Linkungan   05-07-2025 18:5 WIB

Jerat Hukum Bagi Perusahaan yang Membeli Kelapa Sawit dari Kawasan Hutan, 'yang Bisa Dipenjara Maksimal 15 Tahun'

Jerat Hukum Bagi Perusahaan yang Membeli Kelapa Sawit dari Kawasan Hutan, 'yang Bisa Dipenjara Maksimal 15 Tahun'

PEKANBARU - Sejumlah peron (ram) yang menampung hasil kebun kelapa sawit dari perkebunan di sekitar area Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Riau, memilih menutup sementara usahanya.

Penutupan peron dilakukan sejak Minggu (22/6/2025) kemarin, memicu kepanikan masyarakat petani setempat. 

Penutupan usaha peron tersebut terjadi hanya beberapa pekan sejak operasi penguasaan kembali TNTN oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) pada Selasa (10/6) lalu.

Satgas PKH mengambil alih TNTN yang telah hancur dirambah menjadi areal perkebunan kelapa sawit.

Data Satgas PKH mengungkap, dari sekitar 81 ribu luasan TNTN, saat ini yang tersisa hanya sekitar 12 ribu hektare. Selebihnya telah bersalin rupa menjadi perkebunan kelapa sawit tanpa izin, pemukiman dan sarana fasilitas umum. 

Penutupan usaha peron diduga karena pemilik Pabrik Kelapa Sawit (PKS) khawatir bisa dijerat hukum pidana, karena tuduhan menjadi penadah buah sawit yang berasal dari dalam kawasan hutan. 

Selama ini, pemilik usaha peron memiliki hubungan bisnis sebagai pemasok buah kelapa sawit ke sejumlah perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang berada di Pelalawan. Namun, hubungan bisnis tersebut bebas dilakukan dan terus berlanjut, tanpa ada upaya penegakan hukum untuk memutus rantai panjang aktivitas perusakan hutan. 

Sebenarnya, sejak 2013 lalu, sudah ada undang-undang yang secara tegas melarang adanya aktivitas perniagaan komoditi yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin.

Aturan itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 

Dalam Pasal 17 ayat 2 huruf (e) Undang-undang itu disebutkan: "Setiap orang dilarang membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin".

Ada dua jenis sanksi dan hukum yang bisa menjerat korporasi yang membeli hasil perkebunan dalam kawasan hutan. Yakni sanksi pidana dan sanksi administrasi. 

Adapun sanksi administrasi termuat dalam Pasal 18, yakni berupa paksaan pemerintah, uang paksa dan/atau pencabutan izin.

Sementara, ancaman hukuman pidana terhadap korporasi yang membeli dan mengolah hasil kebun dalam kawasan hutan, diatur dalam Pasal 91 ayat 2.

Korporasi yang terlibat dalam jual beli dan pengolahan hasil kebun dalam kawasan hutan, dijerat dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak Rp 15 miliar. 

Penerapan hukum yang tegas dan konsisten terhadap perniagaan sawit berasal dari dalam kawasan hutan, diyakini bisa memutus rantai bisnis 'ilegal' yang terbukti telah merusak hutan.

Selama ini, belum ada tindakan hukum yang konkret dari aparatur penegak hukum. 

Sebelumnya diwartakan, sejumlah peron atau ram penampungan kelapa sawit di sekitaran wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) memilih tutup operasional.

Kondisi ini terjadi berbarengan dengan heboh penertiban hutan konservasi TNTN yang digencarkan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di TNTN sejak dua pekan lalu. 

"Ram di sini tutup, Bang. Gak ada lagi yang menampung kelapa sawit kami," kata Sukma, warga Bukit Kesuma di Pelalawan, Minggu (22/6). 

Penutupan ram kelapa sawit dilakukan mulai hari ini dan diinformasikan oleh pemilik usaha sejak Sabtu (21/6/2025) kemarin. Akibatnya, para petani yang kadung memanen sawit kebingungan, karena tidak ada lagi yang menampung kelapa sawit mereka. 

Bahkan, isu penertiban TNTN dikhawatirkan membuat hasil panen kelapa sawit dari daerah sekitaran TNTN juga tak laku lagi. Hal ini karena kuatnya opini kalau kebun sawit tersebut berada dalam kawasan hutan, meski bukan berada dalam areal TNTN. 

"Hasil panen dituding berasal dari kawasan hutan. Entah bagaimana nanti ekonomi kami di sini, Bang. Kami bingung dan tak berdaya," kata Sukma. 

Ia menjelaskan, warga terpaksa menunda panen dalam beberapa hari ke depan, sebelum adanya kepastian ram kembali dibuka oleh pemiliknya. 

"Kami masih menunggu kapan ram buka. Kan percuma kita panen kalau tak ada yang menampung," katanya. 

Penutupan ram (peron) terjadi diduga kuat karena pabrik kelapa sawit (PKS) yang selama ini menampung buah kelapa sawit tidak lagi menerimanya. Menurut warga setempat, selama ini buah kelapa sawit mereka dikirim pemilik peron ke sejumlah pabrik kelapa sawit, antara lain PT Mitra Unggul Pusaka dan PT Agritasari dan PT Peputra Supra Jaya. 

Belum diketahui apa penyebab PKS tersebut berhenti menerima pengiriman buah kelapa sawit dari wilayah TNTN dan sekitarnya.

Sebelumnya diwartakan, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) telah menerbitkan pengumuman resmi terkait masa depan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau. Satgas PKH menyatakan warga yang tinggal di kawasan TNTN untuk segera melakukan relokasi secara mandiri. 

Pengumuman Satgas PKH tersebut tertera dalam spanduk yang terpasang di Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan yang berada dalam kawasan TNTN.

Lokasi pemasangan spanduk pengumuman akan dikunjungi oleh Tim Pengarah Satgas PKH pada Selasa (10/6). 

Ada lima poin utama pengumuman resmi yang disampaikan Satgas PKH. Yakni, Satgas PKH menegaskan bahwa hutan konservasi TNTN merupakan tanah negara. 

"Hutan konservasi TNTN adalah tanah negara. Oleh karena itu, segala aktivitas di dalam kawasan hutan ini seperti tinggal, berkebun, mendirikan rumah dan membakar atau bentuk kegiatan lain yang mengubah fungsi hutan dinyatakan melanggar hukum," demikian pengumuman Satgas PKH. 

Satgas juga mengumumkan segera dilakukannya relokasi (pindah) secara mandiri kepada masyarakat. Relokasi mandiri ini akan didampingi petugas. 

Adapun periode pelaksanaan relokasi mandiri dilakukan dalam waktu 3 bulan sejak 22 Mei hingga 22 Agustus 2025.

"Teknis dan tahapan relokasi mandiri diatur oleh Tim Terpadu Penertiban Kawasan Hutan dan disosialisasikan kepada masyarakat," demikian pengumuman Satgas PKH. 

Terkait nasib kebun kelapa sawit yang terbangun di kawasan TNTN, menurut Satgas PKH, pemerintah memahami ketergantungan sebagian masyarakat akan kebun sawit tersebut. Oleh karena itu, Satgas PKH mengambil kebijakan sementara, yakni:

1. Kebun sawit yang berumur lebih dari 5 tahun dan sudah menghasilkan, boleh dipanen sementara 3 bulan. Namun tidak boleh menanam, memperluas, dan memelihara tanaman seperti pemupukan dan prunning dan lainnya. 

2. Tanaman sawit yang ditanam dalam lima tahun terakhir, dianggap perambahan baru dan melanggar hukum. Kebun akan ditertibkan dan dimusnahkan kemudian diganti dengan tanaman hutan oleh pemerintah. 

Satgas PKH kembali menegaskan agar setiap orang dilarang keras membuka dan memperluas kebun di TNTN. Bagi pihak yang melanggarnya akan dijerat secara pidana. 

Satgas PKH juga mengumumkan larangan untuk keluar masuk ke kawasan TNTN. Bagi masyarakat yang beraktivitas diwajibkan melapor terlebih dahulu kepada petugas di posko. 

Langkah tegas akan diambil pemerintah untuk memulihkan kembali kondisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau yang kadung rusak akibat perambahan liar.

Kehancuran TNTN sudah pada kondisi kritis karena pembukaan kebun kelapa sawit secara ugal-ugalan dan ilegal yang dibiarkan selama belasan tahun. TNTN akan direvitalisasi dengan cara menghutankannya kembali. 

Sekretaris Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) Sutikno menerangkan, dari 81 ribu hektare kawasan hutan TNTN, saat ini cuma tersisa sekitar 12-an ribu hektare. Padahal, hutan itu milik negara, namun dikuasai kelompok tertentu dan masyarakat. 

"Selama ini, TNTN itukan dijarah oleh orang-orang, dan perusahaan-perusahaan tertentu. Makanya itu yang harus kita keluarkan itu. Dari 81-an ribuan hektare, sekarang tinggal 12-an ribu hektare. Dan itulah nanti yang akan kita kuasai kembali untuk dikembalikan ke negara semuanya," ujar Sutikno, Senin (9/6).

Menurut Sutikno, Satgas PKH saat ini, masih terus melakukan pendataan tentang cakupan penguasaan ilegal perkebunan kelapa sawit yang 'memakan' lahan milik negara itu.

"Selama ini, itu kan dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit," ujar Sutikno.

Menurut Sutikno, kawasan hutan di Tesso Nelo bukan cuma milik negara sebagai taman nasional, melainkan juga sebagai paru-paru dunia.

"Tesso Nilo itu, mestinya menjadi konservasi, tetapi dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal kawasan itu, bukan cuma taman nasional, tetapi juga sebagai paru-paru dunia," kata Sutikno.

Sejumlah pihak menyebut kedatangan Tim Satgas PKH ke TNTN sebagai simbol dimulainya genderang 'perang' terhadap para cukong yang membuka perkebunan kelapa sawit di TNTN.

Cukong yang dimaksud yakni para pemodal yang membuka kebun sawit di TNTN dalam area yang luas, tidak sekadar petani rakyat.

Para cukong menggarap TNTN dalam luasan mencapai ratusan hektare, secara ilegal dan tidak membayar kewajiban pajak. 

"Kedatangan Tim Satgas PKH ke TNTN merupakan alarm bagi para cukong. Sekarang cukong kebun sawit di TNTN mulai tiarap. Namun, masyarakat petani kecil menjadi agak resah," kata sumber yang mengetahui situasi terbaru di TNTN.

Diketahui, TNTN merupakan hutan konservasi dengan tingkat kerusakan terparah di Indonesia. Keberadaan TNTN menjadi sorotan dunia di tengah kampanye pemerintah yang mengklaim peduli terhadap deforestasi hutan, namun di lapangan justru tak sesuai. 

Dari total luasan TNTN sekitar 81,7 ribu hektare lebih, seluas 40,4 hektare lebih sudah menjadi kebun sawit.

Data terkini, luas hutan tersisa di TNTN hanya sekitar 13,7 ribu lebih. Ini artinya, lebih 65 ribu hektare lebih kawasan hutan di TNTN, terindikasi telah mengalami kerusakan.

Penggarapan secara ilegal dan massif TNTN dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat, termasuk kaki tangan korporasi.

Hasil kebun sawit dari TNTN ditampung oleh sejumlah pabrik kelapa sawit milik perusahaan besar, namun tidak pernah mendapat tindakan hukum. 

Gugatan Yayasan Riau Madani dua tahun lalu mengungkap adanya perkebunan sawit seluas 1.200 hektare di kawasan TNTN, diduga terafiliasi dengan korporasi sawit PT Inti Indosawit Subur. Namun, pihak perusahaan membantah keras disebut sebagai pengelola kebun sawit tersebut. 

Ironisnya, meski gugatan Yayasan Riau Madani tersebut telah inkrah sejak beberapa tahun lalu, namun pihak Kementerian Kehutanan saat dijabat oleh Menteri Siti Nurbaya, berlanjut pada era kepemimpinan Raja Juli Antoni, tak kunjung mengeksekusi putusan.

Hingga kini, kebun sawit tersebut masih bebas beraktivitas. 

Beragam upaya penyelamatan TNTN kerap gagal. Pada tahun 2016 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya membentuk Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN). Namun, hingga kini tak jelas apa hasil dan capaian RETN tersebut. 

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sempat menjadikan TNTN sebagai sampel dalam agenda Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) pada 2015 lalu. Namun, GNPSDA ini tak pernah lagi terdengar gebrakannya. 

Ragam kepentingan yang berkait kelindan menyebabkan upaya penyelamatan TNTN selalu gagal. Penegakan hukum dilakukan terkesan setengah hati. Hal ini menjadi tantangan serius bagi Satgas PKH untuk menunjukkan kedaulatan negara hadir di TNTN. (*)

Tags : Satgas PKH, Kelapa Sawit, Kelapa Sawit Dalam Kawasan Hutan, Peron, TNTN,