JAKARTA - Izin pengumpulan dana publik dicabut, karena ada dugaan penyelewengan di Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT). Pengawasan pemerintah selama ini dianggap lemah.
Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) memunculkan lagi kebutuhan untuk memperkuat fungsi pengawasan pemerintah terhadap aktivitas lembaga-lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat.
Kelemahan pengawasan pemerintah itu, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), antara lain, belum ada sanksi yang tegas terhadap lembaga filantropi yang terbukti melakukan penyelewengan.
Dalam perkembangan terbaru terkait kasus ACT, Kementerian Sosial mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang lembaga filantropi itu, Selasa (05/07).
"Alasan kami adalah pertimbangan adanya indikasi pelanggaran terhadap peraturan menteri, sampai menunggu hasil pemeriksaan dari inspektorat jenderal, baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut," kata Menteri Sosial Ad Interim, Muhadjir Effendi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Muhadjir berkata, ACT hanya diperbolehkan menggunakan 10% dari total sumbangan yang mereka terima untuk kepentingan pembiayaan lembaga. Aturan itu merujuk pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah 29/1980.
Namun berdasarkan keterangan Presiden ACT, Ibnu Khajar, ACT rata-rata menggunakan 13,7% dana sumbangan untuk kepentingan lembaga.
"Angka tersebut tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal," kata Muhadjir.
Bagaimanapun, di luar konteks kewenangan pemerintah, asosiasi yang menghimpun lembaga filantropi di Indonesia belum memiliki dewan kode etik untuk mengawasi tindak-tanduk pengurus lembaga filantropi.
Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh lembaga kemanusiaan ACT yang disinyalir digunakan untuk kepentingan pribadi mencuat ke permukaan.
Pimpinan lembaga itu juga diduga memanfaatkan donasi itu untuk gaji dan fasilitas pengurus.
Akibatnya, seperti dilaporkan majalah itu, menyebabkan berbagai program bantuan lembaga amal itu mandek. Pimpinan ACT membantah laporan ini.
ACT, yang beroperasi sejak 2005, adalah lembaga pengelola dana sosial dan kebencanaan yang dilaporkan mengelola uang ratusan miliar rupiah.
'Pengawasan sangat minim'
Dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh ACT menimbulkan reaksi luar biasa di masyarakat.
Di media sosial diserukan agar masyarakar memboikot pemberian dana ke ACT dan reaksi cepat dilakukan Kementerian Sosial yang berjanji akan memanggil pimpinan lembaga amal tersebut.
Kalangan politikus di DPR meminta polisi turun tangan untuk menyelidiki kasus ini, sementara PPATK mengaku sejak awal pihaknya juga "menemukan dugaan penyelewengan".
Namun bagi YLKI, terungkapnya dugaan kebocoran dana masyarakat oleh ACT, tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pemerintah.
"Pengawasannya sangat minim. Dalam catatan YLKI, Kemensos belum pernah menjatuhkan sanksi terhadap lembaga yang tidak berizin, dan yang berizin tapi menyalahgunakan amanat yang menjadi komitmen awalnya," kata salah-seorang pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, Selasa (05/07).
Keberadaan lembaga filantropi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
Sudaryatmo kemudian menyebut masalah pengawasan yang diatur dalam undang-undang itu sebagai secara "infrastruktur hukum dan kelembagaannya sudah ketinggalan".
Dia kemudian menyontohkan, "Kenapa banyak lembaga yang tidak punya izin, tapi melakukan penggalangan dana."
Hal penting lainnya, lanjutnya, UU itu tidak mengatur tentang lembaga rating yang disebutnya dapat mengawasi sepak terjang lembaga amal.
Praktik seperti disebutnya sudah lazim di beberapa negara maju.
"Di Indonesia perlu lembaga yang melakukan rating lembaga filantropi. Itu penting untuk menjadi guideline bagi donatur untuk menyumbang.
Keberadaan lembaga ini disebutnya penting bahwa "lembaga filantropi itu ada yang mengawasi."
Di sinilah, YLKI kemudian menyarankan agar pemerintah dan DPR untuk merevisi undang-undang yang mengatur tentang lembaga filantropi.
Apa tanggapan Kemensos?
Menteri Sosial Ad Interim, Muhadjir Effendi, menyatakan pemerintah responsif terhadap "hal-hal yang sudah meresahkan masyarakat".
Dalam waktu dekat, kata dia, Kementerian Sosial akan menyisir berbagai izin yang diberikan kepada lembaga filantropi lainnya. "Untuk memberikan efek jera agar tidak terulang kembali," tutur Muhadjir.
Selasa kemarin Kemensos memanggil pimpinan ACT. Presiden ACT Ibnu Khajar disebut memenuhi permintaan klarifikasi dan menjelaskan berbagai tudingan yang beredar.
Menurutnya, sesuai Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang, Kemensos berwenang memeriksa lembaga pelaksana pengumpulan uang dan barang yang diduga melakukan pelanggaran.
Sekretaris Jenderal Kemensos, Harry Hikmat, berujar inspektorat jenderal lembaganya punya kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran tersebut.
"Serta membekukan sementara izin lembaga yang bersangkutan sampai proses pemeriksaan tuntas," katanya.
Merujuk Pasal 19 huruf b Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021, Menteri Sosial juga berwenang mencabut dan atau membatalkan izin penyelenggaraan lembaga yang bersangkutan jika penyelenggara terbukti melakukan pelanggaran.
Dikatakannya, mereka juga dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, penangguhan hingga pencabutan izin operasi.
"Serta sanksi pidana jika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Mereka juga mengeklaim memiliki wewenang mengawasi semua lembaga filantropi yang terdaftar.
Bagaimana tanggapan Perhimpunan Filantropi Indonesia?
Disinyalir petinggi ACT diduga memanfaatkan dana yang dihimpun dari masyarakat itu untuk kepentingan pribadi.
Pimpinan lembaga itu juga diduga memanfaatkan donasi itu untuk gaji dan fasilitas pengurusnya.
Akibatnya, seperti dilaporkan majalah itu, menyebabkan berbagai program bantuan lembaga amal itu mandek. Pimpinan ACT membantah laporan ini.
Presiden ACT, Ibnu Khajar, dalam jumpa pers, Senin (04/07),menganggap biaya operasional yang dipotong dari donasi itu tidak melanggar apa yang disebutnya sebagai hukum syariah.
Bagaimanapun, Perhimpunan Filantropi Indonesia, yang mewadahi lembaga amal, mengakui, pihaknya belum memiliki dewan kode etik yang dapat "mengontrol" perilaku para pengurusnya.
"Sekarang ini masih dalam proses sosialisasi kode etik. Kita sekarang lebih banyak mengatakan 'hati-hati ada peristiwa begini, tolong perhatikan kode etik' ... jadi itu yang baru bisa dilakukan oleh kita [Perhimpunan Filantropi Indonesia]," kata salah-seorang anggota Badan Pengurus PFI, Hamid Abidin.
'Hak donatur untuk bertanya'
Masalah lain yang mencuat di tengah terungkapnya kasus dugaan penyelewengan dana masyarakat ini, adalah sejauhmana para donatur berhak mengontrol uang sumbangannya.
Hamid Abidin, salah-satu anggota Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi (PFI) mengatakan, sudah saatnya mengedukasi para donatur.
"Karena donatur kita, sebagian besar, sifatnya tertutup dan tidak kritis.
"Misalnya, kalau menyumbang lebih suka menyebut 'hambah Allah' dibandingkan menyebutkan identitasnya.
"Kemudian, mereka tidak begitu peduli dengan pertanggungjawaban, dengan laporan. Jarang yang mengecek dan menanyakan.
"Inilah yang juga membuka ruang bagi lembaga-lembaga penggalang sumbangan untuk menyalahgunakannya," papar Hamid.
Salah-seorang pengurus harian YLKI, Sudaryatmo, juga menyoroti soal pentingnya pengawasan dari masyarakat, yaitu terutama dari para donatur.
"Pengawasan dari masyarakat akan efektif, kalau saat yang sama, donatur punya kepedulian terhadap hak-haknya.
"YLKI itu berkali-kali mendorong kepada lembaga filantropi, kalau bikin poster juga diselipkan hak-hak donatur.
"Jangan cuma masyarakat diminta menyumbang, tapi juga mengedukasi sebagai penyumbang, apa hak mereka.
"Salah-satunya kan mendapat laporan dana itu disalurkan sesuai dengan peruntukan awal," papar Sudaryatmo. (*)
Tags : Izin Pengumpulan Dana Publik Dicabut, Dugaan Penyelewengan di Lembaga Filantropi ACT, Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap,