JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan banding atas putusan bebas yang dikeluarkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat kepada dua pimpinan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, Henry Surya dan June Indria, dalam perkara yang disebut Kejagung sebagai kasus penipuan terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.
Putusan majelis hakim yang diketuai oleh Syafrudin Ainor atas kasus dugaan investasi bodong yang merugikan sekitar 23.000 nasabah dengan total nilai kerugian mencapai Rp106 triliun itu merupakan bentuk ketidakadilan hukum di Indonesia, kata seorang korban.
“Maling ayam saja dihukum, masa orang yang merampas dan merugikan triliun rupiah bebas, tidak dapat dijerat oleh hukum. Bahkan, bukan hanya pelaku utama, sampai anak buahnya tidak ada satupun yang dijerat,” kata wakil aliansi korban KSP Indosurya, Ricky Firmansyah Djong seperti dirilis BBC News Indonesia, Kamis (26/01).
Vonis bebas itu, lanjut Ricky, tidak setimpal dengan penderitaan yang dialami para korban – mulai dari “hilangnya uang pendidikan anak, meninggal karena tidak ada biaya pengobatan, hingga bunuh diri”.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, menegaskan, kasus Indosurya menjadi preseden buruk bagi koperasi simpan pinjam dan putusan pengadilan telah mengabaikan rasa keadilan bagi ribuan anggota.
Maraknya investasi bodong di Indonesia, menurut peneliti ekonomi, disebabkan karena rendahnya literasi keuangan masyarakat dan juga sifat “rakus” yang menyebabkan kelalaian dalam melakukan verifikasi sebuah investasi.
Jerit korban: Dari pendidikan anak terdampak, bercerai, hingga bunuh diri
Pada 2019, seseorang yang mengaku tenaga pemasaran mantan pegawai bank atau personal banker menghubungi Ricky Firmansyah untuk menawarkan sebuah investasi.
“Saya dan hampir semua korban itu ditawari oleh marketing eks-bank untuk investasi di Indosurya, tanpa menjelaskan bahwa ini adalah koperasi, tapi katanya lembaga keuangan,” kata Ricky.
Ricky menambahkan, dalam skema investasi itu, dia diiming-imingi bunga 7%-8%. Dia juga mendengar ada korban lain yang ditawari 9%-11% per tahun.
“Bunganya normal, tidak jauh beda dengan bank perkreditan rakyat 7%-8%. Meskipun di atas rata-rata,” katanya yang menjadi perwakilan dari 896 orang korban KSP Indosurya dengan total kerugian Rp16 triliun.
Akhirnya Ricky memutuskan mulai menginvestasikan uang miliknya dengan total Rp4 miliar sejak September 2019.
Selama investasi, Ricky menjelaskan, ia tidak pernah memiliki nomor keanggotaan, biaya iuran anggota, dan menghadiri rapat anggota koperasi.
“Kami adalah orang yang menyimpan uang di Indosurya, bukan anggota koperasi,” tambahnya.
Investasi Ricky yang jatuh tempo enam bulan kemudian, yaitu Maret 2020, menjadi bencana ketika pada Februari perusahaan menyatakan gagal bayar.
“Mereka bilang ada rush, lalu efek Covid, dan banyak alasan lain. Tapi tidak bisa membuktikan. Itu adalah suatu modus,” kata Ricky.
Akhirnya, kata Ricky, dana yang dikumpulkannya hari demi hari dari jerih payah dan keringat untuk membeli rumah dan biaya pendidikan anak menjadi lenyap.
“Kami harus mulai dari nol. Hasil banting tulang kami setiap harinya dirampas begitu saja, sangat menyedihkan. Persiapan pendidikan untuk anak juga lenyap begitu saja,” ujarnya.
Selain dirinya, kata Ricky, terdapat banyak korban investasi di Indosurya yang rata-rata lansia dan pensiunan -berusia 60 tahun hingga 70 tahun- mengalami kesulitan hidup hingga meninggal dunia akibat uangnya tidak bisa diambil.
“Banyak anak-anak korban yang sulit meneruskan pendidikan. Banyak yang sulit menyambung hidup hari demi hari. Bahkan, ada yang sudah sakit-sakitan memohon dikembalikan sebagian untuk biaya pengobatan juga tidak dikabulkan, sampai pada akhirnya banyak meninggal dunia karena terhambat pengobatannya,” kata Ricky.
“Lalu, ada yang sampai bunuh diri, ada yang sampai bertengkar suami-istri hingga bercerai,” tambahnya.
Sejak 2020, Ricky dan para korban lain terus berjuang mendapatkan keadilan, melalui demonstrasi ke beragam kantor pemerintah, hingga menempuh jalur hukum.
“Hingga akhirnya, putusan pengadilan membebaskan pelaku dari seluruh dakwaan. Kami semua patah arah, kami tidak tahu lagi harus meminta perlindungan ke siapa,” ujarnya.
“Kami mengumpamakan ibarat seorang maling ayam saja bisa dihukum, masa orang yang merampas dan merugikan sebesar triliunan rupiah tidak dapat dijerat oleh hukum. Bahkan bukan hanya pelaku utama, sampai anak buahnya pun tidak ada satupun yang dijerat hukum. Para pengurus bebas,” keluhnya.
Vonis bebas 'penipuan terbesar dalam sejarah'
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat - Syafrudin Ainor, Dede Suryaman, dan Sri Hartati- menyatakan bos KSP Indosurya, Henry Surya, bebas dari dakwaan dugaan penipuan dan penggelapan, pada Selasa (24/01).
“Menyatakan terdakwa Henry Surya tersebut di atas, terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perkara perdata (onslag van recht vervolging),” kata hakim ketua Syafrudin Ainor dikutip dari dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Barat, Kamis (26/1).
"Melepaskan terdakwa Henry Surya oleh karena itu dari segala tuntutan hukum sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Alternatif Kesatu Pertama dan dakwaan Kedua Pertama."
Jaksa penuntut umum sebelumnya mengajukan tuntutan 20 tahun penjara dan denda Rp200 miliar kepada Henry Surya karena diduga melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin otoritas terkait - dengan kerugian ekonomi korban sebesar Rp16 triliun.
Pekan sebelumnya, Rabu (18/01), terdakwa lain June Indira juga dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan dari tuntutan 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Atas putusan terhadap kedua terdakwa itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan kasasi, Rabu (25/01).
Kejagung juga menyebut, secara total, terdapat sekitar 23.000 orang yang menjadi korban dugaan penipuan dan penggelapan KSP Indosurya, dengan seluruh kerugian mencapai Rp106 triliun.
Mengutip Laporan Hasil Analisis (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejagung menyebut kerugian yang disebabkan Indosurya menjadi yang terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.
Bareskrim Polri telah menyita belasan aset milik petinggi Indosurya, di antaranya berupa tanah, bangunan, apartemen, dan gedung perkantoran di wilayah Jakarta.
Kemudian, polisi juga menyita 43 mobil mewah dan uang dalam 12 rekening. Total aset yang disita sebesar Rp1,5 triliun.
Pemerintah: Preseden buruk bagi koperasi simpan pinjam
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, menyebut, kasus KSP Indosurya menjadi preseden buruk bagi koperasi simpan pinjam di Indonesia.
Menurut Teten, putusan itu juga telah mengabaikan rasa keadilan bagi ribuan anggota KSP Indosurya yang dirugikan.
“Kalau seperti ini, orang akan semakin kapok menjadi anggota koperasi simpan pinjam,” kata Teten dalam siaran resmi, Kamis (26/1).
Belajar dari kasus Indosurya dan tujuh KSP lain yang bermasalah, kata Teten, pemerintah akan merevisi UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, khususnya dalam penguatan di bindang pengawasan dan sanksi kepada setiap KSP.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyatakan kecewa terhadap vonis bebas terdakwa Indosurya. Walau demikian, Mahfud mendorong Kejagung untuk mengajukan banding.
'Tergiur keuntungan cepat dan kurangnya literasi’
Investasi bodong terus menelan korban di Indonesia.
Sebelum kasus Indosurya, masyarakat juga mengalami kerugian dalam investasi ilegal dengan skema robot trading atau opsi biner (binary option).
Setidaknya terdapat dua pelaku yang ditangkap polisi dalam kasus itu, yaitu Indra Kenz lewat aplikasi Binomo, dan Doni Salmanan dengan aplikasi Quotex.
Investasi ilegal menimbulkan kerugian di masyarakat pada tahun 2022 mencapai Rp109 triliun, menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI), dengan total kerugian dari 2018 hingga 2022 mencapai lebih dari Rp123 triliun.
Kerugian ini belum termasuk kasus KSP Indosurya.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Etika Karyani mengatakan, masyarakat kerap menjadi korban investasi bodong karena tergiur dengan “keuntungan yang cepat dan besar”.
“Motifnya ingin cepat mendapatkan keuntungan yang besar dan instan, tanpa melihat atau menelusuri adanya penipuan atau jebakan dalam investasi tersebut. Dengan kata lain, sifat greedy (serakah) dan juga malas dalam mengkonfirmasi terkait legalitas dari lembaga penyelenggaranya,” kata Etika.
Dia menambahkan, berkaca dari kasus KSP Indosurya, masyarakat harus curiga jika menemukan perusahaan yang menawarkan untung yang menggiurkan.
“Ingat prinsip high risk high return. Seperti pada kasus KSP Indosurya yang menawarkan imbal hasil melebihi 20 persen setahun. Imbal hasil ini sangat tidak masuk akal. Kasus gagal bayar KSP Indosurya Cipta juga menghancurkan citra koperasi di Indonesia,” ujarnya.
Selain sifat yang rakus, maraknya investasi bodong, menurut Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah juga disebabkan oleh sangat rendahnya literasi keuangan masyarakat.
“Kalau masyarakat tidak peduli, tidak belajar, dan tidak mau meninggalkan sikap serakah akan susah, akan terus ada kasus investasi bodong,” kata Piter.
Tiga ciri investasi bodong
Piter menjelaskan, terdapat setidaknya tiga ciri-ciri investasi bodong. Pertama adalah menjanjikan keuntungan yang tidak masuk akal.
“Keuntungan 30-50%, bahkan berlipat-lipat, dalam waktu singkat. Itu sudah pasti bodong, dan dicurigai,” kata Piter.
Ciri kedua adalah tidak adanya kejelasan informasi mengenai bisnis investasi perusahaan tersebut.
“Kalau investasi itu harus jelas, menanam padi, buka tambak lele, itu kan jelas. Kalau bisnis tidak jelas bisnis apa, investasi apa, produk apa, sektor apa, pasar dimana, itu perlu dicurigai.”
Dan ketiga, “Harus dicurigai jika tidak jelas siapa pengelolanya, perusahaan siapa, izin bagaimana, di balik perusahan tokoh siapa. Kalau tidak jelas perlu dicurigai, harus dipastikan. Tiga hal ini saja sudah cukup untuk kita dari awal mengantisipasi untuk berhati-hati,” kata Piter. (*)
Tags : Jeritan Aliansi Menutut Keadilan, Investasi Bodong, Koperasi Simpan Pinjam Indosurya, KSP Menelan Banyak Korban, Bisnis Keuangan,