"Jejak kuliner Indonesia dengan berbagai jenis makanan di mancanegara dipertonotnkan dan dipajang hingga diburu Raja Belgia"
ulisan itu tercetak di salah satu bagian buku bertajuk 20 Tahun Indonesia Merdeka yang diterbitkan pada 1965. Hampir enam dekade berselang, masalah serupa masih terus menggentayangi Indonesia.
“Indonesia jang kaja raja dengan berbagai djenis makanan/hidangan serta beraneka warna matjam buah-buahan, sesungguhnja dapat merupakan daja tarik jang kuat bagi selera wisatawan-wisatawan International. Tetapi kenyataan menundjukkan bahwa wisatawan-wisatawan dari luar negeri ini belum begitu mengenal sejara bersungguh–sungguh berbagai macam hidangan makanan Indonesia dan buah-buahan hasil negeri ini, karena mereka tidak banyak mengenal dan tidak membiasakannya"
Sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, menganggap Indonesia masih belum dapat lepas dari belenggu minderwaardigheid complex, perasaan rendah diri satu bangsa bekas jajahan yang selalu berpikiran makanan mereka tak menggugah selera orang asing.
Indonesia seakan tak percaya diri dengan kekayaan kuliner sendiri yang ternyata sudah digaungkan, bahkan diagungkan pada masa penjajahan Belanda, sebagaimana dijabarkan dalam buku karya Fadly, Rasa Tanah Air.
Jejak kuliner Indonesia di luar negeri terus berlanjut dalam beberapa babak, mulai dari menjadi tontonan, menguasai negara penjajah, hingga akhirnya terjerembap dalam perangkap makanan instan.
Berikut jejak babak kemasyhuran kuliner Indonesia di mancanegara yang dirilis BBC News Indonesia.
Babak 1: Jadi tontonan warga Paris
Berdasarkan buku bertajuk Rasa Tanah Air karya Fadly, jejak kuliner Indonesia di mancanegara dapat terlihat sejak medio akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1889.
Kala itu, negara-negara kolonial ingin mempertontonkan serba-serbi kebudayaan tanah jajahannya.
Tujuannya tentu fulus. Para negara penjajah itu ingin menggenjot sektor-sektor industri di negeri jajahan, yang pada akhirnya dapat mengalirkan duit ke pundi-pundi mereka.
Mereka kemudian menggelar pameran bertajuk Expositions Universelle Coloniale di Paris, Prancis, pada 6 Mei-31 Oktober 1889.
Indonesia, yang kala itu masih disebut sebagai Hindia Belanda, turut diundang. Pemerintah Belanda langsung membentuk panitia Pameran Paris.
Ditunjuklah Cores de Vries sebagai anggota komisi pameran yang mengemban tugas membangun sebuah desa atau kampung Jawa di Paris dengan memboyong orang-orang Jawa ke sana dengan satu tujuan: dipamerkan.
Sebanyak 40 pria dan 20 perempuan dari kampung Jawa lantas berlayar bersama perkakas rumah tangga dan bumbu-bumbu masak guna membangun kehidupan selayaknya di kampung halaman mereka.
Setibanya di Paris, mereka langsung sibuk membangun kampung, lengkap dengan warung, lumbung padi, hingga gedung teater.
Dengan membeli tiket seharga 0,50 franc, pengunjung dapat melihat dan mengamati kehidupan di Jawa yang otentik, mulai dari kebiasaan masak, makan, hingga mencuci pakaian.
Dari keseharian itu, kebiasaan memasak dan makan orang Hindia Belanda sangat menarik perhatian pengunjung.
"Untuk mencerminkan perbedaan antara selera adiluhung Eropa dengan selera rendah masyarakat Pribumi yang ada di negeri jajahan, layaknya sebuah tontonan, maka orang pribumi sengaja dibiarkan nyaman dengan kebiasaan makannya yang tanpa direpotkan dengan berbagai aturan tata hidang dan juga aneka peranti makan," tulis Fadly di bukunya.
Namun, Fadly menyoroti dampak positif dari pameran ini, yaitu kuliner Indonesia setidaknya terdengar di kuping masyarakat Eropa.
Selain itu, orang-orang Indonesia juga dapat mempelajari cara mempromosikan makanan mereka ke pasar Eropa.
Apa kata Fadly?
Di situ ada semacam mutualisme antara chef dengan orang-orang Jawa. Orang Jawa belajar dari para chef bagaimana cara menyajikan dan cara mengolah.
Sebaliknya, orang Eropa itu juga mengamati dan belajar dari orang-orang Jawa yang dibawa ke Prancis, supaya mereka mengerti bagaimana orang Jawa mengolah dan menyajikan makanan supaya jangan sama seperti orang pribumi.
Cara memasaknya disesuaikan dengan standar Eropa, bumbunya takarannya harus disesuaikan dengan selera Eropa. Karena komentar orang Eropa ketika memakan makanan Jawa, beberapa di antaranya negatif.
[Makanan Indonesia di Eropa saat itu] tidak bisa dikatakan otentik karena ada penyesuaian. Misalnya, sayur yang ada di negeri tropis, di sana nggak ada. Sehingga digunakanlah, misalnya asparagus, untuk penggantinya.
Jenis buah tropis, seperti nanas dan mangga, di sana diganti menjadi buah-buah yang tersedia, seperti apel dan anggur. Ada penyesuaian.
Daging juga demikian. Kualitas daging dari ternak yang dibudidayakan di sana dan di sini berbeda. Namun, ketika mereka bikin satai, ya namanya satai.
Minuman, mayoritas Muslim tidak ada wine. Ketika di Eropa, supaya bisa berselera, mereka hanya bisa pakai wine. Ini ada kombinasi antara Barat dan Timur. Ini jadi ciri perkembangan kuliner Indonesia di Eropa.
Babak 2: Dari makanan pelepas rindu menjadi bisnis restoran di Belanda
Pada era yang sama dengan digelarnya pameran negeri jajahan, gelombang orang Hindia ke Belanda kian deras. Arus itu terdiri dari tokoh eksil politik, pelajar, hingga babu yang dibawa majikan mereka dari Hindia ke Belanda.
Makanan menjadi salah satu pelepas rindu mereka terhadap Hindia. Pada tiap-tiap pertemuan dengan sesama orang Hindia, selalu terhidang makanan-makanan khas kampung halaman mereka.
Karena gelombang orang Hindia ke Negeri Kincir Angin kian deras, seorang istri perwira KNIL yang pernah tinggal di negeri jajahan itu, Geertruida van Zuylen-Tromp, memprakarsai pendirian organisasi De Koninklijke Vereeniging Oost en West.
Organisasi itu pada intinya membantu orang-orang dari Hindia yang ingin bekerja atau tinggal di Belanda, dan sebaliknya. Program Oost en West pun tak lepas dari menjalin ikatan dengan para babu.
Mereka kerap bertemu di pusat pertemuan di Den Haag, di restoran bernama Soedikampir pada 1899. Para pengunjung sangat menyukai masakan khas Hindia yang dijual dengan harga murah di restoran itu.
Tak heran, restoran itu mempekerjakan juru masak fenomenal, seorang perempuan asal Salatiga bernama Roosminah, yang kemudian digantikan oleh Moenah.
Pada 1904, Oost en West kembali membentuk komite untuk mempromosikan industri dan kerajinan dari Hindia di satu toko bernama Boeatan. Pengunjung juga dapat menikmati sajian khas Hindia di restoran yang dibangun di toko itu, yaitu Garoeda.
Kelezatan makanan khas Hindia pun kian masyhur. Pada 1911, berdiri pula restoran Hindia dengan nama Waroong Djawa. Begitu populer, Waroong Djawa sampai-sampai membuka cabang di Lange Houtstraat dan Scheveningen, di Gevers Deynootplein.
Pada awal abad ke-20, kian banyak babu yang menjadi juru masak di restoran-restoran di Belanda, termasuk Tampat Senang milik Adrianus Egbert Willem de Jong.
Cita rasa makanan di Tampat Senang tak hanya diakui orang Belanda, tapi juga warga asing yang datang ke Negeri Kincir Angin itu, salah satunya musafir Arab bernama Said Edroes bin Mohamad bin Ali Aldjoefrie.
Satu dekade berselang, tepatnya 16 Agustus 1922, akhirnya berdiri sebuah restoran bernama Soeka Manah. Berbeda dengan restoran-restoran sebelumnya di Belanda, Soeka Manah didirikan langsung oleh seorang asli Hindia bernama N. Oesin.
Latar belakang Oesin menarik perhatian sejumlah media karena sebelum membuka restoran, ia kerap menjajakan sayuran menggunakan gerobak di jalanan Belanda.
Oesin bukan satu-satunya orang Hindia yang berhasil mengubah nasib dari babu menjadi pebisnis. Ada pula Saiman dan Soedjirah, sejoli yang awalnya menjadi jongos, tapi kemudian mendirikan restoran Hindia bernama Seneng Ati pada 1922.
Apa kata Fadly?
Ketika orang-orang Belanda pulang ke Belanda, atau ketika mereka membawa orang-orang negeri jajahan yang bekerja sebagai babu atau asisten rumah tangga mereka ke Belanda, khalayak Belanda ini sudah memiliki kebiasaan-kebiasaan menyantap makanan yang dikonsumsi orang-orang pribumi, seperti nasi goreng, satai, soto, kari, tempe, dan lain-lain.
Ketika orang-orang Belanda membawa para pembantunya ini ke Belanda, yang mereka inginkan adalah menghidupkan selera mereka terhadap makanan-makanan yang dulu mereka nikmati di daerah jajahan mereka.
Yang bisa menghidupkan ini hanya pribumi, yaitu para pembantu, supaya otentik. Walaupun ketika sampai Belanda, ada penyesuaian bahan yang dari segi rasa tidak seotentik yang ada di Indonesia.
Makanan-makanannya itu secara wujud, secara cita rasa, berusaha dibuat semirip mungkin dengan apa yang ada di negara jajahan. Itulah mengapa ketika ini dihidupkan di Belanda, malah menjadi lebih mashyur, modern.
Dikemas secara modern dengan konsep restoran, penyajian ala Barat. Ini yang membuat ada perbedaan antara yang dikonsumsi oleh pribumi dengan makanan pribumi yang dikonsumsi di Eropa.
Tidak bisa disamakan ya. Kalau di Hindia (Indonesia), itu makan dengan lesehan, tapi di sana tidak ada seperti itu. Jadi ada perubahan, dalam hal ini Westernisasi, terhadap penyajian, cara menikmati, serta cara mengolahnya dengan konsep dapur ala Eropa.
Yang membuat orang-orang Belanda yang di sana, juga orang-orang Indonesia, tidak bisa lepas dari selera terhadap makanan-makanan Hindia karena cita rasa yang tidak mereka dapatkan di kuliner Belanda.
Kalau di kuliner Belanda, orang Belanda sendiri mengatakan pada saat itu, ada biduanita yang menyanyikan lagu betapa miskinnya kuliner Belanda, betapa miskinnya makanan di Den Haag.
Karena makanan di Belanda itu berbeda dengan kita yang memang memiliki kekayaan bumbu sehingga menciptakan cita rasa yang lebih beragam, bahan makanan melimpah.
Sentuhan Belanda membuat makanan yang ada di negeri jajahan menjadi lebih elegan, eksotik, apalagi ketika disajikan dengan konsep table manner dan buffet.
Babak 3: Diburu raja dan ratu Belgia
Tahun demi tahun, pamor restoran Hindia kian melesat. Hingga akhirnya pada 1931, Waroong Djawa menjadi bagian dari pameran Exposition Coloniale Internationale di Paris.
Selepas pameran itu, nama restoran Hindia di Belanda kian nyaring terdengar, bahkan sampai ke kuping Raja Leopold dan Ratu Astrid dari Belgia.
Seperti diberitakan surat kabar De Grondwet pada 1935, Leopold dan Astrid sengaja bertandang ke Belanda tanpa pengawalan ketat hanya demi leluasa menikmati santapan Hindia di Waroong Djawa.
Sebagai pasangan yang pernah tinggal di Hindia, Leopold dan Astrid sangat bahagia dapat menyantap hidangan di Waroong Djawa, apalagi diselingi dengan interaksi bersama para pelayan dari Jawa dan tamu lainnya.
Kala itu, Astrid dan para tamu lainnya beradu tantangan yang paling banyak makan sambal. Sang ratu akhirnya menang, sementara tamu lainnya menerima kekalahan dengan mulut setengah terbakar.
Antusiasme raja dan ratu dari Belgia itu menjadi cerminan bahwa restoran yang menyajikan makanan Hindia menjadi salah satu destinasi wisata kuliner di Belanda. Kian lama, restoran Hindia di Belanda semakin menjalar, dari Den Haag ke Rotterdam dan kota-kota lainnya di Negeri Kincir Angin.
Apa kata Fadly?
Yang kurang dari Indonesia itu adalah amnesia terhadap sejarah, termasuk juga terhadap sejarah kuliner. Dari yang saya dalami dari penelitian kuliner Indonesia di Indonesia, atau kuliner Indonesia di mancanegara, ada semacam rangkaian yang menunjukkan bahwa apa yang kita makan itu adalah pertautan dari apa yang sudah ada di masa lalu. Dan kita lupa itu.
Dalam konteks kuliner, kenapa kita amnesia terhadap sejarah? Yang memang menunjukkan bahwa ternyata kuliner Indonesia pada masa lalu itu patut dibanggakan dan memang persebarannya sampai ke mancanegara.
Orang-orang yang saya sebut di dalam buku, sosok yang memperkenalkan tempe dan membuka restoran di Suriname, nama-nama yang memperkenalkan makanan Indonesia di Belanda, seperti Oesin, Saiman, dan Soedjirah.
Itu kan orang-orang yang dalam sejarah besar bukan siapa-siapa, tapi mereka itu memiliki arti penting kalau kita lihat dari konteks sejarah. Dalam sumber-sumber kolonial di Belanda, mereka menyebut nama seperti Oesin, Seodjirah, sebagai orang-orang yang spesial.
Kenapa kita nggak mengingat mereka? Mereka bukan chef besar, tapi kenapa mereka bisa menjadi inisiator yang memulai membuka restoran pertama di Belanda?
Dengan begini, kita jadi ingat: kenapa kita sekarang merasa inferior? Karena kita memang amnesia terhadap sejarah. Menjadi penting bagi kita mengingatnya sekarang, dalam konteks pemerintah yang ingin memajukan kuliner Indonesia melalui gastrodiplomacy.
Babak 4: Mundur dan minder
Setelah berjaya di era 1930-an, popularitas restoran Hindia berangsur turun di medio 1940-an, salah satunya karena perang berakhir. Banyak babu asal Hindia kembali ke kampung halaman mereka.
Sebagian lainnya memilih melanjutkan kehidupan di Belanda karena merasa peluang menjalankan bisnis lebih terbuka, mengingat makanan Hindia sangat spesial di negeri penjajah itu.
Namun, sangat jarang orang yang meneruskan semangat perjuangan merintis bisnis restoran dari nol seperti Oesin dan Soedjirah.
Kejayaan restoran Hindia di Belanda kian terkikis usai Saiman, Soedjirah, dan Oesin meninggal dunia. Tak ada penerus yang dapat melanjutkan tongkat estafet bisnis restoran Hindia di Belanda, sebagian karena tak percaya diri.
Apa kata Fadly?
Ini menjadi catatan dalam konteks kuliner Indonesia. Pada akhir masa kolonial, para juru masak yang ada di Belanda nggak mau pulang ke Indonesia untuk membuka restoran yang menyajikan hidangan Hindia karena alasannya simpel.
"Buat apa kami pulang ke sana? Makanannya kan sama dengan yang dimakan oleh kebanyakan. Nggak ada yang unik kalau menyajikan lodeh, sayur asam. Bagaimana kami bisa dihargai?" Sehingga mereka berpikir, “Di sini kami lebih dihargai ketimbang di negeri asalnya.”
Ini bukan inferioritas. Ini adalah anggapan orang Timur yang menganggap bahwa ketika di Barat, mereka lebih dihargai dibandingkan kembali ke negeri asalnya.
Jadi di satu sisi ironi. Karena dalam konteks kuliner, Timur lebih dihargai di Barat ketimbang harus kembali lagi ke kampung halaman.
Ini kan kita juga harusnya jadi bisa berkaca ketika merasa inferior. Misalnya, ketika dihadapkan pada kuliner Korea atau kuliner asing lainnya yang jaringannya banyak, kita jadi nggak percaya diri. Seolah-olah ketika sudah dihadapkan pada kuliner Prancis, Tionghoa, Italia, Korea, Vietnam, Thailand, kuliner Indonesia di bawah mereka.
Ini yang saya sebut sebagai minderwaardigheid complex. Semacam mental minder dari negara jajahan. Sekarang juga kita bisa melihat itu. Ketika kita sudah merasa menjadi Barat, kita menginferiorkan bangsa sendiri.
Sebagai seorang Timur, ketika dihadapkan kepada Barat, kita menjadi rendah diri. Hal itu merupakan salah satu bentuk konstruksi kolonialisme yang menciptakan sifat minder itu.
Dalam konteks kuliner, sikap minder itu juga ada. Bagaimana kita mendekonstruksi mental minder itu, termasuk kaitannya terhadap bagaimana memajukan kuliner Indonesia? Korea bisa, kenapa kita nggak bisa? Thailand bisa, kenapa kita nggak bisa?
Babak 5: Ketagihan makanan instan
Setelah era kemerdekaan, semerbak kuliner Indonesia tak begitu sampai lagi ke mancanegara, kalah dari China, Korea Selatan, Jepang, bahkan Thailand dan Vietnam. Fadly juga menyoroti problematika ini dalam kata pengantarnya di buku Rasa Tanah Air.
“Setelah menilik tren globalisasi kuliner Asia, hal yang pasti memicu pertanyaan di kalangan pembaca Indonesia adalah: di mana posisi kuliner Indonesia? Mengapa kuliner Indonesia tidak diperhitungkan sebagai world haute cuisine?” tulis Fadly.
Dari segi kekayaan kuliner, Indonesia tak mungkin kalah saing dengan negara-negara lainnya, mengingat berbagai budaya dan produk makanannya dari Sabang sampai Merauke.
“Namun masalahnya bukan dari soal berapa banyak jumlah produk kuliner yang dimiliki. Hal terpenting adalah bagaimana kemampuan elemen bangsa (mulai dari pemerintah, para chef, pelaku usaha kuliner, hingga khalayak masyarakat) baik di dalam maupun luar negeri mampu mengekspresikan kecintaan terhadap Tanah Air-nya melalui khasanah kulinernya?” kata Fadly.
“Apa yang dikandung dalam khasanah itu mencakup sejarah, tradisi, lingkungan alam, serta ekosistem biodiversitas pangan yang dijaga dan dirawat untuk menguatkan sendi-sendi kuliner sebagai identitas bangsa?”
Apa kata Fadly?
Ini kan persoalan mental. Ini juga sangat dipengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang membiarkan makanan cepat saji masuk begitu saja.
Ini sebenarnya konsekuensi dari sebuah bangsa yang dalam sejarahnya mengalami pertemuan banyak budaya. Tidak ada kuliner yang boleh dikatakan murni Indonesia, tapi justru itu menjadi suatu modal buat kita itu citranya hybrid.
Itu konsekuensi dari bangsa yang sangat open-minded, toleran terhadap berbagai budaya. Sehingga ketika ada pengaruh-pengaruh budaya luar yang masuk, seperti makanan fast-food masuk ke Indonesia, orang kita awal melihatnya gaya banget, tapi tidak sadar itu bisa menjadi ancaman di masa yang akan datang, terutama sekarang.
Preferensi selera makanan orang Indonesia itu kebanyakan yang instan, kemudian kita lupa bahwa dulu kita punya kuliner hybrid yang memang tidak bisa dikelola menjadi sebuah industri restoran. Kita tidak bisa bangga dengan makanan kita yang hybrid itu.
Vietnam itu sangat keras dalam melakukan embargo terhadap budaya Barat, jadi makanan-makanan yang fast-food enggak bisa bebas. Jadi, orang Vietnam lebih bangga dengan pho-nya dibandingkan dengan fast-food yang dibawa oleh orang Amerika.
Soft diplomacy [dalam konteks kuliner] itu juga memang penting, seperti yang dilakukan Korea. Dalam dua dekade saja, dia bisa melampaui Jepang dalam soft diplomacy sebagai kekuatan mereka. Indonesia ingin mencoba dan meniru itu.
Apa yang dilakukan dengan membuat acara-acara itu kan ingin membuat Indonesia bangga dulu terhadap kebudayaannya. Kemudian, merancang suatu proyek yang memang memperlihatkan budaya-budaya ini bisa kok kalau kita visualisasikan dalam komik, film, drama. Tinggal bagaimana creative person-nya.
Sinerginya juga belum tercipta. Yang perlu dilakukan adalah membangun sinerginya, sama seperti yang ada di Korea. Kuliner, sinema, juga arkeolog yang membuat penelitian bahwa kuliner Korea sudah ada sejak abad berapa. Itu kan sebuah sinergi yang solid untuk menciptakan citra kuliner sebuah bangsa. (*)
Sumber: Buku berjudul Rasa Tanah Air karya Fadly Rahman diterbitkan pada Oktober 2023.
Tags : Jejak Kuliner Indonesia dengan Berbagai Jenis Makanan di Mancanegara, 'yang Dipajang Hingga Diburu Raja Belgia'Pangan, Prancis, Belanda, Buku, Gaya hidup, Sejarah, Indonesia, Eropa,