JAKARTA - Presiden Joko Widodo memutuskan mencabut Peraturan Presiden mengenai pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras berbahan alkohol, yang telah mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Pencabutan ini diumumkan sendiri oleh Jokowi dalam pernyataan singkat Selasa siang tadi (2/3).
"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama, MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya, serta tokoh-tokoh agama yang lain, dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah, bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," demikian pernyataan Jokowi di Istana Merdeka Jakarta yang disiarkan dalam akun resmi Sekretariat Presiden di YouTube.
Sebelumnya, keputusan pemerintah membuka izin investasi untuk industri minuman beralkohol telah menuai pro dan kontra. Kalangan penolak menilai peraturan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tersebut tidak mempertimbangkan dampak buruk sosial yang ditimbulkan dari minuman keras. Sementara pihak yang mendukung menyebut investasi minuman alkohol bakal membuka peluang penyerapan tenaga kerja, menambah pemasukan negara, dan mengendalikan peredarannya yang saat ini sembunyi-sembunyi.
Deputi Deregulasi Penanaman Modal di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yuliot, mengatakan ide membuka industri minuman beralkohol sudah dibahas sejak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan. Dengan tujuan untuk mendorong terbukanya usaha mikro dan menengah di daerah. Selain juga demi melindungi masyarakat yang mengonsumsi minuman tersebut.
Pasalnya selama ini peredaran minuman beralkohol tidak terkontrol sehingga kerap memakan korban. Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan sepanjang 2008 hingga 2013 ada sekitar 230 korban tewas akibat mengonsumsi miras tak berizin. Kemudian pada 2014 - 2018, jumlah korbannya naik dua kali lipat mencapai sekitar 540 orang. "Karena itu kenapa tidak kita buat terbuka tapi terbatas hanya di daerah-daerah yang industri minolnya (minuman beralkohol) sudah banyak dan diusahakan oleh masyarakat untuk konsumsi lokal?" ujar Yuliot, Minggu (28/02).
"Jadi kami tidak berharap investasi besar, tapi bagaimana pemberdayaan dan perlindungan bagi UMKM dan masyarakat. Itu yang diutamakan," sambungnya.
Pada tahap awal, pembukaan industri minuman beralkohol akan dimulai di empat provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Empat wilayah itu dipilih karena sudah banyak industri lokal dan terdapat budaya atau kebiasaan yang membolehkan masyarakat mengonsumsi minuman alkohol. Namun begitu hingga saat ini baru tiga provinsi yang telah mengajukan permohonan ke BKPM di antaranya Bali, NTT, dan Sulawesi Utara.
Di luar provinsi itu, kata Yuliot, gubernur bisa saja mengajukan permohonan serupa, tapi dengan satu syarat tambahan: sudah berkoordinasi dan mendapat persetujuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. Karena itulah BKPM akan bertemu dengan MUI pekan ini untuk membahas aspek positif industri minuman beralkohol tersebut. "Rencana BKPM akan mengundang MUI supaya bagaimana menetapkan daerah-daerah yang 30 provinsi lain itu. Sebab wajib mendapat rekomendasi gubernur dan MUI."
Setiap badan usaha yang akan mengajukan perizinan industri minuman beralkohol akan dinilai oleh BKPM dari pelbagai hal. Semisal dari segi tempat, peralatan, hingga bahan baku yang digunakan. Di luar itu, mereka harus memiliki izin Amdal, kesesuaian tata ruang, dan persetujuan bangunan. Proses perizinan tersebut, kata Yuliot, membutuhkan waktu antara 1 - 1,5 tahun. Saat ini BKPM masih merampungkan detail peraturan yang menyangkut persyaratan perizinan.
Yuliot menargetkan pada 2 Maret mendatang, permohonan perizinan sudah bisa diajukan. Dia juga menambahkan, adanya peraturan ini akan menertibkan usaha minuman beralkohol ilegal. Itu mengapa pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah di kabupaten/kota maupun provinsi agar mendata berapa banyak kegiatan usaha yang memproduksi minuman alkohol. "Kalau enggak ada izin akan ditutup sampai memenuhi izin."
Pembukaan investasi untuk industri minuman beralkohol mulai dari skala kecil hingga besar tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Pada lampiran tertuang bidang usaha yang boleh mendapat aliran investasi. Yang mana tercantum industri minuman keras mengandung alkohol. Dengan izin ini, industri miras bisa memperoleh suntikan investasi dari investor asing, domestik, koperasi, hingga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Investasi asing boleh mengalir dengan nilai lebih dari Rp10 miliar di luar tanah dan bangunan. Tapi wajib membentuk Perseroan Terbatas dengan dasar hukum Indonesia. Hanya saja, suara penolakan datang dari Fraksi Partai Amanat Nasional, PAN, di DPR. Ketua Fraksi PAN, Saleh Daulay, menilai investasi minuman beralkohol lebih banyak buruknya daripada manfaatnya. Sebab minuman alkohol bisa membuat orang kecanduan dan menyebabkan tindak kriminalitas. Ia merujuk hal itu pada kasus-kasus di Amerika Serikat yang terdapat konseling bagi pecandu alkohol. "Di Amerika misalnya sampai ada kelompok masyarakat yang mencoba untuk bergabung untuk menghindari alkohol. Banyak sekali di AS dan menunjukkan minuman alkohol tidak baik," kata Saleh Daulay.
"Kalau di negara lain buruk, tentu di Indonesia sama buruknya."
Karena itulah ia mendesak pemerintah agar menghapus peraturan yang mengenai investasi minuman beralkohol. "Kalau targetnya adalah untuk meningkatkan devisa, saya kira harus dihitung ulang apakah devisa yang diperoleh jauh lebih besar dibanding keburukan yang terjadi akibat peredaran miras". Berbeda dengan PAN, Sekretaris Fraksi PPP di DPR, Achmad Baidowi, mengatakan partainya tidak menentang investasi minuman beralkohol selama peredarannya diatur dengan ketat dan bertujuan ekspor. "Ya kalau memang dieskpor dan bahannya diambil dari Indonesia, kita bisa terima."
"Lalu kalau misalkan dijual di restoran yang memiliki izin, kita setuju. Dengan ketentuan tidak dijual ke orang di bawah usia 21 tahun dan di area 1000 meter dari sekolah, tempat ibadah". PPP, katanya meminta pemerintah agar merevisi Perpres tersebut dengan mengundang sejumlah pihak. Sebab di beleid itu tidak tegas mengatur peredaran minuman beralkohol apakah hanya terbatas pada provinsi yang mengajukan permohonan atau dibolehkan dijual ke daerah lain.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Teuku Riefky, berkata investasi minuman beralkohol sangat baik dari sisi ekonomi. Sebab bisa membuka peluang penyerapan tenaga kerja dan menambah pemasukan negara. Pengamatannya, industri minuman beralkohol di dalam negeri sangat kecil sementara konsumsinya cukup tinggi. Merujuk pada Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata konsumsi alkohol nasional mengalami peningkatan. Dari 35 survei, konsumsi alkohol hanya berkurang di tiga provinsi yakni Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Sedangkan di 32 provinsi lainnya, jumlah konsumsi alkohol bertambah.
Adapun alkohol yang paling banyak dikonsumsi adalah miras tradisional, bir, anggur-arak, oplosan, dan jenis lainnya. "Kalau bisa diatur dengan baik, mulai dari investasi, peredaran, justru lebih banyak manfaatnya," sebut Teuku Riefky.
Ia juga mengatakan, negara-negara yang berminat berinvestasi di minuman alkohol cukup besar seperti negara-negara Eropa, Amerika, dan China. Kendati demikian, ia menilai para investor akan sangat berhati-hati untuk menaruh uangnya di bidang tersebut. Pasalnya suara penolakan dari pelbagai kalangan juga sangat besar. Itu mengapa katanya, pemerintah harus bisa meyakinkan investor tentang keamanan dan kepastian berinvestasi tidak akan terhenti di tengah jalan. "Bagi investor, mereka butuh kepastian. Karena investasi bertahun-tahun. Jadi susahnya menarik investasi. Kuncinya kalau berinvestasi tidak terganggu. Karena itu pemerintah harus bisa merangkul tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Yakinkan bahwa ini baik untuk Indonesia". (*)
Tags : Presiden Joko Widodo, Cabut Perpres Investasi Indutri Minuman Keras, Pro dan Kontra Miras,