INTERNASIONAL - Jepang mulai melepaskan secara perlahan lebih dari satu juta ton air radioaktif yang diolah dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) non-aktif Fukushima ke Samudra Pasifik, pada Kamis (24/8) pukul 13:00 waktu setempat (11:00 WIB).
Air itu sebelumnya digunakan untuk mendinginkan reaktor radioaktif PLTN Fukushima Daiichi yang dihantam tsunami pada 2011.
Air pengolahan ini telah disimpan dalam tangki di PLTN Fukushima selama lebih dari satu dekade, tetapi tempat penyimpanan tersebut telah kehabisan ruang.
Peneliti senior bidang nuklir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Djarot Sulistio, mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir akan potensi bahaya yang dapat muncul dari pelepasan air olahan bekas PLTN Fukushima.
Akan tetapi, Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaludin, masih skeptis mengenai dampak air tersebut terhadap biota laut.
Jepang memutuskan pada 2021 bahwa mereka akan melepaskan air radioaktif setelah melalui proses pengolahan yang menghilangkan sebagian besar unsur radioaktif. Setelah dua tahun peninjauan oleh badan pengawas energi atom PBB, hal itu disetujui.
Namun pelepasan air PLTN Fukushima telah memicu protes di Jepang dan kemarahan di negara-negara tetangga, seperti China dan Korea Selatan.
Kementerian Luar Negeri China merilis pernyataan sesaat setelah pelepasan air.
China menuding Jepang menimbulkan "kerugian sekunder" bagi orang-orang karena "kepentingan egoisnya" sendiri. China juga mengatakan pembuangan air yang terkontaminasi memiliki dampak lintas perbatasan.
“Apa yang telah dilakukan pihak Jepang adalah mendorong risiko ke seluruh dunia [dan] meneruskan rasa sakit kepada generasi manusia di masa depan.
“Dengan memperlakukan pelepasan air limbah sebagai fait accompli, pihak Jepang secara bersamaan menempatkan dirinya di dermaga internasional," kata Kementerian Luar Negeri China.
China juga menuduh Jepang gagal membuktikan keabsahan rencana tersebut, meskipun sudah bertahun-tahun diperiksa secara ketat oleh regulator independen di Jepang dan secara global.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan pelepasan air tersebut memenuhi semua standar keselamatan internasional. IAEA juga telah mengeluarkan persetujuannya setelah dua tahun penilaian.
Sementara, Korea Selatan mengaku mendukung rencana tersebut, dan menuduh para penentang hanya menakut-nakuti.
Penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar Fukushima juga tidak yakin bahwa air yang dilepaskan ke laut itu akan aman. Banyak nelayan di negara itu khawatir bahwa pelepasan air tersebut akan mempengaruhi mata pencaharian mereka.
Apalagi Korea Selatan dan China sama-sama melarang impor ikan dari kawasan Fukushima.
Apakah pelepasan air olahan bekas PLTN Fukushima akan berdampak pada Indonesia?
Peneliti senior bidang nuklir dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Djarot Sulistio, mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir akan potensi bahaya yang dapat muncul dari pelepasan air olahan bekas PLTN Fukushima.
“Indonesia saya kira tidak perlu khawatir. Karena kita punya sistem untuk mengecek apakah ini oke atau tidak, apakah ikan atau produk-produk laut dari sekitar Fukushima itu ada kontaminasi atau tidak,” ungkap Djarot.
Sebab, air itu sudah diolah hingga tinggal bahan yang disebut tritium, yakni zat isotop hidrogen yang dinilai tidak berbahaya bagi manusia jika kadar tritium tidak melebihi batas wajar. Bahkan, sudah disetujui oleh lembaga internasional IAEA.
“Kalau saya dari sisi sains, itu tidak ada masalah. Tidak perlu dikhawatirkan... Sebenarnya masyarakat internasional, terutama negara-negara yang punya PLTN itu sudah biasa tiap kali melepas tritium ke sungai, danau atau laut tergantung PLTN tersebut berada di mana, selama itu konsentrasinya rendah,” ujar Djarot.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa komunitas internasional tentu harus terus memonitor kelangsungan proses pelepasan air yang akan memakan waktu hingga 30 tahun. Baik dari sisi teknis maupun pengawasan dampak radiasi pada produk yang dikonsumsi.
Sementara itu, Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaludin, mengatakan tentu ada potensi risiko yang dapat muncul jika air yang dilepas belum sepenuhnya bebas dari zat radioaktif.
Mengingat bahwa, sambungnya, Indonesia sangat bergantung pada produk perikanan seperti tuna dalam kegiatan ekspor dan juga konsumsi dalam negeri.
“Salah satu [komoditas] ekonomi penting di kita yang diekspor yang dikonsumsi tuna. Tuna ini antara perairan kita dan perairan Jepang itu saling koneksi. Dan ingat radioaktif bukan sesuatu yang bisa dicerna, tetapi dia justru akan ada di jaringan,” jelas Rigdola.
Ia mengatakan bahwa pergerakan ikan tuna di sekitar Fukushima bisa mencapai perairan Indonesia. Sehingga perlu dipastikan air yang dilepas oleh Jepang sudah betul-betul bebas dari zat radioaktif.
“Jepang harus punya tanggung jawab lebih terkait hal-hal seperti ini,“ katanya.
Apa itu bencana nuklir di Fukushima?
Pada 2011, gempa bumi paling kuat yang pernah tercatat di Jepang melanda lepas pantai timur negara itu.
Gempa tersebut kemudian memicu tsunami yang menewaskan lebih dari 18.000 orang dan membanjiri pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima-Daiichi dan menghancurkan tiga reaktornya.
Pabrik itu juga mengalami sejumlah ledakan kimia yang merusak bangunan.
Bahan radioaktif akhirnya bocor ke atmosfer dan Samudra Pasifik. Hal ini mendorong evakuasi dan pembentukan zona pengecualian.
Secara keseluruhan hampir 500.000 warga terpaksa mengungsi dari rumah mereka akibat gempa bumi, tsunami dan kecelakaan nuklir.
Jepang juga beralih dari penggunaan tenaga nuklir - menangguhkan 46 dari 50 reaktor operasionalnya setelah bencana. (*)
Tags : Penangkapan ikan, Nuklir, Indonesia, Pencemaran laut, Jepang, Lingkungan, Sains,