JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan gaji PNS dan TNI/Polri sebesar 8% menjelang Pilpres 2024 diyakini oleh sejumlah pengamat politik sebagai strategi untuk mendulang suara ke salah satu pasangan capres-cawapres.
Sebab di tengah kontestasi politik yang tinggi seperti sekarang, menguasai suara aparatur sipil negara yang jumlahnya mencapai 4, 28 juta orang bisa memperlebar jarak kemenangan dengan pasangan calon lain.
Namun Kepala Biro Data, Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik KemenpanRB, Mohammad Averrouce, menampik tudingan itu. Kata dia, kenaikan gaji ini diberikan untuk meningkatkan kinerja para ASN.
Adapun sejumlah pegawai negeri di kementerian menyebut kenaikan gaji sebesar 8% tak terlalu signifikan lantaran selama lima tahun terakhir tak ada kenaikan sama sekali. Mereka juga mengatakan kenaikan gaji ini tidak akan menggoyahkan pilihan politik mereka saat hari pencoblosan.
Berapa kenaikan gaji PNS?
Presiden Jokowi telah meneken peraturan yang isinya menaikkan gaji PNS, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), TNI, serta Polri sebesar 8%.
Ketentuan yang ditandatangani pada Jumat (26/01) lalu itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS ke dalam Gaji Pokok PNS.
Untuk rinciannya:
Golongan I
Golongan II
Golongan III
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas, mengatakan kenaikan gaji itu bakal cair pada awal Februari 2024.
Ia juga mengatakan pihaknya telah mengirimkan harmonisasi terkait dengan aturan kenaikan gaji bagi ASN maupun pensiunan.
"KemenPAN-RB sudah mengirim dan sudah harmonisasi dengan Kemenkeu dan Setneg sehingga segera cair terkait dengan tunjangan ASN serta pensounannya," ujar Abdullah Azwar Anas kepada wartawan di Kementerian Bappenas, Jakarta.
Akan tetapi pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, menilai kenaikan gaji jelang hari pencoblosan seperti ini sangat sarat dengan kepentingan politik.
Kecurigaan publik tersebut, katanya, timbul karena mirip dengan kebijakan Jokowi yang jor-joran menggelontorkan program bantuan sosial (bansos).
Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebut anggaran bansos naik dari Rp20,5 triliun menjadi Rp493,5 triliun pada 2024.
"Jadi orang pasti akan mempertanyakan itu [kenaikan gaji] karena ada potensi konflik kepentingan bahwa dalam situasi pemilu saat ini ada udang di balik batu," ujar Aisah.
"Apalagi kecurigaan itu menjadi kuat ketika Jokowi menunjukkan kedekatan politik dengan salah satu kandidat yang adalah anaknya," papar Aisah merujuk pada Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden dari calon presiden Prabowo Subianto.
Aisah Putri Budiatri mengatakan kebijakan menaikkan gaji aparatur sipil negara demi mendulang suara di pemilu sebetulnya cara lama yang berlangsung sejak Orde Baru.
Kala itu, birokrasi dijadikan 'mesin' yang menjaga keberlangsungan kekuasaan Suharto.
Sayangnya kata dia, setelah reformasi cara yang sama masih digunakan.
Menjelang habis masa jabatan, menurutnya, presiden selalu memanjakan para PNS dengan menaikkan gaji mereka.
Contohnya di akhir kepemimpinan Megawati pada 2004, dia menaikkan gaji PNS sebesar 15%.
Kemudian di era kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono setidaknya dia menaikkan gaji PNS sebanyak tujuh kali.
Adapun di era Jokowi, kenaikan terjadi pada 2015 sebesar 5% dan sejak saat itu tidak pernah ada kenaikan lagi. Baru pada 2019, gaji PNS naik dengan persentase 5%.
Putri berkata kebiasaan berulang seperti ini harus dihentikan karena hanya memunculkan gagasan bahwa ASN adalah alat politik seperti di masa lalu.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, sependapat.
Ia menambahkan, kebijakan seperti ini masih diberlakukan oleh setiap rezim kepemimpinan presiden lantaran masih kuatnya budaya patronase, yakni seseorang yang memberikan sesuatu harus memberikan balasan.
Persepsi tersebut, katanya, dimanfaatkan setiap kali jelang pemilu.
"Nah mekanisme ini yang coba dipakai oleh setiap pemerintahan jelang pemilu, memanfaatkan konteks masyarakat yang patronase seperti itu," jelas Mada Sukmajati.
Hanya saja dia menilai budaya tersebut sudah mulai luntur atau 'tak separah periode-periode sebelumnya' seiring perkembangan zaman dan kian rasionalnya para aparatur sipil negara.
Artinya, sambung Mada, kenaikan gaji PNS jelang pencoblosan "tidak secara mudah akan dibalas oleh para pegawai dengan memilih capres-cawapres tertentu yang memiliki kedekatan dengan Presiden Jokowi."
"Ini kompleksitas yang sekarang ada, tidak mudah hanya dengan menaikkan gaji PNS kemudian berharap PNS dengan mudah akan memilih calon tertentu, yakni Gibran [anak Presiden Jokowi]."
Apakah menaikkan gaji PNS akan mengubah sikap ASN?
Seorang pegawai golongan III B di sebuah kementerian yang tak mau diungkap identitasnya mengaku bersyukur akhirnya ada kenaikan gaji. Pasalnya sejak dia diterima menjadi PNS pada 2019 tidak pernah ada kenaikan.
Kenaikan gaji pada 2024 ini, kata dia, akan menjadi yang pertama dia terima kendati besarannya tidak terlalu signifikan.
"Naiknya paling tidak sampai Rp200.000, tapi disyukuri saja walau tidak signifikan. Karena sebetulnya kalau dihitung-hitung gaji PNS malah turun karena tergerus inflasi," ucapnya.
Dia juga berkata, meskipun kenaikan gaji ini diberlakukan beberapa hari jelang pencoblosan, tidak akan memengaruhinya dalam memilih capres dan cawapres 14 Februari nanti.
Ia mengaku sudah memantapkan pilihan berdasarkan visi-misi, program kerja, dan debat yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Saya pribadi nggak [terpengaruh] karena di lingkungan kerja juga sudah diharusnya supaya PNS netral."
Kendati begitu dia berharap kenaikan gaji para PNS tidak lagi dilakukan ketika mendekati tahun politik, tapi dikaji setiap tahun mengikuti kenaikan inflasi.
"Karena kalau tidak pernah baik, tiba-tiba naik rasanya sama aja gaji kita turun..."
"Harapannya gaji PNS bisa naik rutin, UMR aja tiap tahun naik."
Pegawai golongan III B di kementerian lain yang juga tak mau disebutkan namanya mengaku berharap kenaikan gaji mereka bisa lebih dari 8%. Apalagi keperluan sehari-hari di Jakarta semakin mahal.
Sebab bagaimanapun, kata dia, bagi pegawai yang besaran tunjangan kinerjanya tak terlalu besar, kenaikan gaji kali ini sangat berarti.
"Bagi yang tunjangan kinerjanya sudah optimal, gaji naik atau nggak tidak masalah bagi mereka. Tapi yang tukinnya kecil, kenaikan gaji ditunggu-tunggu," tuturnya.
Ia juga mengatakan meski kenaikan gaji diberikan mendekati hari pencoblosan, tidak akan membuatnya berubah haluan.
"Tidak [pengaruh] sih, karena saya sudah menentukan pilihan dengan membaca visi-misi. Jadi dengan kenaikan gaji akan goyah, kalau saya tidak."
"Kalau memilih cuma gara-gara naik gaji dekat pemilu, nggak bijak aja rasanya..."
Dia pun bercerita di lingkungan kerjanya sangat menerapkan prinsip netralitas. Tidak ada pimpinan yang mengarahkan bawahannya untuk memilih calon tertentu.
Apa tanggapan pemerintah?
Kepala Biro Data, Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik KemenpanRB, Mohammad Averrouce, menampik anggapan yang menyebut kebijakan kenaikan gaji ASN terkait dengan kepentingan politik.
Sebab klaimnya, rencana kenaikan gaji ASN sudah dirancang sejak 2020 silam.
"Jangan disamber-samberin [sama poltik]. Pak Menteri selalu menyampaikan bahwa ini merupakan apresiasi terhadap kinerja yang dilakukan oleh ASN. Waktu Covid-19 kan kita [ASN], TNI-Polri berkolaborasi dengan baik," ucapnya seperti dilansir Liputan6.com.
Sementara itu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Abdullah Azwar Anas, mengatakan meski gaji ASN yang cair Februari, dia menjamin kalau kenaikan gaji ini terhitung sejak Januari 2024.
Dengan begitu, selisih kekurangan gajinya akan dikirimkan sekaligus di bulan depan.
"Sudah otomatis. Meskipun SK-nya keluar Maret, Januari tetap cair [naik gaji]," katanya. (*)
Tags : Keuangan pribadi, Ekonomi, Politik, Pilpres 2024, Indonesia, Pemilu 2024,