JAKARTA - Kandungan zat kimia Bisfenol A (BPA) pada galon air minum baru-baru ini menjadi perhatian publik setelah seorang influencer mengangkat topik tersebut di media sosial.
BPA merupakan salah satu bahan penyusun polikarbonat, yang digunakan untuk membuat galon air minum. Zat kimia ini telah dikaitkan dengan berbagai dampak kesehatan, dari gangguan reproduksi hingga autisme.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan batas aman untuk BPA dan sedang menyusun pengaturan pelabelan air minum dalam kemasan (AMDK) untuk melindungi konsumen.
Bagaimanapun, sebagian warganet merasa isu ini dimanfaatkan dalam persaingan antara beberapa jenama atau merek air minum dalam kemasan.
Apa itu BPA dan apa dampaknya pada kesehatan?
BPA adalah zat kimia yang digunakan dalam proses industri untuk membuat polikarbonat, plastik keras yang sering digunakan dalam wadah penyimpan makanan dan minuman.
BPA juga ditemukan di resin epoksi yang digunakan untuk melapisi bagian dalam kaleng makanan dan minuman. Bahan ini telah digunakan sejak tahun 1950-an.
Dalam kondisi tertentu, BPA dapat bermigrasi dari kemasan polikarbonat ke air yang dikemasnya. Ketika air diminum, BPA akan masuk ke dalam tubuh dan dimetabolisme oleh liver kemudian dikeluarkan bersama urine.
Kekhawatiran akan cemaran BPA tumbuh seiring munculnya berbagai bukti saintifik tentang kaitan senyawa ini dengan berbagai gangguan kesehatan.
BPA dikategorikan sebagai endocrine disruptor atau zat kimia yang dapat mengganggu hormon, terutama hormon estrogen.
Sebuah studi telaah pada 2013 menjabarkan kaitan BPA dengan dampak kesehatan seperti fertilitas, fungsi seksual pria, berkurangnya kualitas sperma, kanker payudara, keguguran, obesitas, dan lain-lain.
Studi lainnya menemukan kaitan antara BPA dengan autisme pada anak-anak.
Bagaimana BPA bisa masuk ke dalam air minum?
Pakar teknik material dari Universitas Indonesia, Profesor Mochamad Chalid, menjelaskan proses hidrolisis atau penguraian zat dan migrasi BPA dari kemasan berbahan polikarbonat ke produk air minum dalam kemasan (AMDK) dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Di antaranya derajat keasaman, waktu kontak dengan air yang cukup lama, dan suhu transportasi atau penyimpanan atau proses isi ulang produk AMDK dalam galon.
"Risiko lepasan BPA dari galon polikarbonat semakin besar dengan semakin lama waktu kontak atau pengunaannya. Semakin panas suhu transportasi atau penyimpanan atau proses isi ulang produk AMDK," ujar Prof Chalid kepada BBC News Indonesia.
"Semakin banyak pencucian galon (karena sikat atau mekanis dan deterjen, mempercepat lepasan BPA," sambungnya.
Lebih lanjut, imbuh Prof. Chalid, ketiga faktor tersebut semakin kuat dipengaruhi oleh rata-rata umur pakai galon yang relatif panjang, sampai bertahun-tahun, atau berapa kali isi ulang yang diperkirakan rata-rata sekitar 40 kali.
Berapa batas aman BPA?
BPOM telah menetapkan batas aman BPA sebesar 0,6 berat per juta (bpj), berdasarkan Peraturan Badan POM Nomor 20 tentang Kemasan Pangan.
Berdasarkan hasil pengawasan kemasan galon yang dilakukan BPOM pada tahun 2021 dan 2022, baik di sarana produksi maupun peredaran, ditemukan 3,4% sampel tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang diperoleh di sarana peredaran.
BPOM juga menemukan kadar migrasi BPA yang mengkhawatirkan, 0,05-0,6 bpj, sebesar 46,97% di sarana peredaran dan 30,91% di sarana produksi.
Sementara itu kadar BPA yang dianggap berisiko terhadap kesehatan, di atas 0,01bpj, ditemukan di 5% sampel galon baru di sarana produksi dan 8,67% di sarana peredaran.
Pada April 2023, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) memperbarui standar keamanan BPA-nya dengan mengurangi asupan harian yang bisa ditoleransi (tolerable daily intake, TDI) dari asesmen sebelumnya pada 2015.
Berdasarkan bukti-bukti saintifik terbaru, para pakar EFSA menetapkan TDI sebesar 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Standar ini 20.000 kali lebih rendah dari standar sebelumnya, yaitu 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari.
Beberapa penelitian terbaru mengindikasikan bahwa, kendati dalam batas aman yang telah ditetapkan, paparan BPA dapat menyebabkan atau berkontribusi pada berbagai masalah kesehatan. Namun perlu lebih banyak penelitian untuk menentukan batas kadar BPA yang benar-benar aman.
Apakah ini persaingan dagang?
Pembicaraan tentang BPA kembali mengemuka setelah diangkat oleh seorang influencer atau pemengaruh bernama dr. Richard Lee di kanal YouTube-nya.
Dia membuat dua video yang menampilkan sesi wawancara dengan pakar farmasi dari Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib, serta pakar teknik material dari Universitas Indonesia, Profesor Mochamad Chalid.
Beberapa warganet menuduh dr. Richard menyudutkan merek tertentu dan terlibat dalam persaingan dagang antara jenama air minum kemasan di Indonesia.
Tidak sedikit yang menduga ada kampanye untuk mendiskreditkan kemasan galon polikarbonat (PC) dan mendorong masyarakat untuk beralih ke kemasan Polietilena Tereftalat (PET) yang dilabeli “BPA-Free”.
Namun dr. Richard mengatakan bahwa dia membuat video-video tersebut sebagai konsumen yang peduli, dan tujuannya adalah “edukasi ke masyarakat”.
Lain lagi disebutkan dr. Richard berkata pembuatan video tersebut didorong oleh kekhawatiran pribadi setelah menonton pemberitaan di televisi dan beberapa kreator konten lainnya soal kecemasan akan air minum dalam kemasan yang mengandung BPA.
“Sehingga ya itu reaksi yang sangat normal dan saya pikir ketika diberikan edukasi ke masyarakat, masyarakat berhak tahu apa yang dikonsumsi oleh masyarakat tanpa menyudutkan pihak manapun,” tutur dr. Richard seperti dirilis BBC News Indonesia.
Dr. Richard menegaskan bahwa dia tidak punya kepentingan dengan produk manapun dan tidak menerima bayaran dari pihak manapun.
“Saya tidak punya kepentingan dengan produk manapun dan saya juga tidak punya perusahaan air minum manapun jadi saya tidak punya concern ke manapun,” kata dr. Richard.
“Apapun yang saya sampaikan masyarakat adalah edukasi. Jadi jelas saya tidak menerima bayaran dari pihak manapun.”
Prof. Chalid, yang juga hadir dalam video dr. Richard, juga mengatakan tidak mau terlibat dalam persaingan dagang. Dia menegaskan bahwa posisinya adalah akademisi yang mengedepankan faktor ilmiah dan kepentingan masyarakat.
Mengenai apakah galon PET lebih aman dari PC, menurut Prof. Chalid “dua-duanya berpotensi”.
PC bisa menghasilkan BPA sementara PET bisa menghasilkan etilen glikol — kedua-duanya ini bisa berbahaya bagi kesehatan.
Persoalannya adalah, lanjut dia, bagaimana produsen bisa memenuhi syarat sebagai produk kemasan AMDK.
“Sehingga diminimasi dampak negatifnya dengan cara harus mengikuti standar kandungan yang bermasalah tadi. Kalau PC kaitan dengan BPA kalau PET berkaitan dengan EG-nya. Siapa yang menetapkan? BPOM. Maka mereka harus patuh dengan itu,” kata Prof. Chalid.
Bagaimana memitigasi dampak BPA pada kesehatan?
Pakar teknik kimia dari Institut Teknologi Bandung, Akhmad Zainal Abidin, menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan air minum kemasan galon polikarbonat, selama masih dalam batas aman yang ditetapkan BPOM.
Itu karena sejauh ini belum ada kasus orang yang sakit karena BPA dalam air minum dari kemasan galon, yang telah digunakan selama puluhan tahun.
“Ya tidak harus khawatir dan tidak perlu berganti [ke PET]. Karena sudah 40 tahun lebih dipakai, orang yang pakai pun juga enggak ada hari ini yang punya problem sepertinya ya,” kata Akhmad.
Adapun informasi mengenai dampak kesehatan, dia menambahkan, harus dikaitkan dengan konsentrasi BPA — selama itu di bawah ambang batas maka masih aman. Itu berarti BPA tidak bisa langsung dikatakan sebagai penyebab autisme, misalnya, karena ada faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh.
“Intinya semua bahan itu tidak bisa hanya dilihat namanya lalu dikategorikan berbahaya,” Akhmad menegaskan.
BPOM saat ini sedang menyusun revisi Peraturan Badan POM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Peraturan ini akan mengatur kewajiban mencantumkan tulisan cara penyimpanan pada label AMDK: “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” serta pencantuman label “Berpotensi Mengandung BPA” pada produk AMDK yang menggunakan kemasan plastik PC.
Namun demikian, pencantuman label “Berpotensi Mengandung BPA” dikecualikan untuk produk AMDK dengan hasil analisis BPA tidak terdeteksi dengan nilai Limit of Detection (LoD) ≤ 0,01 bpj dan migrasi BPA dari kemasan plastik polikarbonat memenuhi ketentuan perundang-undangan.
Kepala BPOM, Penny Lukito, menegaskan bahwa pihaknya tidak melarang penggunaan kemasan galon PC.
Pengaturan ini, ujarnya, semata untuk kepentingan perlindungan konsumen serta pelaku usaha agar tidak ada tuntutan hukum di kemudian hari. Regulasi ini hanya berlaku untuk AMDK yang mempunyai ijin edar sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang.
“Dan perlu dipahami bersama bahwa isu BPA dalam produk pangan olahan ini bukan masalah kasus lokal atau nasional, tetapi merupakan perhatian global yang harus kita sikapi dengan cerdas dan bijaksana untuk kepentingan perlindungan kesehatan konsumen”, kata Penny.
Partikel plastik dalam air kemasan, publik belum banyak tahu.
Pengurus YLKI, Indah Sukmaningsih, enggan berkomentar banyak soal isu BPA pada air kemasan galon.
Dia mengembalikan urusan ini pada konsumen.
"Dengan prinsip kehati-hatian, lebih baik kalau ragu-ragu, jangan diminum, ambil apa yang anda yakini aman," ujarnya.
"Jadilah konsumen yang cerdas, kalau ragu tinggalkan dua-duanya."
Adapun kepada BPOM, Indah meminta agar melaksanakan tugasnya dalam pengawasan dan memberi kepastian kepada konsumen.
"BPOM harus bisa kasih label, kalau aman ya katakan aman. Begitu juga sebaliknya". (*)
Tags : kemasan galon, air minum kemaan galon, kemasan air minum diterpa isu kandungan zat kimia bisfenol A, air minum kemasan galon ancaman nyata, perang dagang, bisnis, kesehatan, sains,