"Ada insiden yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum menjadikan puluhan ribu surat suara untuk Pemilu 2024 terbang melayang tak tentu arah"
elalaian Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyebabkan surat suara Pemilu 2024 sudah dikirim ke Taiwan dan sebagian telah diterima WNI di sana, harus diselidiki. Jika dibiarkan, insiden ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap KPU.
Tuntutan agar persoalan ini diselidiki disuarakan oleh salah-satu tim pemenangan calon presiden.
Setelah kasus pengiriman 62.552 surat suara ini ke Taipei, Taiwan ini muncul ke permukaan, KPU mengakui kesalahannya. Mereka menyebutnya sebagai "kelalaian" dan "ketidakcermatan".
Mereka mengakui pengiriman itu "lebih cepat dari jadwal seharusnya". Sebagai tindak lanjutnya, KPU menyatakan puluhan ribu surat suara itu sebagai "tidak sah".
Bagaimapun, seorang pengamat pemilu menganggap insiden ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap KPU.
“Peristiwa seperti di Taipei bisa menggerus kepercayaan publik terkait kecakapan penyelenggara pemilu, terutama sampai hari pemungutan dan penghitungan suara nanti,” ujar Dosen pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini pada media, Rabu (27/12).
“Bisa juga menimbulkan keraguan terhadap profesionalisme penyelenggara pemilu, dan itu bisa memicu kecurigaan dalam praktik kecurangan pemilu.”
Harus diselidiki
Sementara, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, juga menganggap kejadian di Taipei bisa memicu asumsi-asumsi miring terhadap KPU.
“Kalau KPU tidak cermat, tentu akan muncul asumsi-asumsi bahwa KPU tidak profesional,” katanya.
Para pengamat melontarkan peringatan ini setelah KPU mengakui kesalahan dalam distribusi 62.552 yang sudah dikirimkan kepada para WNI di Taiwan sebelum jadwal semestinya.
Isu ini menjadi sorotan setelah unggahan seorang WNI di Indonesia viral di media sosial. Dalam unggahan tersebut, WNI di Taiwan itu memamerkan surat suara yang sudah ia terima.
Unggahan itu memicu pertanyaan para warganet karena jauh lebih dulu dari jadwal seharusnya. Pemilih di luar negeri memang biasanya mencoblos lebih awal karena dibutuhkan waktu lebih untuk memproses suaranya.
Pemilihan lebih dulu alias early vote ini bisa dilakukan dengan sejumlah cara, di antaranya dengan mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS) di kedutaan besar RI di negara bersangkutan.
Ada pula cara pemilihan via pos. Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) akan mengirimkan surat suara kepada pemilih, yang kemudian harus dikembalikan dalam tenggat tertentu.
Untuk Pemilu 2024, Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 menetapkan PPLN harus mengirimkan surat suara kepada pemilih yang mencoblos via pos pada 2-11 Januari 2024. Surat suara itu harus dikirimkan kembali paling lambat 15 Februari.
Warganet heboh
Warganet pun mempertanyakan alasan WNI di Taiwan sudah menerima surat suara sejak Desember 2023. Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, lantas mengumumkan klarifikasi yang ia terima dari ketua PPLN di Taiwan.
Hasyim membeberkan bahwa alasan pertama PPLN Taiwan mengirimkan surat suara lebih awal adalah karena pemilih di Taiwan sebagian besar merupakan pekerja migran Indonesia (PMI) dengan kondisi kerja beragam.
“Ada yang diizinkan libur dalam rentang satu minggu sekali, dua minggu sekali, dan satu bulan sekali,” ujar Hasyim pada Selasa (26/12), sebagaimana dilansir Kompascom.
"Kemudian, terdapat Chinese New Year di Taiwan pada 8-14 Februari 2024, di mana kantor pos hanya bisa mengirimkan surat suara kembali terakhir pada tanggal 7 Februari 2024 atau satu minggu lebih awal dari jadwal penerimaan surat suara yang terakhir.”
Berdasarkan pertimbangan itu, PPLN memutuskan untuk mengirimkan surat suara lebih dulu dari jadwal seharusnya. Hasyim mengakui tindakan itu tidak tepat.
“Sesungguhnya, kalau dihitung masih ada waktu. Karena apa? Penghitungan surat suara yang metode pos itu masih bisa dihitung sampai hari terakhir yaitu tanggal 15 Februari 2024, sebelum penghitungan suara ditutup," ucap Hasyim.
KPU pun menyatakan surat suara itu masuk kategori rusak dan tidak akan dihitung karena dikirim sebelum waktu yang ditentukan.
Surat suara itu akan diberi tanda silang menggunakan tinta spidol, kemudian dimasukkan ke dalam wadah, diikat, dan disimpan di PPLN Taipei dengan memperhatikan aspek keamanan.
KPU juga akan menyiapkan surat suara pengganti.
Bagaimanapun, KPU akhirnya mengakui ada kelalaian atau ketidakcermatan dari Panitia Pemilih Luar Negeri (PPLN) di Taipei terkait lembar surat pemilu yang sudah diterima WNI lebih dulu dibanding di negara-negara lain.
"Apa yang telah dilakukan oleh PPLN Taipei, KPU pastikan hal tersebut tidak dilakukan oleh 127 PPLN lainnya di seluruh dunia. Kasus pengiriman surat suara pos tidak sesuai jadwal oleh PPLN Taipei tidak akan diulangi lagi," kata Komisioner KPU, Idham Kholik pada wartawan, Rabu (27/12).
Kelalaian itu sebelumnya diakui Ketua KPU, Hasyim Asy'ari. Hasyim mengatakan PPLN tak mengikuti jadwal pendistribusian kepada pemilih yang sudah ditetapkan oleh pihaknya.
"Jadi kalau boleh dikatakan terdapat kelalaian atau ketidakcermatan PPLN Taipei, itu yang paling utama karena tidak memperhatikan jadwal yang sudah ditentukan dalam PKPU," ujar Hasyim dalam jumpa pers di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (26/12).
Juru bicara Tim Nasional (Timnas) Pemenangan pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Angga Putra Fidrian, meminta pemrosesan surat suara yang dianggap rusak itu diperhatikan dengan seksama.
“Surat suara yang sudah terkirim lebih dulu dan dianggap rusak perlu dipastikan untuk tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu,” katanya didepan media.
Sementara itu, juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Aiman Witjaksono, mendesak penyelidikan menyeluruh terkait kejadian di Taiwan ini.
“Soal ini harus ditelusuri oleh KPU dan Bawaslu. Kami mendukung penuh penyelidikan ini. Tidak boleh terjadi hal-hal yang di luar aturan. Harus diinvestigasi secara khusus oleh KPU dan Bawaslu,” tutur Aiman.
Jubir Tim Kampanye Nasional (TKN) paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Herzaky Mahendra Putra, belum ada respons lebih lanjut.
Tak hanya timses para paslon, pengamat juga menganggap kejadian ini harus diselidiki secara menyeluruh walau karena peristiwa ini merugikan setidaknya dua pihak, yaitu negara dan pemilih.
“Tentunya negara karena surat suaranya dianggap rusak dan akan dikirim ulang. Itu kan membawa dampak pada pembiayaan yang harus keluar akibat kelalaian petugas penyelenggara pemilu, bukan karena force majeure,” ujar Titi Anggraini.
Tak hanya Titi, Khoirunnisa juga menilai negara akan dirugikan akibat kejadian ini karena surat suara sebenarnya dicetak sangat terbatas, sesuai dengan jumlah pemilih.
“Ada cadangannya hanya 2 persen. Kalau surat suara yang sudah tercetak itu tidak bisa diklaim lagi, artinya harus bikin lagi. Harus ada pengadaan lagi, ada berita acara yang harus diisi,” ucap Khoirunnisa.
Lebih jauh, Titi menganggap peristiwa semacam ini juga dapat merugikan pemilih karena mereka di ambang keraguan dan mempertanyakan ke mana larinya suara mereka.
“Pemilih menjadi punya keraguan apakah surat suara yang mereka terima itu valid atau tidak, dan ini bisa memicu disinformasi kalau dia berkelindan dengan kerja-kerja tidak bertanggung jawab oknum-oknum yang bisa saja menyebarkan disinformasi atau hoaks terkait peristiwa tersebut,” ucapnya.
Pertanyaan yang bergelayut di benak pemilih itu akhirnya dapat memicu ketidakpercayaan mereka terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
“Peristiwa seperti di Taipei bisa menggerus kepercayaan publik terkait kecakapan penyelenggara pemilu di dalam tahapan penyelenggaraan pemilu, terutama sampai dengan hari pemungutan dan penghitungan suara nanti,” kata Titi.
“Lalu juga menimbulkan keraguan terhadap profesionalisme penyelenggara pemilu, dan itu bisa memicu kecurigaan dalam praktik kecurangan pemilu.”
Mengamini pernyataan Titi, Khoirunnisa menganggap profesionalisme KPU dapat dipertanyakan karena selama ini, pengawasan pemilu di luar negeri memang rentan.
“Publik bisa mempertanyakan cara kerja KPU karena di luar negeri itu memang rentan. Orang sudah mempertanyakan distribusi suara di luar negeri, yang mungkin dari sisi pengawasan dan pemantauan publik secara luas tidak begitu masif,” ucapnya.
Kerentanan ini muncul karena setidaknya dua alasan, yaitu sistem pencoblosan di luar negeri dan keterbatasan pengawasan di mancanegara.
Sistem pencoblosan di luar negeri dapat dilakukan lewat pos dan kotak suara keliling yang sangat rentan karena pengawasannya tak sebaik ketika pemilihan langsung di TPS.
“Aspek kerahasiaan dan pemilihan secara langsungnya juga tidak sepenuhnya bisa dijamin. Bisa saja surat suara diterima oleh orang yang tidak berhak, dicoblos oleh orang yang bukan pemilih sebenarnya,” tutur Titi.
“Tingkat kerahasiaan dan kredibilitasnya tidak sebaik pemungutan suara di TPS luar negeri. Dari sisi otoritas wilayah juga mereka berada di teritori negara lain, jadi itu melibatkan sistem kerja negara lain.”
Pengawasan juga lebih rumit di negara-negara dengan jumlah WNI atau tenaga kerja Indonesia yang banyak, seperti Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Arab Saudi.
Khoirunnisa mengambil contoh Malaysia, di mana banyak WNI bekerja di perkebunan. Karena begitu banyak WNI, surat suara dapat ditaruh di kotak-kotak yang sudah disediakan.
“Itu biasanya tidak diawasi. Kalau tidak ada yang mengawasi, itu bisa saja dicoblos oleh orang surat suaranya. Itu terjadi di pemilu 2019,” ujar Khoirunnisa.
Namun, pengawas pemilu di Negeri Jiran kala itu cermat sehingga semua surat suara dari kotak bermasalah tersebut akhirnya dibatalkan.
“Pengawas pemilunya cermat, jadi dibatalkan semua itu surat suaranya, tapi itu setelah terjadi. Harapannya kan pengawas ini bisa mencegah jangan sampai itu terjadi lagi,” ucapnya.
Titi menilai peristiwa-peristiwa terkait penyelenggaraan pemilu di luar negeri sudah terus berulang sehingga seharusnya bisa dicegah.
“Intinya harus ada evaluasi terhadap sistem dan tata kerja KPU di dalam pengelolaan pemilu di luar negeri terkait efektivitas organ-organ dan personel-personel mereka yang ada di luar negeri,” katanya.
“Penting punya pengawas yang sudah ada pemetaan kira-kira potensi-potensi kecurangan atau kesalahannya seperti apa, belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya.”
Ia juga menyerukan agar koordinasi antara KPU, Bawaslu, dan perwakilan RI di luar negeri diintensifkan, sembari membangun kesadaran masyarakat untuk mengawal prosesnya.
Titi juga mendesak pemanfaatan teknologi dalam membangun koordinasi dan pemantauan perkembangan penyelenggaraan tahapan pemilu di luar negeri.
“Sebenarnya kan tidak selalu harus hadir fisik, tetapi kalau teknologi mampu dioptimalkan disertai dengan sistem koordinasi yang fokus untuk mengawal, saya kira semua pihak akan terdorong untuk bekerja dengan optimal,” katanya.
Secara spesifik, Khoirunnisa membahas perkara yang akhirnya membuat kesalahan pada pengiriman surat suara di Taiwan. Menurutnya, PPLN Taiwan seharusnya menyampaikan pertimbangan-pertimbangan ketika KPU sedang menggodok aturan pemilu di luar negeri.
“Ketika KPU membuat aturan itu kan meminta masukan dari banyak pihak, termasuk dari Bawaslu, masyarakat sipil, dan dari internal. Harusnya itu disampaikan,” katanya.
“Kalau itu disampaikan sejak awal, mungkin KPU bisa cari strateginya seperti apa menghadapi kekhususan-kekhusan itu. Ketika KPU menyusun aturan itu kan seharusnya sudah terpetakan kondisi masing-masing negara itu seperti apa”. (*)
Tags : surat suara, pemilu 2024, pengawasan surat suara, pengawasan surat suara diperketat, sorotan, komisi pemilihan umum,