INTERNASIONAL - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan akan menelusuri lebih jauh jaringan pelaku pemboman bunuh diri di Filipina selatan, di tengah langkah pemerintah setempat yang tengah menyelidiki apakah salah seorang pelakunya adalah perempuan Indonesia.
Kepala Staf Angkatan Darat Filipina, Jenderal Cirilito Sobejana menyebut dua pengebom bunuh diri pada hari Senin (24/08) adalah dua janda milisi kelompok Abu Sayyaf. Serangan bom bunuh diri ini menewaskan setidaknya 15 orang, 75 lainnya terluka. Sobejana menyebut nama dua janda itu sebagai Nanah dan Inda Nay.
Dalam pesan tertulis kepada wartawan, Sobejana mengatakan Nanah adalah istri Norman Lasuca, dan Inda Nay adalah istri Talha Jumsah, keduanya anggota kelompok Abu Sayyaf. Pemerintah setempat masih menyelidiki apakah Nanah adalah warga negara Indonesia.
Kerja sama intelijen enam negara ASEAN
Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, mengatakan belum dapat memperkirakan jumlah warga Indonesia yang terlibat dalam kelompok radikal, Abu Sayyaf di Filipina. Namun ia menekankan kerja sama intelijen enam negara ASEAN di bidang intelijen dengan Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Singapura masih berjalan.
Kerja sama bidang intelejen intelijen untuk melawan terorisme berbasis radikalisme-ekstremisme agama di kawasan ASEAN ini diteken pasca peningkatan aktivitas teroris 2018 di Marawi, Filipina, yang sempat dikuasai oleh kelompok militan. "Jadi saling sharing informasi berkaitan dengan jaringan teror, berbasis kekerasan, yang ada di wilayah masing-masing. Karena kita ingin memberikan semacam, mencari hubungan antara jaringan yang ada di negara kita, dengan mereka, di tetangga-tetangga kita, di kawasan ini, sehingga bisa sama-sama memiliki pemahaman yang baik tentang perkembangan jaringan teror ini," kata Boy Rafli dirilis BBC News Indonesia, Rabu (26/08).
Terkait peristiwa bom bunuh diri hari Senin, Boy Rafli mengatakan, "Kita juga menunggu keterangan resmi dari pemerintah setempat, Filipina tentang peristiwa itu," katanya.
Sebelumnya seperti dikutip kanal berita di Filipina, ABS-CBN, Letnan Jenderal Cirilito Sobejana menduga pelaku bom bunuh diri adalah warga Indonesia. "Salah satu pelakunya kemungkinan adalah istri dari pengebom bunuh diri pertama Filipina, yang meledakkan diri di luar kam militer di kota Indanan, Sulu, pada 2019," kata Sobejana.
Belakangan kepolisian Filipina mengatakan masih menunggu tes DNA dua pelaku peledakan bom bunuh diri ini sebelum menyimpulkan identitasnya. Kepala Kepolisian Bangsamoro Brigjen Manuel Abu mengatakan, kepolisian ingin "memastikan" sebelum membuat kesimpulan. "Apa yang mereka katakan (militer) berdasarkan informasi intelejen. Sementara penyelidikan kami, kami ingin berdasarkan bukti, karena kami harus memberkas kasusnya," kata Abu seperti dikutip ABS-CBN, Rabu (26/08).
Otoritas Filipina meyakini Kelompok Abu Sayyaf yang pimpinannya ditangkap pekan lalu, Anduljihad "Idang" Susukan, bertanggung jawab atas ledakan ini. BNPT sejauh ini belum bisa menaksir jumlah warga Indonesia yang terlibat dalam kelompok Abu Sayyaf. "Mereka secara pasti angkanya tidak mudah dideteksi, tetapi, di antara mereka ini, memang ada komunikasi dan bahkan ada semacam hubungan dalam hal berkeluarga," kata Boy Rafli.
"Adanya tali perkawinan di beberapa warga negara kita dengan yang ada di Filipina Selatan, terutama mereka yang terdeteksi di sana itu, masuk dalam jaringan teror yang selama ini dimonitor oleh otoritas setempat," katanya.
Suami-istri, Ruille dan Ulfa dari Indonesia. meledakan diri di sebuah gereja di Jolo pada 27 Januari 2019, menyebabkan 22 orang meninggal dan 100 lainnya luka. Sebelum peristiwa ini, keduanya sempat menjalani program deradikalisasi di Indonesia setelah dideportasi dari Istanbul, Turki, karena terlibat dengan kelompok ISIS. Perkawinan militan antara negara juga terkuak pada pemimpin Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon, warga Filipina yang menikah dengan orang Bekasi, Jawa Barat.
Boy Rafli mengatakan pihaknya siap membantu dalam hal informasi dan data jika ada dugaan keterlibatan warga Indonesia dalam aksi terorisme di Filipina. "Jadi tentunya kita, dalam hal memberikan bantuan itu, termasuk nanti, melakukan penelusuran, atau katakanlah, investigasi informasi yang disampaikan otoritas Filipina," katanya.
Sementara itu, Konsul Jenderal RI di Kota Davao, Filipina, Dicky Fabrian mengatakan tak ada WNI yang tercatat resmi tinggal di kota Jolo, Provinsi Sulu, Filipina. "Secara resmi, berdasarkan data yang kita miliki, itu tidak ada WNI yang berdomisili di daerah tersebut, di Jolo," katanya, Rabu (26/08).
Dicky juga mengatakan sampai saat ini belum ada informasi resmi yang ia terima terkait dengan pelaku bom bunuh diri yang terjadi Senin kemarin. KBRI di Filipina mencatat warga Indonesia yang tinggal di negeri jiran ini kurang lebih 10.000 jiwa. Kebanyakan tinggal di Mindanao.
Jalur terbuka menuju 'negeri koboi'
Menurut mantan kombatan, Ali Fauzi, pembuat bom dalam kelompok Jemaah Islamiyah, yang menjalani pelatihan militer di Filipina Selatan pada 1990-an, kemudahan akses menuju negeri jiran itu tak sulit. "Bisa langsung dari Nunukan, dari Sebatik, yang sekarang masih wilayah Kalimantan Utara, direct itu nggak sampai satu malam sudah, pakai motor cepat malah beberapa jam sudah sampai. Apalagi kalau kemudian lewat Malaysia, jauh lebih cepat lagi," kata mantan kombatan Jemaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam kam pelatihan teroris di Filipina.
Perkembangan teknologi dan informasi saat ini juga mendorong kemudahan warga Indonesia yang ingin bergabung dengan kelompok teroris di Filipina, menurut Ali Fauzi. "Karena radikalisasi sekarang ini lebih mudah bisa pakai media sosial. WhatsApp, Facebook dan lain-lain. Saya pikir yang merespon bisa masuk ke sana juga banyak," katanya.
Adik trio pengebom Bali 2002 ini juga menyebut Filipina sebagai "negara kob0i". Sebab, akses untuk mendapatkan senjata api ilegal sangat mudah. "Itu hampir di antara warga kampung, warga desa di sana, pada memiliki. Maka saya bilang, Filipina itu negara koboi," katanya.
Ali Fauzi mengakui dulunya gerbong Jemaah Islamiyah (JI) bersama Abdul Matin dan Umar Patek sangat berpengaruh di Filipina. Namun, saat ini, kata Ali, warga Indonesia yang bergabung dengan kelompok teroris Abu Sayyaf berpencar pasca wilayah Marawi diduduki pasukan Filipina. "Mereka mundur, reposisi ulang. Gerilya dari hutan ke hutan, dari pulau ke pulau," kata Ali, Selasa (26/08).
Sampai saat ini belum diketahui pasti jumlah warga Indonesia yang bergabung dengan kelompok teroris di Filipina. Namun, pada 2017 lalu, kepolisian Indonesia mencatat sedikitnya 38 warga Indonesia bergabung dengan kelompok Maute yang berafiliasi dengan ISIS di Marawi. Mereka diduga ikut petempuran melawan pasukan Filipina. Namun, Ali Fauzi memperkirakan jumlahnya lebih banyak dari itu. Kelompok teroris di Filipina tidak ditentukan kepemimpinan. "Isnilon Hapilon yang jadi leader di wilayah Zamboanga, sudah meninggal, tapi masih ada lagi leader baru di sekitar Tawi-tawi. Namun kita tahu, sesungguhnya grup ini tidak ditentukan oleh pemimpin mereka," katanya.
"Dan kalau kita bicara tentang jumlah kekuatan itu dari senjata. Karena senjata di Filipina itu mudah sekali didapat, bisa dibilang, beli senjata M-16 atau AK-47 di sana sama dengan mudahnya di Indonesia dengan beli arit."
Ali Fauzi menambahkan, Filipina akan selalu menjadi daya tarik sendiri bagi teroris di Asia karena doktrin yang dipelihara. Bahwa Negara Islam pernah berjaya di Filipina. "Maka paham keagamaan mereka itu, yang tidak ke sana (Filipina) itu dosa," katanya. (*)
Tags : Bom Bunuh Diri, Filipina, Jaringan Pelaku Bom,