JAKARTA - Rencana pemerintah melarang penjualan rokok batangan atau yang kerap disebut 'rokok ketengan' demi menurunkan prevelansi perokok anak dan remaja dinilai pengamat "sangat terlambat" karena jumlah perokok di usia 10-18 tahun sudah meningkat tajam.
Tahun 2019 jumlah perokok di rentang usia itu mencapai 10,70% dan terus naik setiap tahun, bahkan diperkirakan bakal menyentuh angka 16% pada 2030.
Tapi Kementerian Kesehatan yakin aturan itu akan efektif menekan perokok muda karena pelaksanaannya nanti "akan melibatkan semua sektor".
Project Lead Tobacco Control dari lembaga kajian Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Iman Zein, mengatakan kebijakan ini terlambat.
Semestinya, aturan diterapkan dua atau tiga tahun lalu, ketika prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia masih belum terlalu jauh dari target RPJMN 2020 - 2024.
Data yang dimiliki Kementerian Kesehatan menunjukkan pada 2019 jumlah perokok di usia 10-18 berada di angka 10,70%.
Sementara target penurunan perokok anak dan remaja dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah 8,7%.
Menurut dia, seandainya aturan tersebut diberlakukan lebih cepat mungkin masih bisa terkejar.
"Data [prevalensi perokok muda] tahun 2022 sudah meningkat lebih dulu sepertinya, sebelum aturan ini diimplementasikan. Jadi kalau terlambat ya, terlambat sekali," ujar Iman Zein seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (28/12).
Sebab berdasarkan riset CISDI, meskipun pandemi Covid-19 berdampak pada perekonomian masyarakat, pola konsumsi rokok di Indonesia tidak berkurang.
Keluarga dari ekonomi rentan, misalnya, mengakali harga rokok yang mahal dengan berganti ke rokok yang lebih murah, atau membeli secara ketengan.
Di Indonesia, kata dia, rokok dengan harga miring masih bisa dijumpai dan banyak jenisnya.
Berpijak pada riset itu, dia meyakini prevalensi perokok anak dan remaja terus naik hingga tahun 2022 sehingga bakal menyulitkan Kementerian Kesehatan menekan perokok muda jika tidak menerapkan seluruh aturan anyar tersebut.
Selain rokok ketengan, beberapa hal yang juga diatur antara lain memperbesar ukuran pesan bergambar pada kemasan rokok; mengatur penggunaan rokok elektrik; memperketat iklan promosi produk tembakau di media teknologi informasi.
Kemudian pengawasan iklan promosi dan sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam, dan luar ruang; serta penegakan penindakan.
Semua itu nantinya akan tertuang dalam revisi Peraturan Pemerintah 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
"Kalau cuma melarang menjual rokok ketengan, mungkin tidak akan terlalu berpengaruh, meski ada penurunan sedikit," ujar Iman Zein.
Iman juga mengatakan yang menjadi persoalan penting adalah pelaksanaan aturan di lapangan. Karena sepanjang pengamatannya, beberapa aturan yang sudah berlaku saja masih lemah penegakkannya. Misalnya soal larangan merokok di tempat umum.
Padahal pasal 199 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan orang yang merokok di tempat umum akan dikenai sanksi pidana penjara enam bulan serta denda sebesar Rp50 juta.
"Nyatanya banyak pelanggaran merokok di ruang-ruang publik," ujarnya.
"Kalau tidak ada yang pengawasan dan penegakkan hukum di lapangan akan jadi basa-basi regulasi ini."
Seperti apa pengawasan di lapangan?
Kabiro Komunikasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan aturan baru soal rokok ini masih dalam tahap penyusunan. Namun begitu, dia berharap bisa segera diberlakukan pada tahun 2023.
Dia juga menjelaskan, salah satu alasan Kemenkes mendorong revisi peraturan pemerintah ini karena saat ini lebih dari 70% penjual rokok batangan atau ketengan berada di sekitar kawasan sekolah.
Selain itu, sebanyak 71% remaja membeli rokok ketengan.
"78% terdapat penjualan rokok di sekitar sekolah dan mencantumkan harga (jual) ketengan," kata Nadia.
Soal penindakan, Nadia mengakui harus melibatkan semua sektor. Mulai dari pemerintah daerah hingga aparat hukum.
"Untuk pengawasan penjual rokok ketengan di sekolah ada Satpol PP yang bekerja," ujar Siti Nadia dalam pesan singkat kepada BBC News Indonesia.
Akan tetapi pelibatan aparat saja dinilai kurang oleh CISDI. Menurut Iman Zein, pemerintah harus ikut mengajak masyarakat dengan menyiapkan suatu aplikasi yang bisa dipakai untuk melaporkan jika terjadi pelanggaran.
Lewat laporan dari aplikasi itu, aparat akan bisa turun langsung dan menjatuhkan sanksi ke pelanggar.
"Jadi nanti warga bisa foto dan dikirim ke aplikasi itu. Tim bisa langsung turun dan menjatuhkan sanksi ringan."
Kematian akibat rokok meningkat
Kementerian Kesehatan sebelumnya menyatakan penjualan rokok saat ini masih terus meningkat. Begitu pun dengan jumlah konsumsi rokok, perokok anak, dan kematian akibat merokok.
Penjualan rokok pada 2021 meningkat 7,2% dari tahun 2020 yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang dengan adanya 70,2 juta orang dewasa diketahui merokok.
Penggunaan rokok elektrik juga naik 10 kali lipat dari 0,3% di tahun 2011 menjadi 3% pada 2021.
Adapun kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 di tahun 2015, dengan total kerugian mencapai Rp596,61 triliun.
Tembakau juga disebut membunuh 290.000 orang setiap tahunnya di Indonesia dan merupakan penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular. (*)
Tags : Jual Rokok Ketengan, Rokok Eceran Dilarang Mulai 2023, Merokok Ganggu Kesehatan,