AGAMA - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Sholahuddin Al Aiyub memaparkan, Islam mengajarkan untuk senantiasa menghindari perilaku berlebihan (israf).
Dalam Islam, seorang Muslim diajarkan untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan menjauhi sikap israf tersebut.
"Kehidupan sederhana adalah yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Hidup sederhana lebih banyak terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bersifat dharuriyah dan hajiyat, ujar Kiai Aiyub seperti dirilis republika.co.id.
Dalam Islam, ada kebutuhan yang masuk kategori dharuriyah, yaitu kebutuhan pokok atau biasa disebut kebutuhan primer. Di bawah dharuriyah, ada kebutuhan hajiyat atau kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tahsiniyatatau kebutuhan tersier.
Kebutuhan primer antara satu orang dan yang lainnya, tentu sama.Sedangkan, kebutuhan sekunder adalah penunjang bagi seseorang dalam menjalani aktivitas profesi dan sosialnya. Jika seseorang memiliki mobilitas yang tinggi, mungkin membutuhkan mobil.Namun, ada orang yang dengan mobilitasnya itu cukup dengan motor.
Perbedaan mencolok antara satu orang dan yang lain, ada dalam kategori kebutuhan tahsiniyat atau tersier. Standar seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan tersier ini berbeda-beda. Karena itu, di sinilah pentingnya kesadaran bahwa barang tersier ini dibutuhkan atau tidak.
Kiai Aiyub mencontohkan, tas sebetulnya masuk kebutuhan sekunder untuk menampung berbagai barang. Namun, bagi sebagian orang tertentu, tidak cukup hanya dengan tas dan fungsinya. Mereka merasa harus menggunakan tas dengan merek- merek tertentu sehingga ini sudah masuk kategori tersier.
Pada masa awal Islam, orang- orang dengan strata sosial tinggi menggunakan pakaian yang kainnya sampai terseret-seret menyapu tanah. Lalu, Nabi Muhammad SAW memasukkan mereka dalam golongan `minal khuyala' yaitu orang-orang yang menyombongkan diri. Padahal, bahan pakaian yang digunakan semestinya cukup disesuaikan dengan kebutuhan.
Padahal, secara fungsinya sudah mencukupi, tetapi karena untuk gengsi atau prestise, seseorang mengikuti model tertentu yang dalam dunia modern menjadi sesuatu yang meningkatkan prestise. Nah, yang seperti ini tidak diajarkan dalam Islam, tuturnya.
Hadapi krisis pangan
Berperilaku hemat merupakan amal saleh. Hemat menimbulkan kebaikan dan menjauhkan keburukan, kata pakar ekonomi Syariah yang juga anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Yulizar Djamaluddin Sanrego.
Yulizar mencontohkan orang yang menerapkan perilaku hemat dalam aktivitas makanan maka tidak akan boros dan berlebih-lebihan baik dalam membeli dan mengkonsumsi makanan.
Sebab, menurut pakar ekonomi Syariah yang juga anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Yulizar Djamaluddin Sanrego, berlebihan dalam kegiatan makan dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada sisi lain akan membuat besarnya pengeluaran keuangan.
Menurut dia, hemat dalam Islam itu melakukan sesuatu sesuai kebutuhan. Termasuk dalam perintah untuk berperilaku hemat yang kemudian bisa menjadikan seseorang dinilai berbuat amal saleh.
“Bahkan dalam urusan ibadah pun, diperintahkan untuk tidak berlebihan misalnya dalam berwudhu tidak baik bagi seseorang menggunakan air berlebihan dalam berwudhu," kata Yulizar.
Menurut Yulizar perilaku hemat adalah ajaran Islam juga efektif dalam menghadapi resesi ekonomi.
Seperti kisah Nabi Yusuf, dalam catatan sirah nabi dijelaskan bahwa Nabi Yusuf yang berhasil membantu raja Mesir mengatasi krisis yang melanda negerinya selama bertahun-tahun, sebelum krisis terjadi Nabi Yusuf menyarankan untuk berhemat dan menyiapkan ketahanan pangan dengan membuat lumbung dan melakukan manajemen yang cermat pada hasil panen.
"Sebagaimana kisah Nabi Yusuf, mestinya akan efektif dalam menghadapi resesi. Ini juga pernah dilakukan Umar bin Khattab pada saat terjadi pandemi masa itu, Umar bin Khattab bisa meredam karena sebelumnya beliau melakukan investasi beberapa tanah kemudian di switch menjadi tanah wakaf yang kemudian ditasarufkan atau diinvestasikan," katanya.
Pakar ekonomi syariah yang juga Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia, Adiwarman Karim, mengatakan perilaku hemat tidak identik dengan boros dan pelit.
Menurutnya hemat harus diletakan sesuai konteksnya. Hemat menurutnya bermakna qanaah yaitu merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah SWT.
Orang yang hemat bila memiliki kelebihan harta tak akan segan untuk berbagi dengan orang lain.
Oleh karena itu hemat bermakna qanaah atau merasa cukup juga sebagai langkah yang dapat diambil oleh setiap orang dalam menghadapi resesi ekonomi.
"Dalam keadaan resesi kita harus melakukan hemat, dalam artian kita merasa cukup. Yang resesi itu ekonomi bukan rezeki," katanya. (*)
Tags : hidup sederhana, kehidupan yang sederhana, kebutuhan, hemat, hemat, perilaku hemat, keutamaan hemat, hemat menurut islam, krisis, krisis pangan, nabi yusuf,