JAKARTA - Jumlah pendatang baru di Jakarta diperkirakan turun setelah Lebaran 2024.
Selain penertiban yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berbagai masalah di Jakarta disebut menjadi "daya halau" sehingga memaksa ribuan orang pergi mencari peruntungan di tempat lain.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta memperkirakan, akan ada 15.000-20.000 pendatang baru di Jakarta usai Lebaran 2024.
Bila prediksi ini terwujud, angkanya akan turun dari jumlah pendatang pasca-Lebaran 2023 dan 2022, yang masing-masing sebesar 25.918 orang dan 27.478 orang.
Tren yang sama juga terlihat di angka tahunan pendatang baru di Jakarta. Sepanjang 2023, jumlahnya menyentuh 136.200 orang, turun dari 151.752 orang pada 2022.
Padahal, angkanya selalu naik pada periode 2020-2022.
Menurut Dinas Dukcapil DKI Jakarta, ini bisa terjadi karena usaha gencar mereka menyebar imbauan agar orang-orang dari luar Jakarta tidak "nekat" merantau ke Jakarta tanpa ada jaminan tempat tinggal dan pekerjaan yang layak.
"Kalau misalnya tidak ada jaminan tempat tinggal, terus tidak ada jaminan pekerjaan, diharapkan tidak datang ke Jakarta. Apalagi dia gak punya skill, akhirnya dia akan terdampar di permukiman kumuh, atau dia akan luntang-lantung di Jakarta," kata Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta, Budi Awaluddin didepan media, pada Minggu (7/4).
"Banyak yang datang itu mereka nekat. Akhirnya di sini jadi kriminal, masalah sosial."
Menurut catatan Dinas Dukcapil DKI Jakarta, sebesar 84,06% pendatang yang tiba di Jakarta pasca-Lebaran 2023 berpendidikan SMA ke bawah, sementara 62,32% tercatat berpenghasilan rendah.
Di luar imbauan tersebut, sejumlah usaha penataan dan penertiban yang dilakukan Dinas Dukcapil DKI Jakarta disebut efektif membuat warga berpikir dua kali sebelum pindah ke Jakarta atau menjalankan akal-akalan agar mendapat KTP DKI Jakarta.
Selama ini, kata Budi, banyak pendatang yang meminta tolong saudara atau kerabatnya di Jakarta agar bisa sekadar "menumpang" di kartu keluarga (KK).
Bila namanya telah masuk ke KK, mereka dapat mengurus kartu tanda penduduk (KTP) dengan domisili Jakarta.
Padahal, banyak dari mereka sesungguhnya tinggal di kota-kota satelit seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, atau bahkan telah kembali ke daerah asalnya di luar Jakarta.
Kata Budi, banyak orang melakukan ini untuk mendapatkan privilese sebagai warga Jakarta, termasuk untuk menerima berbagai bantuan sosial dari pemerintah.
Contohnya program Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, yang membantu siswa SD, SMP, dan SMA dari keluarga tidak mampu, serta Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU), yang memberikan beasiswa Rp9 juta per semester bagi mahasiswa yang berdomisili dan lahir di Jakarta.
Ada pula Kartu Lansia Jakarta (KLJ) yang memberikan dana Rp600.000 per bulan pada lansia yang berekonomi rendah serta memiliki kendala fisik atau psikologis.
Mereka yang "menumpang KK" di daerah tertentu juga bisa mendapat prioritas untuk masuk sekolah unggulan di sana lewat jalur zonasi.
"Rusun juga gitu. Kita menyiapkan rusun untuk warga DKI, tapi nyatanya yang datang itu banyak warga non-DKI yang mengisi," kata Budi.
"Akhirnya masalah DKI nggak pernah selesai."
Karena itu, Dinas Dukcapil DKI Jakarta bermaksud menggalakkan kembali penerapan syarat administratif bagi pendatang baru.
Sebelum seorang pendatang bisa "masuk" ke KK dan membuat KTP DKI Jakarta, kepala keluarga terkait mesti membuat surat pernyataan tanggung jawab yang menjamin bahwa si pendatang benar bagian dari keluarga dan menetap di sana.
Bila si pendatang mengontrak rumah di Jakarta, pemilik rumah yang mesti membuat surat pernyataan tanggung jawab tersebut, jelas Budi.
"Akhirnya orang itu akan berpikir lagi kalau untuk menempatkan kerabatnya atau sanak saudaranya untuk masuk ke KK dia," kata Budi.
Mulai 12 April 2024, Dinas Dukcapil DKI Jakarta juga akan menonaktifkan secara bertahap nomor induk kependudukan (NIK) sejumlah warga Jakarta, utamanya mereka yang telah meninggal serta yang tinggal di luar Jakarta meski domisili di KTP-nya tercatat di Jakarta.
Per Februari 2024, ditemukan setidaknya 81.000 NIK warga Jakarta yang telah meninggal dan 13.000 NIK orang-orang yang kenyataannya tinggal di luar Jakarta.
Melalui "penataan dan penertiban" ini, diharapkan bantuan sosial dari pemerintah provinsi DKI Jakarta bisa lebih tepat sasaran. Data yang ada pun bisa lebih merefleksikan kenyataan di lapangan, kata Budi.
Saat ini, jumlah penduduk DKI Jakarta tercatat mencapai 11,34 juta. Dengan luas wilayah Jakarta sebesar 661,5 kilometer persegi, maka ada 17 orang di tiap meter perseginya.
"Hitung dari KTP, oh, ada 11 juta penduduk. Padahal mungkin sebenarnya enggak segitu. Padahal warganya itu banyak yang sudah tinggal di Bogor, misalnya. Itu yang sekarang kita non-aktifkan," kata Budi.
"Kalau misalnya dia tidak pindahkan domisilinya, kita akan freeze NIK-nya, jadi dia tidak bisa melakukan transaksi perbankan. Dia mau urus BPJS tidak bisa juga. Karena kan semua base-nya dari KTP."
Pada pertengahan 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) menjalankan studi lanjutan atas sensus penduduk 2020 - yang sempat tertunda karena pandemi Covid-19.
Hasilnya, BPS menemukan ada 212.457 migran risen yang masuk ke Jakarta, dan 797.468 orang yang meninggalkan Jakarta.
Migran risen adalah istilah untuk orang-orang yang tempat tinggalnya sekarang berbeda wilayah dengan lima tahun silam.
Dari sana dapat dilihat, ada lebih banyak orang yang pergi dari Jakarta dibandingkan yang datang pada periode 2017-2022.
Data BPS menunjukkan, Jawa Barat jadi provinsi tujuan utama orang-orang yang meninggalkan Jakarta.
Temuan ini diperkuat hasil studi Litbang Kompas, yang menganalisis data migrasi penduduk pada periode 2013-2021.
Pada 2021, empat daerah yang menjadi tujuan utama migrasi adalah kota Depok, kota Bekasi, kabupaten Bogor, dan kabupaten Bekasi. Mayoritas orang yang pindah ke empat wilayah itu berasal dari Jakarta.
Bahkan, kota dan kabupaten di provinsi Jakarta tidak masuk daftar 10 besar tujuan utama migrasi di 2021. Kota satelit, atau penyangga kota utama, justru mendominasi daftar itu.
Banyak orang pindah ke Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi (Bodetabek) karena peluang kerja di sana lebih berlimpah dibanding di Jakarta, kata Mohammad Faisal, ekonom sekaligus direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE).
"Peluang ekonomi itu justru lebih banyak di pinggiran Jakarta. Kita lihat saja sekarang dari pertumbuhan properti, retail, mal, itu lebih banyak di Bodetabek daripada di Jakarta-nya sendiri. Pertumbuhannya lebih cepat," kata Faisal.
"Jadi artinya bisa jadi [migrasi] ke DKI-nya itu menurun, tapi tetap yang tinggi itu adalah ke Bodetabek."
Selain itu, ada juga yang bekerja di Jakarta, tapi memilih tinggal di Bodetabek karena biaya hidup yang lebih murah, kata Yayat Supriatna, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti.
Belum lagi, katanya, kualitas transportasi publik kian baik sehingga memudahkan para pelaju dari Bodetabek berkegiatan di Jakarta.
Merujuk hasil survei BPS pada Oktober 2023, ada 1,5 juta warga Bodetabek yang sehari-hari melaju ke Jakarta, entah untuk bekerja, bersekolah, ataupun berkuliah.
"KRL itu headway-nya [waktu tunggu antarkedatangan kereta] sekarang sudah tiga menit, lima menit, 10 menit, 15 menit. Itu sudah membuat mereka nyaman sebetulnya untuk tinggal di pinggir dan bekerja di Jakarta," kata Yayat.
Narasi soal pendatang tanpa keterampilan yang kerap membawa masalah di ibu kota adalah narasi berulang yang bahkan bisa ditelusuri jejaknya hingga zaman Ali Sadikin, yang menjabat Gubernur DKI Jakarta pada periode 1966-1977.
Ali diangkat sebagai gubernur tak lama setelah terjadinya pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat pada akhir September 1965, dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh menjadi dalangnya.
Peristiwa ini berujung pada pembunuhan massal para anggota dan simpatisan PKI di berbagai pelosok Indonesia.
Setelahnya, Soeharto sebagai presiden baru menjalankan program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, sekaligus memperkenalkan kebijakan "bersih diri" dan "bersih lingkungan" yang mendiskriminasi orang-orang yang diduga terkait gerakan PKI serta keluarga anggota PKI.
Kebijakan tersebut mendorong banyak orang desa untuk merantau ke Jakarta, berharap dapat mencari peruntungan seraya menghindari interogasi dan usikan aparat yang menjalankan kebijakan "bersih-bersih" di desanya, kata Abidin Kusno, profesor di Universitas York, Kanada.
Ali terganggu melihat kedatangan para pendatang, yang menurutnya tidak terdidik dan tanpa keterampilan memadai, sehingga banyak menjadi pekerja bangunan, gelandangan, dan pekerja seks di ibu kota.
Salah satu cara yang dianggap ampuh untuk mengatasi hal ini adalah mengembangkan wilayah penyangga Jakarta, khususnya Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Botabek), seperti yang tercantum dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985 yang disusun berdasarkan rancangan awal dari perencana kota asal Inggris bernama Kenneth Watts.
Rencana induk tersebut baru disahkan DPRD Jakarta pada 1967, meski telah rampung dua tahun sebelumnya di masa Gubernur Soemarno, karena gejolak yang timbul setelah peristiwa September 1965.
Ali menilai wilayah Botabek dapat menjadi magnet baru yang dapat mengalihkan dan menampung arus pendatang baru dari berbagai daerah.
"Setelah dibangun oleh pengembang swasta, wilayah pinggiran itu [diharapkan] akan mengatasi masalah [kelebihan] populasi dan keamanan di kota [Jakarta]," kata Abidin dalam studinya soal urbanisasi dan politik pengembangan wilayah pinggiran Jakarta.
"Otoritas kota [Jakarta] tidak perlu pusing soal perencanaan."
Setelahnya, ribuan industri direlokasi dari Jakarta ke wilayah pinggirannya pada 1975.
Pada pertengahan 1980an, investasi swasta di berbagai sektor industri memicu pertumbuhan pesat wilayah sekitar Jakarta seperti Tangerang dan Bekasi, sehingga banyak tenaga kerja terserap di pabrik-pabrik setempat.
Ini lantas membuat kota-kota penyangga Jakarta semakin menjadi tujuan migrasi orang-orang dari daerah pedesaan di Jawa, apalagi mengingat biaya hidup di sana yang lebih terjangkau serta jumlah peluang kerjanya yang berlimpah.
Akhirnya, yang terjadi sekarang seperti mengulang sejarah. Bedanya, kini ada semakin banyak alasan untuk menghindari Jakarta.
Maria Miracellia Bo merantau dari Malang untuk kuliah S1 di Tangerang pada 2009.
Setelah lulus S1 pada 2013, ia sempat bekerja di dua kantor berbeda di Jakarta dan menamatkan S2 di sebuah kampus di Depok.
Namun, ia baru benar-benar tinggal di Jakarta, tepatnya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, setelah menikah pada 2020. Sebelumnya, meski sempat berkantor di Jakarta, ia lebih memilih kos di Tangerang demi menghemat biaya hidup.
Fase hidupnya di Kebon Jeruk pun hanya setahun. Pada 2021, kebetulan ia dan suami sama-sama mendapat pekerjaan yang bisa dikerjakan dari jarak jauh.
Karena tak ada kebutuhan berkantor di Jakarta, Mira iseng mengusulkan pada suami agar pindah ke Bali. Hitungan keuangannya masuk. Suami setuju. Mereka pun pindah, dan bertahan hingga kini di 'Pulau Dewata'.
Macet, banjir, dan penuh kebisingan. Itu tiga hal pertama yang diucap Mira saat ditanya alasannya meninggalkan Jakarta.
"Di Jakarta itu, semua orang kayak emosian aja," tambahnya.
"Di Bali, orang-orangnya lebih santai. Jadi pas keluar rumah berasanya lebih nyaman aja."
Cerita Mira menggambarkan salah satu alasan besar orang-orang meninggalkan Jakarta: mencari kenyamanan hidup.
Arie Sujuto, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan banyak orang "jenuh" dengan Jakarta karena ibu kota memiliki setumpuk masalah yang menjadi "daya halau", atau sesuatu yang mendorong orang pergi.
"Kejenuhan akan kota itu terjadi akibat dari gejala soal kerusakan ekologi, soal keamanan, banyak kasus kekerasan, kepengapan, polutan, dan sebagainya," kata Arie.
"Selain kerja, orang juga butuh kenyamanan."
Belum lagi, perkembangan teknologi kini memungkinkan orang-orang seperti Mira dan suaminya untuk bekerja dari jarak jauh. Asalkan ada jaringan internet memadai, kata Arie, pekerjaan bisa dikerjakan di mana saja.
Yayat Supriatna, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, mengatakan biaya hidup tinggi di Jakarta juga menjadi faktor penting yang membuat daya tarik ibu kota memudar.
Karena itu, menurut Arie, banyak orang kini merasa tak perlu ngoyo di Jakarta dan lebih memilih bekerja di daerah asalnya karena enggan mengorbankan kenyamanan. Meski hidup di kampung tak mewah, toh kebutuhan masih tetap terpenuhi, tambahnya.
Apalagi, pembangunan infrastruktur telah menyentuh daerah-daerah terpencil dan ekonomi desa dapat tumbuh secara mandiri tanpa dukungan kota, sehingga menciptakan berbagai peluang kerja, kata Arie.
"Kalau pertaruhannya terlalu besar, mereka lebih baik balik ke kota asal," ujar Arie.
Mohammad Faisal, ekonom sekaligus direktur eksekutif CORE, juga menyoroti tingkat pemulihan ekonomi di kota yang tak secepat di desa setelah terdampak pandemi Covid-19.
Menurutnya, tingkat pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan di banyak kota besar saat ini lebih tinggi dibanding sebelum pandemi, sementara yang sebaliknya terjadi di desa-desa.
"Di desa sekarang masih lebih mending dibandingkan sebelum pandemi. Jadi artinya untuk kalangan yang punya keterampilan terbatas, punya pendidikan terbatas, yang biasanya juga kalau ke kota itu adalah masuknya ke sektor-sektor informal, bukan ke sektor formal, ini mungkin agak berkurang [jumlahnya yang datang ke Jakarta]," kata Faisal.
"Bukan berarti berhenti. Mereka juga tetap melirik daerah Jakarta atau Jabodetabek, tapi tidak sederas sebelum pandemi."
Di luar itu semua, pertumbuhan kawasan industri baru di berbagai daerah di Indonesia secara perlahan memunculkan roda-roda ekonomi baru, yang memberikan opsi selain Jakarta bagi mereka yang ingin merantau dan mencari peruntungan, kata Faisal.
Terlebih lagi, pemerintah tengah membangun ibu kota negara baru di Kalimantan yang diharapkan menumbuhkan ekonomi daerah-daerah sekitarnya.
Dengan segala alasan tersebut, Yayat mengatakan wajar bila data BPS menunjukkan ada lebih banyak orang pergi dari Jakarta dibandingkan yang datang.
Yayat bilang, jadinya seperti lagu dangdut: "Antara tahan mana dan mana tahan". (*)
Tags : jumlah pendatang baru, pendatang ke jakarta turun, pasca lebaran pendatang baru diperkirakan turun, ibu kota jakarta kehilangan daya tarik, News,