
LINGKUNGAN - Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) mendesak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI untuk segera memberikan data lahan tak berizin ke Satuan Tugas (Satgas) penaganan kawasan hutan.
"Program terbaru dari Pemerintahan Prabowo Subianto untuk menangani permasalahan perkebunan di kawasan hutan, dalam rangka implementasi UU CK pasal 110 A dan 110B," kata Ir. Ganda Mora SH, M.Si, Ketua Umum DPN INPEST melalui press releasenya, Kamis (5/3).
UU CK, kata dia untuk optimalisasi pendapatan negara dari denda keterlanjuran dimana Satgas tersebut dipimpin menteri Pertahanan dan Jampidsus. Kejaksaan Agung dinilai sangat efektif untuk memaksimalkan pendapatan negara dari bidang perkebunan khususnya kimoditi sawit.
"Mengingat animo masyarakat dan pengusaha dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit sangat tinggi sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan negara setelah pertambangan. Untuk efektifnya audit lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia kami rasa sangat perlu," sebutnya.
Menurutnya, untuk menyetor data perusahaan dan milik pribadi dengan luas 100 Ha keatas kepada Kejagung guna untuk diaudit kerugian negara dan dihitung berlaku mundur sejak kebun menghasilkan, sebut Ganda Mora yang juga dari Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) itu.
Lebih lanjut Ganda Mora menyampaikan, dengan efektifnya audit perkebunan tanpa izin kedepanya dapat meningkatkan pendapatan negara dan nantinya dapat diberikan DBH kepada propinsi penghasil sawit, "dimana bisa saja suatu provinsi memiliki luasan kebun sawit sangat luas namun sebagian besar tidak memiliki alas hak atau perizinan maka kalau tidak di infentariasi dan tidak di audit akan rugi sebab DBH nya menjadi kecil sebut Ganda dengan nada serius.
Berdasarkan data yang kami peroleh dari Kementerian KLHK telah melakukan pendataan sebanyak 5 (lima) tahap sesuai dengan SK:531/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2021 tentang data dan infentarisasi kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak melalui perizinan dibidang kehutanan, dimana pada tahap II (dua) saja terinfentarisasi sebanyak 171 perusahaan diseluruh Indonesia.
Sedangkan perusahan terluas tanpa memiliki izin di Riau adalah PT. Palma Satu seluas 13.65 Ha dan sudah diaudit oleh kejagung dan disita dengan pengawasan pengelolaan dan keuangan yang diserahkan ke PTPN V sedangkan lahan terluas lainya adalah PT. Ivomas berada dalam kawasan hutan Produksi (HP) Tunggal seluas 13.432,09 Ha dan ratusan perusaan lainya bervariasi dari ratusan sampai puluhan ribu hektare diseluruh Indonesia.
"Kami berkeyakinan Kementerian memiliki data ribuan perusahaan yang belum memiliki perizinan dibidang kehutanan yang berpotensi merugikan negara, maka untuk itu kami berharap terjadi sinerginisasi lintas kementerian untuk mengoptimalkan pendapatan negara dan menekan kerugian negara," ujarnya.
Tata kelola lahan sawit ilegal
Jika melihat kembali pidato Presiden Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa tanaman sawit adalah aset negara menjadi pemicu pentingnya tata kelola sawit secara nasional.
Alasannya, menurut Ganda Mora mengulangnya, pada tataran paradigmatik secara kontekstual ucapan Presiden Prabowo itu kental dengan nuansa nasionalisme.
Mengingat tata kelola lahan sawit di Indonesia hingga saat ini masih jauh dari kata profesional.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024, jumlah lahan sawit ilegal mencapai 3,37 juta hektare.
"Kondisi ini jelas sangat paradoks. Di satu sisi, kita butuh anggaran yang sangat besar untuk menyukseskan program pemerintah. Di sisi lain, selama bertahun-tahun lamanya lahan sawit ilegal tidak mampu dimaksimalkan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat," sebutnya.
Selain itu, lahan sawit ilegal tersebut tidak memberikan kontribusi untuk APBN melalui sektor pajak. Kemudian, secara langsung menghadirkan kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana alam.
Persoalan lain menyangkut konflik agraria berkepanjangan akibat bentrokan antara masyarakat lokal dan pihak perusahaan yang selama ini tidak terdata.
Banjir merendam beberapa wilayah provinsi, Ganda Mora menyoroti lebih disebabkan tata ruang yang buruk di beberapa wilayah menunjukkan kondisi ini jelas sangat paradoks.
Di satu sisi, kita butuh anggaran yang sangat besar untuk menyukseskan program pemerintah.
Di sisi lain, selama bertahun-tahun lamanya lahan sawit ilegal tidak mampu dimaksimalkan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat.
Selain itu, kata dia, lahan sawit ilegal tersebut tidak memberikan kontribusi untuk APBN melalui sektor pajak.
Kemudian, secara langsung menghadirkan kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana alam.
Persoalan lain menyangkut konflik agraria berkepanjangan akibat bentrokan antara masyarakat lokal dan pihak perusahaan yang selama ini tidak terdata.
Semua keuntungan dari ekploitasi lahan sawit tersebut secara gamblang hanya mengalir pada kepentingan pribadi oknum pengusaha yang tidak tertib administrasi.
Hal ini linear dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2024 yang menyebutkan terdapat sedikitnya 2.130 korporasi kebun sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Solusi penerimaan negara Batalnya kenaikan PPN 12 persen secara menyeluruh (hanya untuk barang dan jasa mewah) memaksa pemerintah melakukan ekstensifikasi penerimaan pajak di luar data wajib pajak yang selama ini dipegang oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sebelumnya proyeksi penerimaan negara bila PPN 12 persen diimplentasikan berdasarkan data Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencapai Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun.
Maka, hilangnya potensi tersebut semakin memperkuat argumen penataan ulang lahan sawit ilegal. Dalam outlook APBN tahun 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun, proyeksi penerimaan pajak bisa tumbuh sebesar 10,1 persen atau Rp 2.189 triliun.
Pada titik ini tentu sektor sawit menjadi celah penerimaan baru untuk menjalankan program prioritas pemerintahan Prabowo, khususnya Makan Bergizi Gratis (MGS) yang baru saja diluncurkan serentak di 26 provinsi dan menyasar 600.000 anak sekolah.
Adapun anggaran Program MGS, menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, mencapai Rp 420 triliun hingga Desember 2025.
Sementara alokasi anggaran yang tersedia dari alokasi APBN adalah Rp 71 triliun. Artinya dalam upaya menyukseskan program tersebut negara masih membutuhkan dana sedikitnya Rp 349 triliun.
Selain itu, kebutuhan anggaran yang tak kalah besar dalam upaya meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagaimana menjalankan progam quick win (program percepatan) pada sektor pendidikan adalah kenaikan gaji guru pada 2025, yang membutuhkan dana Rp 81,6 triliun.
Selain itu, anggaran terkait pemeriksaan kesehatan gratis yang mencapai Rp 3,2 triliun untuk 52 juta penduduk Indonesia pada tahun 2025.
Tujuan dari program check up kesehatan gratis adalah sebagai bentuk pencegahan penyakit atau pemasalahan kesehatan, seperti stunting anak balita, pencegahan penyakit TBC hingga penyakit akut lainnya yang bisa bedampak pada kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Maka, penting bagi pemerintah memaksimalkan penerimaan negara dengan menyasar tata kelola lahan sawit ilegal sebagai salah satu sektor penerimaan pajak potensial.
Apalagi belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kondisi APBN Indonesia pada 2024 defisit Rp 507,8 triliun atau setara 2,29 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Defisit APBN tahun 2024 melebar dari tahun 2023, yaitu Rp 347,6 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB. Formula skema tata kelola lahan sawit Terkait skema rencana pengaturan tata kelola lahan sawit ilegal tentu menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah.
Utamanya untuk mereka (koorporasi) yang selama ini telah nyaman menerima keuntungan dari pengelolaan sawit ilegal. Namun, langkah awal yang bisa dilakukan saat ini adalah pemerintah melalui Kementerian Kehutanan yang berkoordinasi dengan TNI, Polri dan kejaksaan, harus mendata ulang perusahaan-perusahaan yang masih beroperasi.
Data yang didapatkan menjadi acuan bagi penegak hukum untuk mengambil tindakan. Bagi korporasi atau pengusaha yang bisa diajak bekerja sama serta bersedia kooperatif terhadap kebijakan ini dilakukan perhitungan secara komprehensif pajak yang harus dibayarkan berdasarkan durasi atau lama waktu sejak tanaman sawit tersebut mulai dipanen dan menghasilkan.
Sementara bagi pengusaha atau korporasi nakal yang tidak koperatif, pemerintah dan penegak hukum harus melakukan penindakan tegas dengan mengambil lahan yang selama ini dikuasai tanpa izin.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting tentu berkaitan dengan skema pengelolaan lahan ketika negara pada akhirnya memutuskan mengambil perkebunan sawit tersebut dengan mendirikan koperasi rakyat. Merujuk pada tata kelola tanaman komersial (sawit) di Malaysia, pemerintahnya mendirikan lembaga dengan bentuk layaknya koperasi bernama Felda (Federal Land Development Authority).
Posisi masyarakat tidak sekadar menjadi objek pekerja atau buruh harian lepas, tapi mampu mendapatkan keuntungan dari Sisa Hasil Usaha (SHU) dari pengelolaan perkebunan, baik dari sisi hasil produksi maupun hilirasi dari sawit itu sendiri. Selain itu, yang tidak kalah penting ketika lahan-lahan sawit ilegal itu dikuasai oleh negara dan dikelola oleh rakyat, maka sistem pembayaran pajak sebagaimana kewajiban wajib pajak bisa dilakukan secara profesional dan mandiri. (*)
Tags : perkebunan sawit, hutan negara, kehutanan, data lahan tak berizin, independen pembawa suara transparansi, inpest minta menhut data kawasan hutan,