedua, ia melihat ada pergeseran selera dari generasi muda kelas menengah.

Mereka lebih memilih menggunakan rokok elektrik yang saat ini lebih mudah dibawa dan 'lebih' diterima di berbagai tempat.

Pergeseran itu juga membawa dampak ke kinerja industri rokok.

"Ada pergeseran selera dari generasi muda kelas menengah. Kelompok ini 'prefer' rokok elektrik. Sehingga rokok bermerek seperti GG mengalami dua tekanan, yakni penurunan permintaan dari konsumen tradisional dan tidak berkembangnya pasar baru di segmen anak muda," terangnya.

Ketiga, kenaikan cukai yang terus menerus, terutama rokok bermerek. Kenaikan membuat harga rokok semakin terbang.

Padahal di sisi lain, pendapatan konsumen lamanya tak naik secara signifikan.

"Sehingga rokok-rokok bermerek kalah bersaing di pasaran rokok nasional," imbuhnya.

Keempat, kampanye antirokok yang berhasil. Meski perannya tak terlalu besar dalam menekan konsumsi rokok, namun tetap ada pengaruhnya terhadap berkurangnya konsumen rokok di Tanah Air.

"Kampanye antirokok dan hidup sehat diyakini berhasil membawa sebagian komunitas di dalam masyarakat untuk meninggalkan rokok, terutama komunitas-komunitas keolahragaan, literasi kesehatan dan keuangan, dan sejenisnya," tuturnya.

Menurut Ronny P Sasmita, dampak penurunan industri rokok ini sangat dilematis.

Di satu sisi baik karena masyarakat sadar akan kesehatan, namun di sisi lain ada petani yang harus menanggung karena sumber penghasilannya mulai hilang.

Di sinilah menurutnya peran pemerintah harus hadir. Peran harus mereka berikan bukan dengan insentif.

Pasalnya, kalau itu diberikan akan serba salah. Karena itu memberikan stimulus untuk meningkatkan harga tembakau. Yang harus dilakukan negara adalah menyiapkan para petani tembakau untuk beralih ke pekerjaan lain atau menanam tanaman lain.

"Terutama bagi pemerintah, jalan terbaik adalah menyiapkan generasi muda petani tembakau bermigrasi ke usaha lain," ungkapnya.

Pneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat ada dua penyebab utama menurunnya kinerja rokok di Indonesia, yakni maraknya rokok ilegal dan meningkatnya konsumsi rokok elektrik yang belum diatur secara ketat.

"Kita melihat bahwa kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir cukup agresif, dan ini memang sejalan dengan agenda pengendalian konsumsi. Namun, tanpa penegakan hukum yang kuat dan sistem pengawasan distribusi yang solid, ruang gelap justru makin lebar," kata Yusuf Rendy Manilet.

Ia melihat bahwa rokok ilegal masuk dengan harga lebih murah, tanpa beban cukai cukup menggerus pangsa pasar produk legal.

Sementara itu, di sisi lain, rokok elektrik menjamur dengan penetrasi yang tinggi, terutama di kalangan anak muda. Akibatnya, pabrikan rokok konvensional seperti Gudang Garam terdampak yakni kehilangan pasar.

"Dampak kondisi ini juga menjalar ke hulu. Petani tembakau, meskipun umumnya tidak hanya menanam tembakau, ikut terdampak akibat berkurangnya serapan dari industri. Sebagian besar petani tembakau memang merupakan petani campuran yang juga menanam komoditas lain," jelas Rendy.

Senada, Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menekankan penyebab turunnya industri rokok bukan keberhasilan pemerintah melainkan banyak faktor lain. Misalnya, banyak yang pindah ke rokok yang lebih murah.

"Ada yang pindah ke rokok murah, ada yang pindah ke tembakau iris (tingwe), ada yang pindah ke REL, dan diduga juga tidak sedikit yang lari ke rokok ilegal," tegas Ahmad Heri Firdaus.

Menurut Heri, secara umum, perubahan harga sebetulnya tidak secara signifikan mengubah permintaan jumlah rokok. Namun, karena jenis rokok cukup banyak dan harganya sangat bervariasi dari yang mahal hingga yang murah, jadi elastisitasnya cukup tinggi.

"Artinya jika merek rokok tertentu harganya makin mahal, maka dimungkinkan akan mengubah permintaannya, dan beralih ke rokok yang relatif lebih murah. Hal ini juga cukup bergantung dengan pendapatan dan daya beli masyarakat," jelasnya.

Oleh sebab itu, kata Ahmad Heri Firdaus menyarankan agar pemerintah bisa membimbing para petani tembakau yang terdampak untuk tidak mengandalkan perusahaan dalam negeri saja.

Bisa difasilitasi untuk beriontasi ekspor.

"Pemerintah harus memperbanyak kemitraan antara petani tembakau dengan industri rokok, atau bagaimana mencari peluang ekspor, hal itu perlu peran pemerintah," kata Heri.

Sementara, Rendy menilai peran pemerintah sangat penting dalam menghadapi dampak ini, terutama terhadap petani.

"Menurut saya, disinilah posisi pemerintah menjadi krusial. Di satu sisi, pengendalian konsumsi rokok tetap harus menjadi prioritas, terutama untuk melindungi kelompok rentan seperti remaja dan masyarakat miskin," kata Rendy.

Menurutnya, mulai saat ini pemerintah perlu memiliki roadmap transisi ekonomi yang terukur dan adil bagi wilayah-wilayah sentra tembakau.

"Ini mencakup pelatihan petani untuk diversifikasi tanaman, pemberian insentif untuk alih komoditas, serta penyediaan infrastruktur dan akses pasar bagi hasil pertanian alternatif," pungkasnya. (*)

Tags : rokok, industri rokok, industri rokok di tanah air, industri rokok hadapi tantangan berat, bisnis sigaret redup, bisnis sigaret dihantam rokok murah, News,