"Truk-truk bertonase berat hilir mudik keluar masuk [seperti gosokan setrika] terlihat di depan SPBU 13.287.616 Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Warga setempat menyebut tempat ini dengan Simpang Bangko. Ini pertigaan yang memisahkan dua rute menuju Kota Dumai."
ebelumnya, jejak truk pengangkut minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ini sempat tersamarkan di antara ratusan truk serupa yang lalu lalang di Kandis, 80 KM dari Simpang Bangko. Selama lebih dari empat jam, truk ini berjalan kurang dari 40 Km per jam.
Seakan tahu sedang dibuntuti, sopir truk lantas tancap gas dan memanfaatkan keriuhan kendaraan yang lalu lalang atau berhenti di jalan lintas timur Riau ini. Mencegat di Simpang Bangko, cara terbaik untuk memastikan tujuan truk ini ke arah Dumai.
Satu ciri paling mudah mengenali truk ini ada di kaca bagian depan. Sebuah stiker putih bertuliskan ‘Okem’. Cemong di wajahnya inilah yang membuat ia mudah terlihat dari jarak 50 meter sebelum berpapasan.
Sekitar 16 jam sebelum itu, ‘truk okem’ ini mengaspal dari Desa Siabu, Kampar. Truk terlihat keluar dari perempatan Desa Ridan Permai pukul 13:40 WIB membawa hasil perasan buah sawit dari pabrik sawit PT Ciliandra Perkasa (CLP).
Selaiknya ratusan truk dari PKS-PKS lain yang berserakan seantero Riau, ‘truk okem’ ini pun memiliki tujuan sama, melewati Kandis untuk mengantarkan CPO ke deretan kilang minyak sawit yang berbaris di Dumai, pesisir Timur Riau.
Dari sana, CPO akan mengalir ke pasar di dalam dan luar negeri.
Dari Simpang Bangko sampai tujuan terakhir ‘truk okem’, ke refinery PT Adhitya Serayakorita di Bangsal Aceh, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, perlu waktu empat jam. Tepat pukul 10.20 WIB pada 22 Agustus lalu, truk memasuki area parkir dan bergabung dengan belasan kawan yang sudah terlebih dahulu antre.
CLP maupun refinery Adhitya Serayakorita, merupakan anak perusahaan dari First Resources Limited, grup sawit yang bermarkas di Singapura. Lewat refinery ini, CPO lantas disebar ke berbagai pembeli.
Pasar sawit sangat besar. Di Indonesia, industri ini masif dan terus bertumbuh. Tahun lalu, di masa pandemi, produksi sawit mencapai 48.297.070 ton, volume tertinggi dalam lima tahun terakhir.
"Kasus penampungan minyak mentah kelapa sawit Crude Palm Oil [CPO] para mafia atau toke nya hingga kini tak terdeteksi, praktik ilegal ini diperkirakan sudah berlangsung lama."
Keberadaan mafia CPO berakhir meresahkan dan merugikan para investor, berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan aktivitas jual beli minyak CPO ilegal ini, tetapi selalu saja hilang sekejab lalu timbul kembali.
Hingga kini para penampung CPO curian bukannya tutup, malah makin marak dan tumbuh subur.
Beberapa narasumber mengaku, praktik kencing CPO sangat merugikan negara. Karena sindikat distributor CPO ilegal tidak membayar pajak dan biaya retribusi lainnya.
Adapun modus operandi untuk meluluskan praktik ilegal tersebut, yakni menggunakan Dokumen “mendompleng” kontrak MIKO (minyak kotor), padahal yang di kirim minyak berupa CPO bukan MIKO.
Beberapa aktivis juga menyoroti kalau minyak sawit mentah yang diperoleh dari cara ilegal itu diperkirakan tidak memenuhi standar sehingga dapat menurunkan kualitas CPO yang menyebabkan turunnya harga.
Padahal Indonesia sedang getol meningkatkan standar sistem pengelolaan minyak sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Modusnya, tersangka menjual CPO ke penadah. Seharusnya mereka mengantar CPO ke Pelabuhan yang sudah ditentukan, namun dijual ke penadah.
Modus lain, separuh dari mobil tanki dijual. Lalu, diganti dengan air.
Sebagai contoh yang terjadi kasus pencurian CPO kembali dijual kepasar gelap lama kelamaan merugikan investor di Riau. Namun pelakunya hingga saat ini tak terdeteksi.
Sistim pencurian CPO yang banyak 'ditongkrongi' para supir angkutan CPO dari Pabrik Kelapa Sawit [PKS] seharusnya dibongkar muat menuju pelabuhan milik PT Sumber Kencana Indragiri Hulu [SKI] di Bayas [Inhil].
"Sepanjang perjalanan dari PKS menuju pelabuhan bongkaran CPO tidak ditemukan kesusutan, kadar air pada CPO juga masih dalam ambang batas kenormalan. Namun yang terjadi setelah bongkar muat di pelabuhan semua jadi berubah," kata Amiruddin, Menejer PT Sumber Kencana Inhu (PT SKI) dikontak ponselnya, Sabtu (2/1) kemarin.
Menurutnya, jika ada kekurangan timbangan terhadap truck angkutan CPO, biasanya sopir dikenakan denda untuk menanggulangi kekurangan CPO yang diangkutnya.
Masuknya sejumlah truck tangki angkutan CPO dari PKS di Pelabuhan Bayas truck tangki angkutan CPO terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh Satpam, "pemeriksaan yang dilakukan baik kadar air dan tonase yang diangkut sebagaimana yang tertera pada surat jalan dari PKS," terangnya.
Menurutnya, semua truck tangki angkutan CPO dari PKS terlebih dahulu sudah diberikan kelebihan tonase (Basis) disesuaikan dengan jarak tempuh, jika sesampainya di bongkaran pelabuhan ternyata truck tangki itu jumlah kesusutannya melebihi basis yang sudah diberikan pihak PKS, maka pihak perusahaan memberikan finalty (denda) terhadap supir sesuai jumlah kesusutannya diluar basis.
Pihak pelabuhan bongkaran juga melakukan pengecekan terhadap timbangan di PKS, dimana truck tangki angkutan CPO mengangkut minyak sawit yang diperkirakan timbangan di PKS bisa saja terjadi pergeseran dari normalnya.
"Ini penyebabnya karena tingginya curah hujan, petir juga bisa mempengaruhi kenormalan timbangan," katanya.
Jika terjadi kelebihan kadar air dari kenormalannya, kata Amiruddin menceritakan, perlu diselidiki dari lokasi asal angkutan PKS yang dibawa supir pengangkut CPO.
Namun Amirudin mengaku tidak mengetahui adanya lokasi penampungan pembelian CPO di tengah perjalan dari PKS menuju pelabuhan bongkaran Bayas.
"Jika ada bukti terjadinya penjualan CPO [kencing] di tengah perjalan, pihak pelabuhan bongkaran dari [SKI] tetap melakukan tindakan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," sebutnya.
Pantauan dilapangan lokasi bongkar muat CPO di pelabuhan Bayas awalnya dikelola oleh PT Sumber Kencana (SK) milik Johor warga Rengat, namun beberapa tahun kemudian terjadi beralih tangan [dijual] ke perusahaan milik asing [Prancis] yang berkantor pusat di Jakarta dengan berganti nama menjadi PT Sumber Kencana Indragiri Hulu (SKI).
Investor keluhkan praktik ilegal CPO
Investor yang bernaung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Provinsi Riau juga mengeluhkan maraknya praktik ilegal penampungan minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO), yang kerap disebut "kencing CPO" di daerah sejak ditengah pandemi lalu.
Chief Executive Officer (CEO) PT Perkebunan Nusantara V Jatmiko K Santosa yang terpilih memimpin Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Riau periode 2021-2025 usai pelantikan Kamis 17 Desember 2020 kemarin menyebutkan memiliki sejumlah program kerja penting dalam memajukan Gapki serta memberikan kontribusi positif bagi seluruh stakeholders dan negara.
Dia menempatkan akselerasi program PSR dan peluang supply chain menjadi poin utama. Selain itu dirinya menanggapi maraknya kasus pencurian CPO di daerah-daerah mengaku risih atas adanya keberadaan penampung ilegal ini yang semakin jelas terlihat, "namun seperti tak terjamah oleh hukum," kata Jatmiko yang terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah Cabang GAPKI Riau ke VI diselenggarakan di Pekanbaru, Riau kemarin.
Maraknya pencurian CPO di daerah, namun praktik ini sudah lama berlangsung seperti pada jalan menuju Pelabuhan Dumai merupakan salah satu titik "menjamurnya" praktik pembajakan CPO.
Jatmiko mengaku, aktivitas "kencing CPO" ini sudah terjadi sejak lama dan sekarang makin marak walaupun di tengah pandemi lalu.
Ia mengatakan, selama ini Gapki sudah berupaya memerangi "kencing CPO" termasuk dengan melaporkannya ke Kepolisian Daerah Riau.
Namun, pelaku kejahatan tersebut tidak berhenti, bahkan diduga ada banyak pihak yang terlibat dalam bisnis pencurian ini, tak terkecuali oknum supir pabrik kelapa sawit (PKS) hingga oknum aparat.
"Istilahnya (ada) mafia atau toke CPO," katanya.
Pihak Gapki Riau sendiri dalam hal ini sudah mengetahui praktik pencurian CPO, modus kejahatan ini melibatkan "kaki-tangan" mafia CPO dengan oknum supir dan kernet mobil tangki CPO.
Seperti lokasi penampungan di Jalan Lintas Timur Sumatera misalnya praktiknya CPO disembunyikan dengan warung, namun di belakangnya terdapat tenda untuk menutupi kolam maupun drum untuk menampung CPO. Kapasitas kolam tampung biasanya berkisar 6-8 ton.
Mereka mengincar mobil tangki CPO penuh muatan dari pabrik kelapa sawit menuju Dumai, Medan, dan Belawan di Provinsi Sumatera Utara. Mereka beraksi pada pagi hari hingga pukul 11.00 WIB, dan malam hari sampai pukul 02.00 WIB.
Kemudian anggota mafia di lokasi penampungan, yang kerap disebut kepala lokasi (KPL), menghubungi supir truk tangki untuk singgah dan mengeluarkan muatan alias "kencing CPO" di tempat itu.
Oknum supir menyetujui karena tergiur uang, tapi ada juga yang terpaksa menurut karena ancaman dan intimidasi dari mafia CPO.
Supir truk tangki yang sudah bekerja sama dengan mafia CPO mendapat bayaran dari KPL sebesar Rp4.000 per kilogram (Kg).
Volume "kencing CPO" beragam, rata-rata sebanyak 130 Kg. Setelah kolam sudah penuh CPO, mobil tangki milik "toke" akan datang menjemput.
Sementara itu, untuk modus dengan drum, yakni memindahkan langsung CPO dari tangki ke drum berkapasitas 100-160 Kg. Cara seperti ini lebih sulit terdeteksi karena lokasinya berpindah-pindah.
Praktik ilegal CPO ini menguntungkan karena mafia atau "toke" CPO menjual hasil curian mereka ke pihak lain dengan harga sekitar Rp6.000 per Kg.
Mereka selama ini juga memanfaatkan celah kebijakan perusahaan terkait batas toleransi selisih penyusutan. Rata-rata volume mobil tangki berkisar antara 25 hingga 35 ton, namun tonase setiap mobil tangki ditentukan oleh masing-masing manajemen pabrik kelapa sawit sesuai tingkat penyusutan akibat penguapan selama di perjalanan.
Sawit haram
Asap putih pekat membumbung tinggi dari cerobong asap pabrik CLP. Fasilitas produksi minyak sawit mentah berkapasitas 45 ton tandan buah segar per jam itu tersembunyi di belakang kebun Sei Batang Ulak, unit perkebunan sawit Ciliandra di sisi selatan Desa Siabu, Kampar, Riau.
Sore itu, portal berkelir putih-biru di depan pabrik berulang kali diangkat untuk dilalui truk pengangkut buah sawit yang baru dipanen dari kebun.
Menjelang magrib, sekitar pukul 17.30 WIB, giliran truk berkepala kuning melintas, masuk ke area pabrik. Bak cokelat berkarat di punggung truk itu menggendong tumpukan buah sawit.
Truk itu punya penanda unik. Stiker 02 CLP menempel di kaca depan. Tiga jam sebelumnya, truk sama terlihat berkeliling di area blok I-11 hingga I-19 kebun Sei Batang Ulak. Beberapa kali truk itu berhenti, menurunkan tiga kuli yang bertugas menaikkan tandan buah segar (TBS) ke bak.
Kode blok ini dapat dikenali dari plat-plat bulat berwarna biru yang menempel di setiap batang sawit, di sudut persimpangan antar-blok.
Sekitar 500 meter ke arah utara dari titik truk 02 CLP mengangkut TBS hasil panen siang tadi, berdiri rumah-rumah kayu. Warga Siabu biasa menyebut dengan Mess Vietnam. Di depan komplek ini terpancang papan plang putih setinggi dua meter.
“PT Ciliandra Perkasa Kantor Afdeling IV Kebun Sei Batang Ulak.” Begitu bunyi tulisan di papan itu.
Cat putih tak menghapus penuh tulisan lama yang samar-samar terbaca: Afdeling VI.
Tak terang kapan pergantian nama itu dilakukan. Di bisnis perkebunan, afdeling merupakan pembagian wilayah kerja. Satu afdeling biasa meliputi areal seluas sekitar 1.000 hektar.
“Blok I-9 sampai I-12 sedang panen. Biasanya hasil di sini baru diangkut sore hari,” kata Surya, bukan nama sebenarnya, Jumat itu.
Surya tinggal di mess Vietnam bersama 31 orang. Seperti Surya, kebanyakan pekerja kebun Ciliandra yang bertugas sebagai kuli panen sawit itu berasal dari Nias, Sumatera Utara. “Buruh harian lepas,” katanya.
Yang dia tak tahu, mess di afdeling IV Ciliandra Perkasa itu berdiri di atas kawasan hutan produksi konversi (HPK). Sawit-sawit yang ditanam dan panen, termasuk yang diangkut truk 02 CLP juga berada di kawasan hutan. Perkebunan ini bahkan berada di luar areal hak guna usaha Ciliandra di sebelah timur.
Sejak April lalu, tim kolaborasi menganalisis ulang tutupan sawit di 28 provinsi. Tim menumpuk poligon-poligon sebaran tutupan sawit itu dengan peta kawasan hutan Indonesia.
Hasilnya sawit menduduki kawasan hutan seluas 3,35 juta hektar, sedikit lebih luas dibandingkan wilayah Jawa Tengah.
Khusus di Riau dan Kalimantan Barat, tim mengidentifikasi sawit-sawit dalam kawasan hutan yang dilengkapi izin dan penyerahan hak dari negara seperti HGU dan izin usaha perkebunan (IUP).
"Dampak penampungan ilegal ini tak terlalu besar pengaruhnya ke kuantitas produksi CPO dalam negeri. Tapi, citra mutu produk CPO asal Indonesia menjadi buruk. Apalagi maraknya jual beli CPO untuk ekspor dipasar gelap," kata salah satu anggota Gapki Riau menimpali.
Tapi menurut pihak Gapki Riau praktik ilegal CPO berdampak negatif ke pengusaha, petani sawit dan juga negara. Indonesia yang kini memproduksi sekitar 32 juta ton CPO setahun, akan terus disudutkan dengan tudingan dan "kampanye hitam" dari penampungan ilegal, dan belum lagi isu lingkungan lainnya.
Kualitas CPO jadi dipertanyakan. Apalagi sekarang permintaan pasar menurun, tapi produksi kita malah naik. Dan memang harga CPO juga naik.
Aksi pencurian CPO siang malam
Informasinya, para mafia CPO tak mengenal waktu beroperasi siang dan malam. Seperti penuturan salah seorang supir CPO, Heru (51) yang bekerja disalah satu PKS di Dumai dikontak ponselnya mengaku pencurian berlangsung setiap hari baik siang maupun malam.
"Kami tidak bisa berbuat, karena para mafia itu selalu menyetop setiap kami melintas. Jika kami tidak menuruti permintaan mereka, jangan lagi lewat dari tempat itu, cari jalan lain," katanya dengan suara perlahan.
Para sopir dilokasi yang mengaku, truk CPO yang dibawa saat tiba di jalan lalu distop dan supir dipaksa untuk menurunkan sebahagian minyak dari tangki ini, dipaksa menjual sebagian minyak sawit mereka bawa kepada mafia digudang.
Segel Tangki dibobol, minyak disedot menggunakan selang. Masalah harga tergantung jumlah per gelang yang mereka turunkan. Bahkan, jika para supir yang membawa CPO yang tidak berhenti ketika distop, dikejar sampai ke tengah hutan.
Menurut para supir, aksi mafia CPO itu sudah lama.
Seperti disebutkan Badan Pekerja Nasional [Bakernas] Investigation Coruption Indonesia [ICI], H Darmawi Aris SE Ak menyebukan dibagian lain kegiatan tersebut dilakukan oleh para mafia kemungkinan sudah ada 'proposal' yang diberikan kepada orang-orang tertentu.
"Mana mungkin mereka berani buka gudang pencurian minyak sawit kalau tidak ada ngasi proposal," sebutnya yang mengaku pernah menanyai langsung dengan salah satu sopir pengangkut CPO di Riau.
Darmawi mendukung pengungkapan aktivitas jual beli CPO ilegal yang terjadi di daerah-daerah. Pasalnya, pasar gelap CPO itu mengancam akan kondusivitas dunia usaha di daerah itu sendiri.
Kemudian, akan menyuburkan praktik pencurian dan penggelapan CPO. "Kami sangat mengapresiasi kepolisian mengungkap kasus pencurian minyak CPO sampai tuntas. Karena ini sangat tidak baik untuk iklim usaha di Riau," kata Darmawi, putera Bengkalis itu Rabu (26/7).
Menurutnya, tindakan pencurian CPO mempunyai jaringan dan juga ada penadahnya. Terkadang mereka berkedok usaha limbah kelapa sawit.
"Tetapi kami harapkan penadah atau pemodal besar dapat diungkap. "Kami meminta pihak kepolisian mengungkap sampai tuntas kasus ini sehingga membuat jera para pelaku lainnya, karena ini bisa mengganggu sistem investasi sektor perkebunan khususnya industri hilir," ucapnya.
Permainan limbah sawit atau sering disebut CPO asam tinggi di daerah akhir-akhir ini kerap terjadi sebagai modus baru, cuma jarang diketahui asal CPO. Andaipun ada limbah yang dijual oleh pihak perusahaan hal itu cuma terjadi sesekali-kali.
"Salah seorang karyawan perusahaan yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, limbah yang dihasilkan dari satu pabrik CPO sangat sedikit, itupun limbah atau yang disebut CPO asam tinggi kadang digunakan sendiri perusahaan untuk kepentingan tertentu," ulang Darmawi.
Menurut Darmawi lagi, sudah tidak rahasia umum kalau CPO dijual sembunyi-sembunyi atau disebut CPO lencingan marak di daerah.
"Kalau melihat kejadian itu memang ada yang menampung dan membeli CPO ilegal, dan diduga kuat permainan mafia CPO ilegal di daerah seperti gunung es. Kecil dipermukaan tapi di dalam sangat besar, yang sangat dirugikan jelas perusahaan pemilik CPO," tandasnya.
Praktik jual beli CPO ilegal diduga 'cuci uang'
Bukan rahasia umum lagi soal kencing Crude Palm Oil (CPO) atau tempat penampungan CPO ilegal yang terjadi selama ini di Riau.
"Ada sekitar 97 titik tersebar dari jalan lintas sumatera ini. Usaha ilegal itu diduga melakukan pencucian uang (money laundring), dan menyuap oknum tertentu sehingga usaha ilegalnya lancar."
"Beberapa para pelaku penampung CPO ilegal mengaku usaha itu berjalan yang terpenting hasil kerjasama baik," kata Darmawi menyikapi.
Praktik usaha dilakoni dalam tiap isi satu gelang drum CPO itu sekitar 70 liter dibandrol dengan harga sekitar Rp250 ribu hingga Rp300 ribu.
Terkadang CPO kencing ini dicurahkan dari kran tanki truk CPO antar dua gelang hingga tiga. Tiga gelang drum sama dengan 1 drum volume 210 liter.
Jadi kencing CPO ini uangnya cukup menggiurkan bagi supir truk tanki CPO dibanding uang jalan yang dikasih oleh PKS. Terkadang lebih besar nilainya dibanding uang saku yang dikasih dari PKS.
Penampung CPO di Riau masih beroperasi?
Aktivis Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) menilai praktik penampung crude palm oil [CPO] di Riau masih bebas beroperasi.
"Gudang penampungan CPO diduga ilegal bebas beroperasi di Riau.'
"Hasil pantauan kami sepekan terakhir dilapangan menunjukkan aksi itu masih ada. kita minta kepada Bapak Kapolri agar dapat menindak tegas dan memberantas mafia CPO ilegal ini," kata Ir. Ganda Mora M.Si, Ketua Umum [Ketum] Lembaga Indenpenden Pembawa Suara Transparansi (INPEST), Kamis 27/7).
Ia menggambarkan di jalan Tuanku Tambusai Mekarsari Dumai Barat, Bukit Timah, Jalan Simpang Jepang Bukit Nenas Kecamatan Bukit Kapur, Jalan Soekarno Hatta Bagan Besar, Jalan Tuanku Tambusai, Jalan Cut Nyakdien Purnama, Kota Dumai (Riau) masih marak kegiatan itu.
"Bebasnya beroperasi gudang penampungan minyak CPO menandakan masih lemahnya pihak aparat hukum untuk memberantasnya," sebutnya.
Umumnya, gudang penampung CPO dikelilingi dinding tembok batu, gunanya agar tertutup dan tak kelihatan.
Menurutnya, praktik ini jika dibiarkan, seolah-olah penegakan hukum di Negera RI Lemah.
"Jangan dibiarkan itu karena telah merusak citra Polri. Tangkap pelaku-pelaku ilegal tersebut. Dan saya yakin Bapak Kapolri adalah orang yang tegas dalam memberantas mafia-mafia ilegal," kata dia.
Tetapi Pelaksana Tugas Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia [Gapki] Riau, Saut Sihombing, kepada wartawan juga mengakui penampung ilegal CPO tak tersentuh hukum.
Ia menilai investor yang bernaung dalam Gapki juga mengeluhkan maraknya praktik ilegal penampungan minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO), yang kerap disebut "kencing CPO" di daerah daerah.
"Keberadaan penampung ilegal ini jelas terlihat, namun seperti tak terjamah oleh hukum," kata Saut Sihombing, Kamis.
Ia mengungkapkan, jalan menuju Pelabuhan Dumai merupakan salah satu titik "menjamurnya" praktik pembajakan CPO.
Menurut dia, aktivitas "kencing CPO" ini sudah terjadi sejak lama dan sekarang makin marak.
Ia mengatakan, pihaknya sudah berupaya memerangi "kencing CPO" termasuk dengan melaporkannya ke Kepolisian Daerah Riau.
Namun, pelaku kejahatan tersebut tidak berhenti, bahkan diduga ada banyak pihak yang terlibat dalam bisnis pencurian ini, tak terkecuali oknum supir pabrik kelapa sawit (PKS) hingga oknum aparat.
"Istilahnya (ada) mafia atau toke CPO," katanya.
Informasi yang didapatkan dari anggota Gapki Riau, modus kejahatan ini melibatkan "kaki-tangan" mafia CPO dengan oknum supir dan kernet mobil tangki CPO.
Lokasi penampungan di Jalan Lintas Timur Sumatera disembunyikan dengan warung, namun di belakangnya terdapat tenda untuk menutupi kolam maupun drum untuk menampung CPO.
Kapasitas kolam tampung biasanya berkisar 6-8 ton.
Mereka mengincar mobil tangki CPO penuh muatan dari pabrik kelapa sawit menuju Dumai, Medan, dan Belawan di Provinsi Sumatera Utara.
Mereka beraksi pada pagi hari hingga pukul 11.00 WIB, dan malam hari sampai pukul 02.00 WIB.
Kemudian anggota mafia di lokasi penampungan, yang kerap disebut kepala lokasi (KPL), menghubungi supir truk tangki untuk singgah dan mengeluarkan muatan alias "kencing CPO" di tempat itu.
Oknum supir menyetujui karena tergiur uang, tapi ada juga yang terpaksa menuruti karena ancaman dan intimidasi dari mafia CPO.
Supir truk tangki yang sudah bekerja sama dengan mafia CPO mendapat bayaran dari KPL sebesar Rp4.000 per kilogram (Kg). Volume "kencing CPO" beragam, rata-rata sebanyak 130 Kg.
Setelah kolam sudah penuh CPO, mobil tangki milik "toke" akan datang menjemput.
Sementara itu, untuk modus dengan drum, yakni memindahkan langsung CPO dari tangki ke drum berkapasitas 100-160 Kg.
Cara seperti ini lebih sulit terdeteksi karena lokasinya berpindah-pindah.
Praktik ilegal CPO ini menguntungkan karena mafia atau "toke" CPO menjual hasil curian mereka ke pihak lain dengan harga sekitar Rp6.000 per Kg.
Mereka selama ini juga memanfaatkan celah kebijakan perusahaan terkait batas toleransi selisih penyusutan.
Rata-rata volume mobil tangki berkisar antara 25 hingga 35 ton, namun tonase setiap mobil tangki ditentukan oleh masing-masing manajemen pabrik kelapa sawit sesuai tingkat penyusutan akibat penguapan selama di perjalanan.
"Dampak penampungan ilegal ini tak terlalu besar pengaruhnya ke kuantitas produksi CPO dalam negeri. Tapi, citra mutu produk CPO asal Indonesia menjadi buruk. Apalagi maraknya jual beli CPO untuk ekspor dipasar gelap," kata Saut Sihombing.
Akhirnya, dampak praktik ilegal CPO ini berdampak negatif ke pengusaha, petani sawit dan juga negara.
Ia mengatakan Indonesia yang kini memproduksi sekitar 32 juta ton CPO setahun, akan terus disudutkan dengan tudingan dan "kampanye hitam" dari penampungan ilegal, dan belum lagi isu lingkungan lainnya.
"Tentu, kualitas CPO kita dipertanyakan. Apalagi sekarang permintaan pasar menurun, tapi produksi kita malah naik. Dan memang harga CPO juga naik," katanya.
Kembali disebutkan Ganda Mora menilai soal kencing CPO ini. Ia menilai tempat penampungan CPO ilegal yang diperoleh informasinya ada sekitar 300 titik di Riau.
"Usaha ilegal ini diduga melalukan pencucian uang (money laundring), dan menyuap oknum tertentu sehingga usaha ilegalnya lancar," sebutnya.
Maraknya kasus 'kencing' CPO, aktivitas penampungan ini justru dilakukan di malam hari (sembunyi-sembunyi) menghindari mata masyarakat atas usaha mafia itu.
Modusnya bos mafia tersebut bekerja sama dengan oknum supir truk tanki CPO, truk tanki yang mengangkut CPO dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) membelok ke tempat penampungan kencing CPO lalu membongkar CPO itu melalui kran belakang truk tanki CPO dan ditampung drum 1 gelang.
Tren keberadaan mafia penampung CPO ilegal kini tidak hanya didengar seputaran Inhu saja tapi juga ada di Kandis, Pinggir, Sebanga, Duri, sampai Dumai, juga menjamur ke daerah lain seperti di Pelalawan, Kuantan Singingi (Kuansing) dan Kota Batak Kampar.
"Mafia penampung CPO ilegal sudah meresahkan dan merugikan, berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan aktivitas jual beli minyak CPO ilegal ini, tapi hingga kini para penampung CPO curian ini bukannya tutup, malah makin marak dan tumbuh subur," sebutnya.
Modus operandi untuk meluluskan praktik ilegal tersebut, yakni menggunakan dokumen DO kontrak MIKO (minyak kotor), padahal yang di kirim minyak berupa CPO bukan MIKO.
Minyak sawit mentah yang diperoleh dari cara ilegal itu diperkirakan tidak memenuhi standar sehingga dapat menurunkan kualitas CPO yang menyebabkan turunnya harga.
Upaya untuk meningkatkan standar sistem pengelolaan minyak sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sepertinya percuma, sebut Ganda.
Jadi sebutnya, dengan adanya kencing CPO itu akan mempengaruhi mutu terkait asam lemak semakin tinggi, karena campuran CPO di dalam tank storage akan mempengaruhi rendemen. Kalau rendemen rendah akan berpengaruh pada mutu ekspor dan bisa di bredel atau ditolak pasar eropa.
Beberapa sumber dilapangan mengatakan praktik ini sudah berlangsung lama.
Tetapi Gapki menyarankan aparat keamanan di level pusat untuk turun tangan menyelesaikan kasus pencurian CPO ini.
Kementerian Politik Hukum dan Keamanan dan Badan Intelijen Negara dapat menumpas pemain CPO ilegal karena banyak oknum terlibat di sana. Dan kemungkinan bisa lintas angkatan, oknumnya itu. Sehingga, sulit bagi polisi untuk membasminya.
Ketika ditanya apakah ada rencana bekerjasama dengan kepolisian daerah untuk operasi berikutnya, Jatmiko K Santosa yang terpilih memimpin GAPKI Cabang Riau periode 2021-2025 ini mengatakan pihaknya angkat tangan, menurutnya yang ditangkap masih level kroco.
"Jadi memang rumit dan sulit melihat kejadian seperti ini bahkan sudah berlangsung lama lagi".
Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, tren positif serupa. Dari data ekspor yang mereka himpun, selalu terjadi kenaikan setiap tahun dengan angka tertinggi pada 2019 sebesar 37, 390 juta ton.
“Neraca perdagangan kita minus kalau tidak ada sawit,” ucap Joko Supriyono, Ketua Umum Gapki, 15 Oktober lalu.
Joko sambil menunjukkan catatan, termasuk nilai ekspor sawit yang mencapai US$22,97 miliar tahun lalu. Neraca perdagangan Indonesia surplus US$21 miliar.
Industri ini tetap menggeliat sekalipun pandemi meruntuhkan banyak sektor ekonomi. Pasar dan cuan yang menggoda memastikan industri ini bertahan di dalam situasi tersulit.
Sayangnya, geliat bisnis sawit ini tidak dibarengi dengan praktik yang baik. Prinsip keberlanjutan kerap dikesampingkan demi memenuhi permintaan pasar.
Sertifikasi keberlanjutan, baik Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang digagas pemerintah maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diinisiasi pasar, seakan katebelece belaka. Prinsip-prinsip keberlanjutan bak jadi jargon semata.
Seperti yang terjadi pada First Resources Group, yang membawahi CLP dan Adhitya Serayakorita, misal, merupakan anggota RSPO yang semestinya memenuhi prinsip dan kriteria keberlanjutan sesuai standar asosiasi.
Kalau ditilik, akar masalah ada pada asal CPO di CLP. Sehari sebelum ‘truk okem’ masuk ke refinery , tim kolaborasi sempat mengunjungi PKS CLP dan melihat bagaimana CPO berasal dari praktik sawit yang tak berkelanjutan.
Area HGU Ciliandra Perkasa, seluas 3.787 hektar, sebenarnya terindikasi beririsan cuma sekitar 54 hektar dengan kawasan hutan di Kampar.
Hasil intepretasi citra satelit terhadap penampakan tutupan sawit di sekitar “kebun resmi” perusahaan mengindikasikan, Ciliandra telah membangun perkebunan di luar HGU.
Kebun-lebun ini meluber ke IUP mereka yang masih berada di dalam kawasan hutan seluas 2.209, 08 hektar.
Jejak Ciliandra pada kebun-kebun sawit di kawasan hutan tak hanya kentara di areal afdeling IV, yang berstatus HPK.
Kamis siang, 19 Agustus lalu, atau sehari sebelum menemukan truk 02 CLP mengangkut sawit dari kebun dalam HPK, tim menyusuri wilayah hutan produksi (HP) di selatan HGU perusahaan. Barisan sawit berderet rapi menutupi kawasan ini.
Di tengah blok perkebunan ini, sekitar empat kilometer dari mess afdeling IV, aroma kimia menusuk tajam hingga ke pangkal hidung.
Kantong-kantong pupuk telah kosong berserakan di pinggir jalan tanah yang becek diguyur hujan. Logo dan nama First Resources, induk Ciliandra di Singapura, tercetak di kantong-kantor berkelir putih itu.
Di blok perkebunan ini pun tersebar TBS siap angkut, antara lain berada di sepanjang koridor J30 hingga lebih dari 300 meter ke arah selatan. Sama seperti kebun di HPK, TBS-TBS di sini pun diangkut oleh truk yang datang pada sore hari, sekitar pukul 16:00 WIB, kala itu.
Sawit-sawit dalam HPK dan HP ini-lah yang akhirnya bercampur di PKS dan dibawa ke refinery Adhtiya Serayakorita. Dari situ, berbagai pedagang (trader) dan pembeli (buyer), secara langsung maupun tak langsung, diduga ikut menikmati sawit haram ini.
Terserap pasar
Dari hasil analisis tim, minyak sawit dari CLP dan Adhitya Serayakorita ini mengalir ke berbagai trader dan buyer langsung ataupun tidak. Analisis melalui dokumen daftar PKS pemasok hingga 2020 yang diterbitkan publik dan bisa terakses bebas.
Perusahaan pedagang sawit seperti Cargill, Wilmar, Neste, IFFCO, hingga ADM Global menjadi penampung sawit perusahaan yang dimiliki Ciliandra Fangiono ini.
Di tingkat buyer, jejak sawit CLP atau Adhitya Serayakorita ini terendus hingga merek ternama seperti Colgate, Nestlé, PepsiCo, Procter & Gamble (P&G), Danone, Unilever dan Hershey.
Salah satu perusahaan lain yang didatangi tim kolaborasi adalah Padasa Enam Utama, terletak di Desa Sibiruang dan Gunung Malelo, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kampar, Riau.
Perusahaan bersertifikat ISPO ini pun menjual sawit haram. Nama perusahaan ini bahkan terpampang di laman PT Mutu Hijau Indonesia, lembaga yang dipercaya untuk melakukan sertifikasi ISPO.
Perusahaan ini memiliki nomor sertifikat ISPO 0006/MHI-ISPO berlaku sejak 19 Juli 2021-18 Juli 2026. Bertolak belakang dengan marwah ISPO, Padasa mengoperasikan 3.500 hektar kebun sawit di dalam kawasan hutan, tepatnya, hutan produksi yang dapat dikoversi (HPK) dan hutan lindung (HL).
Hasil pengecekan lapangan menunjukkan, area ini dioperasikan perusahaan dalam pola kredit koperasi primer anggota (KPPA) bersama Koperasi Unit Desa (KUD) Tiga Koto. Dari pengecekan lapangan ditemukan bagaimana panen Padasa di berbagai lokasi, termasuk di kebun yang menduduki hutan lindung.
Bahkan, sejumlah pekerja di kebun menyebut KUD Tiga Koto menginduk ke pengelolaan kebun Padasa. Dalam bahasa para pekerja, koperasi ini adalah ‘anak perusahaan’.
Dari analisis dokumen, Padasa tercatat sebagai pemasok Wilmar, GAR, Cargill, Apical, Fuji, AAK, IOI dan Olam. Tidak hanya itu, Padasa juga tercatat dalam daftar PKS pemasok CPO dari PepsiCo, Danone hingga Hershey.
Praktik Adhitya Serayakorita dan Padasa ini makin menunjukkan, kalau sertifikasi ‘hijau’ sawit belum jadi jawaban untuk kepatuhan perusahaan akan praktik berkelanjutan.
“Intinya, ISPO dan RSPO ini tidak menjamin,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, pertengahan Agustus lalu.
Greenpeace mencatat, dari 100 perusahaan anggota RSPO yang mereka identifikasi, masing-masing ternyata memiliki lebih 100 hektar kebun di kawasan hutan.
Bahkan, ada delapan perusahaan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 hektar sawit dalam kawasan hutan.
Masih catatan Greenpeace, ada 252.000 hektar sawit dalam kawasan hutan dimiliki perusahaan dengan sertifikasi ISPO.
Beda tanggap
“We will now start our formal investigation.” Begitu bunyi inti surat elektronik yang dikirim oleh Siân Morris, Senior Director P&G Corporate Scientific and Sustainability Communications kepada tim kolaborasi, 15 Oktober lalu.
Selama tiga hari, tim dan Siân berkomunikasi intens, menanggapi dugaan perusahaan disusupi sawit haram.
Dalam surat itu, Siân menyebut sudah melakukan kajian awal. Hasilnya, perusahaan penghasil barang-barang konsumen yang bermarkas di Amerika Serikat ini tidak bisa memungkiri bahwa Ciliandra Perkasa dan Padasa menjadi bagian dari rantai pasok kebutuhan sawit mereka.
Selain itu, ada pula PT Tasma Puja (Riau) dan Rezeki Kencana (Kalimantan Barat) yang mereka akui. Kedua perusahaan ini pun didatangi tim kolaborasi.
Senada dengan P&G, produsen makanan dan minuman Nestlé juga mengakui analisis tim kolaborasi tentang ada sawit haram masuk ke perusahaan mereka.
Dalam hal ini, Nestlé menerima asupan dari Ciliandra Perkasa dan Rezeki Kencana. Serta perusahaan lain yang juga didatangi tim, PT Tasma Puja dan PT Sumbar Andalas Kencana.
“Mereka masuk rantai pasok dari supplier hulu kami,” tulis Nestlé.
Temuan tim ini dianggap serius dan investigasi pun dilakukan Nestlé melalui pemasok langsung mereka. Perusahaan asal Swiss ini menyebut akan ada sanksi kalau penyuplai mereka terbukti melanggar standar keberlanjutan yang bertanggung jawab mereka.
Tim juga menemukan ada koneksi perusahaan yang menjual sawit haram ini dengan Wilmar International Limited. Hanya, dari lima perusahaan yang dianalisis menjadi penyuplai Wilmar, mereka hanya menanggapi soal PT Rezeki Kencana, saja.
Hampir tidak ada tanggapan dari perusahaan mengenai temuan tim. Ciliandra Perkasa, misal, menurut keterangan Satim, staf di sfat Divisi Office Management First Resources Jakarta, surat permohonan wawancara sudah berada di tangan Corporate Communication First Resources Limited Indah Permata pada Jumat, 16 Oktober lalu.
Padahal, tim sudah mengirimkan surat ke kantor di Jakarta di Gedung APL Tower sejak 5 Oktober dan kantor di Pekanbaru di Surya Dumai Building, sehari setelahnya. Sementara Indah Permata coba dihubungi lewat Linkedin tak memberi respons.
Dari Padasa, tim hanya diminta menghubungi pengacara perusahaan Wismar Haryanto. Perusahaan ini sedang berperkara di Pengadilan Negeri Bangkinang.
Penggugatnya adalah Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dengan perkara serupa dengan temuan tim.
Saat dihubungi, Wismar menyebut belum bisa memberi tanggapan karena belum membaca permohonan wawancara yang sudah diberikan. Dia juga menyebut, kalau tidak mau membahas soal perkara pengadilan karena baru akan memberi hak jawab pada 21 Oktober. “Tidak seperti yang disampaikan,” katanya singkat menanggapi gugatan yang ditimpakan pada Padasa. (*)
Tags : crude palm oil, penampung cpo, riau, indenpenden pembawa suara transparansi, inpest nilai pencuri cpo marak, pencuri dan penampung cpo masih marak, penadah cpo mengarah cuci uang, Jejak sawit gelap di pasar global, sawit gelap hasilkan cpo ke pasar ke dalam dan luar negeri, sorotan, riaupagi.com,