Pilkada   2023/12/23 15:55 WIB

Isu Lonjakan Dana Kampanye Kembali Berhembus, Pengamat: 'Didesain Agar Tak Bisa Dipertanggungjawabkan, Tetapi Tetap Saja Terasa Janggal'

Isu Lonjakan Dana Kampanye Kembali Berhembus, Pengamat: 'Didesain Agar Tak Bisa Dipertanggungjawabkan, Tetapi Tetap Saja Terasa Janggal'
Isu lonjakan transaksi janggal terkait dana kampanye kembali berembus menjelang Pemilu 2024.

JAKARTA - Transaksi 'mencurigakan' ratusan miliar rupiah terkait dana kampanye kembali berhembus yang 'aturan pemilu dirancang agar tidak ada akuntabilitas'.

Isu lonjakan transaksi janggal terkait dana kampanye kembali berembus menjelang Pemilu 2024. Pengamat menganggap isu ini muncul tiap pemilu karena regulasi kepemiluan didesain agar pertanggungjawaban dana kampanye tak bisa diwujudkan.

Dosen pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, melontarkan pendapat ini setelah meneliti sejumlah aturan kepemiluan.

"Saya menilai memang pengaturan dana kampanye kita itu secara sistemik didesain untuk tidak mampu mewujudkan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye," kata Titi Anggraini pada media, Senin (18/12).

Titi mendasarkan argumennya itu pada fakta bahwa dalam aturan kepemiluan, cakupan laporan yang harus diserahkan peserta pemilu dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat terbatas.

Namun, Titi menganggap keterbatasan ini sebenarnya dapat dijembatani dengan beberapa cara, salah satunya menggunakan instrumen hukum di luar kepemiluan, serta menggandeng instansi lain, termasuk PPATK.

Senada, Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramdhanil, juga mendesak agar Bawaslu segera berkoordinasi dengan PPATK.

"Bawaslu harus segera berkoordinasi dengan PPATK untuk mengecek beberapa hal, salah satunya apakah benar ada aliran dana itu masuk ke calon anggota legislatif yang saat ini sedang berkampanye?" ujar Fadli.

Para pengamat mengutarakan pendapatnya setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan lonjakan transaksi mencurigakan terkait dana kampanye pemilu.

Bagaimana awal mula dugaan ini muncul?

Dugaan ini pertama kali mencuat pada pekan lalu, ketika Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, membeberkan pihaknya menemukan aliran transaksi mencurigakan terkait Pemilu 2024 meningkat 100 persen.

"Kita melihat memang transaksi terkait dengan pemilu ini masif sekali laporannya kepada PPATK. Kenaikan lebih dari 100 persen di transaksi keuangan tunai, di transaksi keuangan mencurigakan," ujar Ivan, seperti dikutip Detikcom.

Ivan kemudian membeberkan bahwa berdasarkan pengalaman selama ini, PPATK kerap kali mendapati rekening khusus dana kampanye (RKDK) cenderung tak bergerak.

PPATK pun mencurigai dana para pihak yang berkontestasi pada pemilu berasal dari hasil tindak pidana, seperti tambang ilegal.

"Kita kan bertanya pembiayaan kampanye dan segala macamnya itu dari mana kalau RKDK-nya tidak bergerak, kan? Nah, itu kita melihat ada potensi misalnya orang mendapatkan sumber dari hasil ilegal," ucap Ivan.

Dalam laporannya, PPATK menyinggung sebagian dana itu masuk ke rekening bendahara partai politik, tanpa menyebut pihak yang dirujuk.

Ivan mengaku sudah menyerahkan laporan tersebut kepada pihak-pihak terkait, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Apa isi laporan itu?

Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan bahwa laporan dari PPATK masih berupa data intelijen keuangan yang perlu dikaji lebih lanjut sebelum dibuka ke publik.

“Masih dikaji. Pertama, kami menerima laporan PPATK dan bentuknya adalah data intelijen keuangan,” kata Rahmat pada Senin, seperti dinukil dari Antara.

Karena laporan itu masih bersifat data intelijen, Bawaslu harus melibatkan pihak lain dalam proses kajian, mulai dari kepolisian hingga kejaksaan.

Sementara itu, Komisioner KPU, Idham Holik, juga mengakui pihaknya sudah menerima laporan dari PPATK. 

Menurutnya, laporan itu memaparkan jumlah uang yang masuk dan keluar dari rekening bendahara partai politik pada April-Oktober 2023 mencapai ratusan miliar rupiah.

"Terkait transaksi ratusan miliar tersebut, PPATK tidak merinci sumber dan penerima transaksi keuangan tersebut," tutur Idham dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Kompas.

Ia juga berkata, "PPATK menjelaskan transaksi keuangan tersebut berpotensi akan digunakan untuk penggalangan suara yang akan merusak demokrasi Indonesia."

Ilham membeberkan bahwa PPATK juga memantau ratusan ribu safe deposit box (SDB) di Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) dan bank BUMN pada rentang Januari 2022-30 September 2023.

PPATK khawatir uang dalam SDB itu digunakan untuk dana kampanye. Jika ya, penggunaan itu tak sesuai dengan ketentuan.

Mereka menaruh perhatian pada pergerakan dana tersebut karena pola peningkatan transaksi janggal semacam ini terus berulang di tiap pemilu.

Regulasi pemilu didesain agar pertanggungjawaban pengelolaan dana kampanye tak terwujud?

Dosen pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menganggap laporan semacam ini berulang karena regulasi kepemiluan Indonesia memang didesain secara sistematis agar pertanggungjawaban dana kampanye pemilu tak bisa terwujud.

"Saya menilai memang pengaturan dana kampanye kita itu secara sistemik didesain untuk tidak mampu mewujudkan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye," ujar Titi Anggraini.

"Terlalu banyak celah, terlalu banyak penyimpangan, tetapi sangat lemah pengawasan dan bahkan minim penegakan hukum."

Titi lantas menjabarkan bahwa celah itu dapat dilihat dari betapa sempit aturan terkait cakupan dana yang harus dilaporkan hingga pengawasan penggunaannya.

Ia kemudian mengambil contoh bahwa selama ini, pelaporan dana kampanye dalam UU Pemilu dan peraturan KPU hanya dimaknai sebagai dana-dana yang digunakan "di periode kampanye".

"Faktanya, banyak sekali dana beredar yang keluar sebelum masa kampanye, hari tenang, hari pemungutan suara, sampai setelah hari pemungutan suara, ketika rekapitulasi, bahkan sampai proses perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi," kata Titi.

"Pada tenggat-tenggat itu, tidak bisa ditagih akuntabilitasnya karena yang dilaporkan hanya dana di masa kampanye."

Selain itu, Titi juga membahas aturan dalam UU Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 yang mengatur bahwa dana kampanye itu harus melalui Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK).

"Faktanya adalah banyak sekali dana-dana yang tidak melalui RKDK, bahkan dikelola oleh pihak-pihak yang tidak menjadi bagian dari tim kampanye resmi. Misalnya, oleh relawan atau pihak-pihak di luar itu," tutur Titi, memperkuat dugaan PPATK.

Titi kemudian merinci lebih jauh cara peserta pemilu mengelabui aturan mengenai RKDK tersebut. Menurut Titi, laporan dana kampanye untuk pemilu DPR/DPRD seharusnya dilaporkan melalui RKDK parpol.

Untuk pasangan calon presiden-wakil presiden, laporan dana kampanye dilakukan melalui RKDK masing-masing paslon.

"Dalam praktik, caleg itu juga menerima dan mengelola dana kampanye, tapi tidak dilaporkan melalui partai politiknya," tuturnya.

"Kita tidak mampu mengawasi fenomena itu, makanya dari pemilu ke pemilu hampir tidak ada dana-dana yang beredar di luar RKDK, padahal itu digunakan untuk kepentingan pemenangan."

Praktik-praktik semacam inilah yang menurut Titi menimbulkan kejanggalan dalam laporan dana kampanye.

"Hampir semua caleg mengeluhkan biaya politik yang tinggi, tapi ketika kita komparasi dengan laporan dana kampanyenya, semuanya normal, bahkan di bawah standar," ucap Titi.

Manuver-manuver mengelabui aturan itu, kata Titi, kian marak karena selama ini tidak ada upaya untuk mencegah penggunaan dana-dana kepentingan kampanye yang dikelola di luar RKDK.

"Jadi, kesadaran untuk patuh pada aturan main di mana hanya boleh dana dari RKDK itu tidak ditegakkan, alias hanya basa-basi," ujar Titi.

Tak hanya cakupan biayanya, ruang lingkup audit dana kampanye juga sempit, yaitu hanya berdasarkan RKDK dan prinsip agreed upon procedure atau audit kepatuhan terhadap prosedur.

"Audit atas kepatuhan terhadap prosedur bukan berupa audit investigatif, apalagi audit forensik. Auditor pun hanya memeriksa apakah dari RKDK itu ada sumbangan yang melampaui batas, apakah ada sumbangan dari pihak-pihak yang melanggar hukum," katanya.

"Tapi realitas bahwa ada dana kampanye di luar yang dikelola dalam RKDK dan yang dilaporkan dalam laporan dana kampanye itu tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diungkap."

Titi menganggap masalah ini sebenarnya sudah dapat terendus jika membandingkan aktivitas para peserta pemilu saat kampanye dengan biaya yang mereka laporkan.

Jika aktivitas kampanye padat, secara umum tentu biaya yang dikeluarkan juga banyak.

"Selama ini, komparasi antara realitas proyeksi pembiayaan kampanye dan uji komparasi dengan biaya kampanye yang dilaporkan itu enggak pernah ada," ucapnya.

"Setiap aktivitas kampanye itu harus diberitahukan dan dilaporkan ke KPU dan ditembuskan ke Bawaslu dan polisi. Kalau mau, itu bisa diuji faktualitas antara aktivitas kampanye dan pembiayaannya, dan dibandingkan."

Meski demikian, Titi mengakui bahwa cara ini juga sulit diwujudkan karena perbandingan baru bisa dilakukan setelah laporan dana kampanye diserahkan.

"Biasanya, laporan dana kampanye diserahkan paling lambat 15 hari setelah pemungutan suara, ya jadi tidak bisa juga digunakan oleh pemilih sebagai kontrol," kata Titi.
Bagaimana aturan pelaporan dana kampanye dan penerapannya selama ini?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, peserta kampanye memang harus mengirimkan laporan dana kampanye selambatnya 15 hari setelah pemungutan suara.

Jika tidak, mereka akan didiskualifikasi dari pertarungan pemilu. Selain itu, mereka juga harus memastikan laporan dana kampanye yang mereka buat benar.

Pasal 496 dan 497 UU Nomor 7 Tahun 2017 menetapkan partai atau orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye dapat dijerat sanksi penjara atau denda.

Bagi partai pemilu, ancamannya pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda Rp12 juta. Untuk perseorangan, ancaman hukumannya berupa pidana bui paling lama dua tahun dan denda hingga Rp24 juta.

Namun berdasarkan pengamatan Titi, sampai saat ini tidak pernah ada sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggar aturan dana kampanye ini.

Menurut Titi, hingga kini tak ada sanksi yang dijatuhkan karena sejumlah keterbatasan Bawaslu, salah satunya lantaran mereka hanya bisa menelusuri aliran dana di RKDK.

Selain itu, Bawaslu juga sudah terlalu sibuk dengan kerja pengawasan pemilu yang terlalu banyak. Sementara itu, sarana dan prasarana Bawaslu juga tak menunjang.

"Kewenangannya terlalu besar, terlalu banyak, sampai-sampai tidak memprioritaskan pengawasan terhadap dana kampanye. Kapasitas personel dan kelembagaannya juga lemah," ucapnya.

Melihat masalah ini terus berulang, Titi menganggap harus ada reformasi besar-besaran pengaturan akuntabilitas dan tata kelola dana kampanye.

Namun, reformasi itu tak bisa dilakukan sekarang, ketika rangkaian kampanye dan Pemilu 2024 sudah bergulir.

Untuk saat ini, Titi menganggap aparat seharusnya tak bergantung hanya pada regulasi pemilu. Menurutnya, pengawas dapat menggunakan instrumen hukum lain yang tak terkait dengan pemilu.

"Misalnya, UU tindak pidana pencucian uang, UU tindak pidana korupsi, serta berbagai instrumen hukum lain yang memungkinkan dilakukannya penelusuran transaksi ilegal," katanya.

Karena kewenangan Bawaslu terbatas pada RKDK, Titi melihat laporan dari PPATK ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk bagi untuk menelusuri aliran dana kampanye lebih jauh.

"Informasi awal dari PPATK bisa ditindaklanjuti lebih dalam oleh Bawaslu dan kalau memang ada keterangan yang tidak benar [dalam laporan dana kampanye yang diserahkan], dengan bantuan PPATK bisa diungkap," ujar Titi.

"Kalau sampai ada ternyata aktivitas kampanye yang dibiayai oleh pihak-pihak tertentu dan digunakan oleh peserta pemilu tapi tidak dilaporkan, itu melanggar Pasal 496 dan 497."

Senada, Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramdhanil, juga mendesak agar Bawaslu segera berkoordinasi dengan PPATK.

"Bawaslu harus segera berkoordinasi dengan PPATK untuk mengecek beberapa hal, salah satunya apakah benar ada aliran dana itu masuk ke calon anggota legislatif yang saat ini sedang berkampanye?" ujar Fadli.

Fadli menegaskan bahwa pengecekan ini penting karena berdasarkan aturan pemilu, sumber dana kampanye para peserta harus memenuhi sejumlah kriteria.

"Mereka kalau mau menerima sumbangan bisa dari perorangan atau badan hukum, tapi itu harus dilaporkan. Harus ada prasyarat, sumbangan yang diterima itu tidak boleh dari hasil kejahatan. Harus dicatatkan," katanya.

Bagaimana tanggapan partai politik?

Tak lama setelah isu ini berembus, sejumlah partai politik langsung buka suara. Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristianto, menegaskan partainya tak pernah menggunakan duit hasil kejahatan untuk kampanye.

Ia mengklaim upaya pemenangan calon presiden yang mereka usung, Ganjar Pranowo, dan wakilnya, Mahfud MD, juga dilakukan berdasarkan spirit gotong royong rakyat.

“Rakyatlah yang menyediakan rumah-rumahnya untuk baliho Pak Ganjar dan Prof Mahfud,” katanya, sebagaimana dikutp Kompascom.

Ketua Bidang Koordinator Pemenangan Pemilu Partai Golkar, Nusron Wahid, juga mengklaim partainya selalu patuh pada aturan KPU dalam upaya pemenangan capres yang mereka usung, Prabowo Subianto.

"Soal dana kampanye TKN (tim kampanye nasional), kami transparan sebagaimana aturan main yang dibuat KPU. Semua standar KPU sudah kita ikuti semua," ujar Nusron, seperti dilansir Kompascom.

Sementara itu, Co-kapten Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Sudirman Said, mendesak PPATK untuk membuka laporan tersebut agar tak muncul rasa saling curiga di antara para kontestan.

"Saya kira baik ya, (jika) memang nyata buktinya, valid buktinya, akurat dan ada kaitannya dengan pelanggaran peraturan kepemiluan, saya kira baik untuk diumumkan, supaya orang tidak saling curiga dan partai jumlahnya (juga) banyak," katanya. (*)

Tags : pemilu 2024, isu lonjakan dana kampanye, pemilu di indonesia,