HARI ARAK di Bali diperingati dan mengajak setiap warganya untuk meminum satu seloki per hari. Gubernur Provinsi Bali, I Wayan Koster, menetapkan tanggal 29 Januari sebagai hari arak ini.
Di balik keputusan tersebut, disebut tersimpan perlindungan terhadap nilai budaya, sosial, hingga peningkatan ekonomi masyarakat Bali, kata peneliti arak Bali dan juga akademisi toksikologi forensik dari Universitas Udayana, I Made Agus Gelgel Wirasuta.
Selain arak Bali, hampir seluruh wilayah di Indonesia memiliki budaya hingga tradisi yang melibatkan minuman tradisional beralkhol (minol), menurut antropolog dari Universitas Indonesia Raymond Michael Menot.
Masyarakat Nusa Tenggara Timur mengenal minol tradisional yang menyatu dalam adat budaya bernama Moke. Di Maluku dan wilayah timur lain disebut Sopi.
Di Manado, Sulawesi Utara, minol tradisional disebut Cap Tikus. Kemudian di Sumatra dan Kalimantan bernama tuak. Di Jawa Tengah, ada Ciu.
Penulis buku berjudul Budaya Minum di Indonesia itu menyebut, minol tradisional memiliki tiga fungsi dari sisi ritual, adaptasi dengan lingkungan, dan sosialisasi di masyarakat.
Walau demikian, perlindungan terhadap minol tradisional di Indonesia masih sangat rendah, tambah Raymond.
Gubernur Bali I Wayan Koster telah menetapkan tanggal 29 Januari sebagai peringatan Hari Arak Bali, merujuk Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 929/03-I/HK/2022.
Surat keputusan itu memperkuat Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
“Dalam upaya dan strategi memperkokoh perlindungan dan pemberdayaan arak Bali, ditetapkan Hari Arak Bali… sebagai tonggak perubahan status yang mengangkat keberadaan, nilai, dan harkat arak Bali,” kata Koster, mengutip dari kantor berita Antara.
Tujuan lain, tambah Koster, adalah untuk ekonomi rakyat yang berkelanjutan dan juga perlindungan bagi pelaku usaha arak Bali, seperti UMKM maupun koperasi.
Koster juga mengajak warga Bali untuk meminum satu seloki arak setiap pagi dan malam untuk kesehatan.
Hingga kini, setidaknya terdapat 32 merek minol tradisional berbasis arak terdaftar di Bali.
Yuiot selaku Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi (BKPM), mengatakan ketentuan investasi terkait dengan minuman beralkohol baik usaha besar, menengah, kecil tergolong bidang usaha yang tertutup untuk usaha baru diatur dalam Perpres 49/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
“Sementara pelaku usaha yang sudah mendapatkan perizinan berusaha tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya. Untuk beberapa daerah kegiatan usaha industri minol tradisional dan bagian dari budaya tetap mendapatkan pembinaan dari pemerintah daerah,” kata Yuliot seperti dirilis BBC News Indonesia.
Untuk produksi minol tradisional tanpa izin, Yuliot mengatakan usaha tersebut "berarti ilegal".
Dalam beberapa pemberitaan, penegak hukum melakukan penggerebekan hingga penangkapan kepada pihak yang membuat minol tradisional tanpa izin.
Presiden Joko Widodo juga telah memutuskan mencabut lampiran Peraturan Presiden mengenai pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras berbahan alkohol, yang telah mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat.
Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membahas Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol yang kembali menimbulkan perdebatan di masyarakat.
Di balik itu, apa peran minol dalam peradaban Nusantara hingga kini disebut Indonesia?
Arak Bali merupakan kearifan lokal warisan leluhur yang memiliki posisi penting bagi masyarakat Bali, kata I Made Agus Gelgel Wirasuta, akademisi toksikologi forensik dari Universitas Udayana.
Dalam upacara keagamaan, arak digunakan dalam ritual, bernama Bhuta Yadnya sebagai persembahan kepada Tuhan.
“Arak brem itu dipakai dalam tetabuhan ritual dan mempersembahkan kepada Bhuta,” kata Gelgel yang juga masuk dalam Kelompok Ahli Pembangunan Pemprov Bali.
Guru besar bidang ilmu kimia farmasi yang dipanggil “profesor arak” itu menambahkan, arak Bali dapat menjadi “Dewa Ye, Bhuta Ye”, yaitu memiliki sifat positif dan juga negatif jika dikonsumsi dalam dosis yang tepat atau berlebih.
“Satu seloki yang direndam ramuan itu bermanfaat. Jika kebanyakan tidak bagus juga,” ujar Gelgel yang mengaku menjadi salah satu pihak yang aktif meningkatkan derajat arak Bali, mulai dari penyusunan Pergub Bali No 1 Tahun 2020 hingga sosialisasi dan pemberdayaan pembuatan arak di masyarakat.
Kemudian, Gelgel menambahkan, arak Bali yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, juga memiliki potensi ekonomi hingga triliunan rupiah.
Menurutnya, setiap tahun setidaknya terdapat 15 juta wisawatan internasional yang datang ke Bali, dan mayoritas dari mereka mengkonsumsi alkohol.
Mengutip laporan dari Kementerian Keuangan, dan BPOM, kata Gelgel, sekitar 80% peredaran minol Indonesia berada di Bali dengan total pajak yang dibayarkan mencapai Rp15 triliun per tahun.
“Namun, dari 80% itu, hanya 0,9% merupakan produk lokal Bali, sisanya impor semua. Ini peluang ekonomi besar, kenapa minol tradisional tidak dilegalkan dengan proses dan pengedaran yang terstandarisasi,” katanya.
“Bayangkan jika 30% itu berasal dari produk lokal. Keuntungannya tidak akan lari ke luar. Dan kami berikan juga history di balik itu, mereka para turis akan sangat antusias,” ujarnya.
Melihat peluang besar itu, Gelgel menambahkan, dia dan rekan-rekan perkumpulan Tresnaning Arak Berem Bali (dari pemerhati, pengerajin, pelaku industri, bartender, dan distributor minuman fermentasi dan destilasi khas Bali) bekerja sama dengan Pemprov Bali mengembangkan arak Bali, mulai dari sosialisasi dan pelatihan proses pembuatan arak Bali, dan regulasi dari petani hingga pengedaran yang diberi label Balinese Arak.
“Minuman alkohol di Indonesia setua dengan peradaban yang ada di Nusantara,” kata Raymond Michael Menot.
Raymond adalah antropolog dari Universitas Indonesia yang mengupas minuman alkohol dari sisi budaya dalam bukunya berjudul “Budaya Minum di Indonesia”.
Secara umum, Raymond menceritakan, budaya minum minol tersebar hampir di seluruh masyarakat Nusantara, mulai dari Aceh hingga Papua.
Masuknya minol seperti arak dan teknologi distilasi atau penyulingan, berdasarkan risetnya, diprediksi dibawa oleh masyarakat India dari Sumatra lalu menyebar ke Pulau Jawa, Kalimantan dan wilayah timur Indonesia lainnya.
Raymond melihat arak merupakan serapan dari bahasa India yaitu “areca”, sebuah jenis pohon palem dari India.
Selain dari India, ada juga budaya minol Nusantara yang dibawa dari China, dapat dilihat dalam catatan pendeta Budha China Fa Hien pada abad ke-3.
“Dalam catatannya, salah satu ajaran Budha Tantrayana adalah budaya minum alkohol,” ujar Raymond.
Minuman alkohol yang teralkulutrasi dengan budaya China memiliki nama Ciu, dan tersebar di beberapa wilayah Jawa, khususnya Jawa Tengah, seperti Ciu Bekonang, Ciu dari Banyumas, dan wilayah lain.
Begitu juga Manado yang menurutnya, kemungkinan terpengaruh budaya China, yang dikenal dengan Cap Tikus.
Selain penyebaran, Raymond mengatakan, minol tradisional juga memiliki tiga fungsi di kehidupan masyarakat Indonesia.
Pertama adalah fungsi ritual. Beberapa masyarakat menggunakan minol tradisional sebagai bagian dari upacara ritual.
“Di Bali, NTT, Manado, Kalimantan, minol itu digunakan dalam ritual adat, yang memiliki makna penting di masing-masing budaya,” ujarnya.
Fungsi kedua adalah fungsi sosial di masyarakat. Raymond mencontohkan, budaya minum tuak sebagai bagian penting bagi suku Batak saat berkumpul, seperti di lapo - tempat makan Batak.
“Lalu di NTT, dan Dayak, mereka akan menyajikan minuman alkohol saat tamu datang sebagai bentuk penyambutan dan rasa kebahagiaan,” ujarnya.
Fungsi terakhir adalah adaptasi terhadap kondisi lingkungan di Indonesia, seperti wilayah pesisir dan pegunungan.
“Manusia akan menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui makanan, minuman, dan pakaian untuk bertahan hidup. Cuaca Indonesia mendorong konsumsi minol.
“Contoh, banyak masyarakat kita itu nelayan. Tidak mungkin akan ada jalur rempah, dan dapat bertahan di kapal dalam waktu lama, tanpa ada minuman alkohol guna bertahan dari badai dan angin laut. Tidak mungkin air putih karena ada bakteri,” ujarnya.
Selain itu, kata Raymond, dalam beberapa budaya tradisional Indonesia, minuman alkohol juga digunakan sebagai obat, seperti untuk menyembuhkan demam, meningkatkan nafsu makan, obat sakit gigi, hingga sakit kepala.
“Bahkan digunakan usai melahirkan untuk membersihkan rahim. Namun masyarakat mengenalnya dengan jamu, seperti di budaya Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan lainnya. Bahkan ada yang bilang untuk obat ginjal,” katanya.
Terkait upaya Bali mengangkat arak tradisional menjadi identitas daerah ke ajang nasional -mulai dari warisan budaya hingga peringatan hari arak, Reymond melihat sebagai hal yang perlu diapresiasi.
“Itu langkah yang bagus sekali, menunjukkan identitas dan tidak munafik bahwa di Indonesia punya minuman. Harapan saya nanti mulai muncul minuman beralkohol lain karena dari sisi ekonomi bisa membantu masyarakat,” ujarnya.
“Minuman tradisional beralkohol adalah kearifan budaya yang ditinggalkan nenek moyang yang membuat kita menjadi bangsa yang tangguh.”
Walau demikian, perlindungan dan pengakuan terhadap minol tradisional di Indonesia masih sangat rendah, tutupnya. (*)
Tags : peringatan hari arak, bali, minuman beralkohol, budaya tradisional minum arak, alkohol,